Nauzubillahminzalik, Bahkan Rasulullah Enggan Menyalatkan Jenazah Orang Meninggal Dalam Keadaan Ini

Penulis Cheryl mikayla | Ditayangkan 28 Jun 2018
Nauzubillahminzalik, Bahkan Rasulullah Enggan Menyalatkan Jenazah Orang Meninggal Dalam Keadaan Ini
Gambar sholat jenazah via dimasfirda.blogspot.com

Bukankah wajib kifayah menyalatkan jenazah?

Tapi kenapa sampai Rasulullah saja enggan menyalatkan? ternyata orang yang meninggal tersebut dalam keadaan seperti ini.

Subhanallah, Utang adalah masalah yang sangat mengikat bukan saja selagi manusia hidup di dunia, tetapi beban utang juga akan berlanjut sampai di akhirat.

Utang merupakan peristiwa biasa yang sering dijumpai di dalam kehidupan masyarakat.

Utang adalah uang yang dipinjam dari orang lain, kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima.

BACA JUGA: Mengapa Rasulullah Menyebut "ipar adalah maut"? Untuk yang Masih Satu Atap Dengan Ipar
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang berutang, di antaranya karena tidak seimbangnya antara pemasukan finansial dan kebutuhannya, terjadinya kebangkrutan, tertimpa musibah, dan bisa karena memperturutkan keinginan hawa nafsunya saja.

Bahkan, Rasulullah SAW enggan menyalatkan orang meninggal dunia yang masih memiliki ikatan utang.

Dari Jabir bin Abdillah RA., berkata, “Seorang laki-laki meninggal dunia dan kami pun memandikan jenazahnya, lalu kami mengafaninya dan memberi wangi-wangian. Kemudian kami letakkan untuk dishalatkan oleh Rasulullah SAW. di tempat khusus jenazah. Kemudian azan shalat pun berkumandang. Beliau pun datang bersama kami dengan melangkah pelan kemudian bersabda, ‘Barang kali rekan kalian ini punya utang?’

Mereka menjawab, ‘Ya, dua dinar !’ Maka Rasulullah pun mundur, beliau berkata, ‘Shalatkanlah rekan kalian ini.’

Lalu berkatalah salah seorang dari kami bernama Abu Qatadah,  “Wahai Rasulullah utangnya yang dua dinar itu atas tanggunganku!’

Maka Rasulullah SAW. berkata kepadanya, “utang itu menjadi tanggunganmu? Tertanggung dari hartamu? Dan si mayit terlepas daripadanya?”

Abu Qatadah menjawab, “Ya!”

Maka Rasulullah SAW. pun menyalatinya dan setiap kali Rasulullah bertemu dengan Abu Qatadah beliau selalu berkata, “Apakah utang dua dinar itu telah engkau lunasi?” Hingga pada akhirnya Abu Qatadah mengatakan, “Aku telah melunasinya wahai Rasulullah.” Maka Rasulullah berkata, “Sekarang barulah segar kulitnya!’” (HR. Ahmad, Hakim dan Baihaqi).

Allah SWT. dan Rasul-Nya mengingatkan kita untuk berhati-hati terhadap utang, karena:

Pertama, utang dapat menghalangi seseorang untuk berjihad

“Ketika Nabi SAW. sampai di jalan, berdiri di tempat orang yang akan pergi ke medan jihad, terdengarlah panggilan yang didengar oleh seluruh manusia, ‘Wahai manusia, barang siapa yang mempunyai utang janganlah ikut perang. Karena kalau nanti gugur, dan tidak mempunyai tinggalan untuk membayarnya, hendaklah ia pulang saja. Jangan ikut aku, karena ia tidak akan pulang dalam keadaan cukup.'” (HR. Razim, dari Abu Darda)

Kedua, utang dapat menjadi penghalang masuk surga

Dari Muhammad bin ‘Abdullah bin Jahsy RA., berkata, “Rasulullah SAW. bersabda, ‘Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya seorang laki-laki terbunuh fi sabilillah kemudian dihidupkan kembali, kemudian terbunuh, kemudian dihidupkan kembali, kemudian terbunuh sementara ia punya utang, maka ia tidak akan masuk surga hingga terlunasi utangnya.'” (HR. An-Nasa’i, Ahmad, dan Hakim)

Ketiga, utang merupakan bendera kelemahan dan kehinaan

Jika Allah menghendaki kehinaan seorang, maka Allah lilitkan utang kepadanya. Dari Ibnu Umar, Nabi SAW. bersabda, “utang adalah bendera milik Allah di atas bumi, jika Dia menghendaki kehinaan seorang hamba-Nya maka ditaruhlah (utang tersebut) di lehernya.” (HR. Hakim)

dilansir dari Islampos.com. Mengingat besarnya pengaruh utang bagi kebaikan dan keselamatan di dunia maupun di akhirat sepantasnya kita berhati-hati terhadap masalah utang.

1. Berusaha sekuat tenaga menghindari utang.

Karena terbebas dari utang akan mendatangkan kebebasan dan ketenangan.

Ibnu Umar berkata, “Saya mendengar Rasulullah memberi wasiat kepada seseorang dengan ucapan beliau, ‘Minimalkan (kurangilah) dosamu niscaya akan memudahkan kematianmu dan minimalkanlah utang niscaya kamu hidup bebas tanpa ikatan.'” (HR. Baihaqi)

2. Bila hendak berutang.

Hendaklah kita berpikir ulang, apakah memang sudah kebutuhan mendesak atau sekadar keinginan. Bila memang harus berutang bisakah kita melunasinya.

Karena jiwa orang yang berutang akan terkatung-katung hingga ia melunasinya.

Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW. bersabda, ‘Jiwa seorang mukmin itu terkatung-katung karena utangnya, sampai ia dibayarkan.'” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

3. Bila terpaksa berutang usahakan memiliki harta lain yang dapat diuangkan (dijual).

Hal itu dapat digunakan untuk melunasi utangnya manakala dia meninggal sebelum melunasi utangnya.

Diriwayatkan dari Abi Musa Al-Asy’ari, beliau berkata telah bersabda Rasulullah SAW., “Siapa saja yang mengambil harta kawannya (meminjamnya) lalu mati dan tidak meninggalkan sesuatu untuk menggantinya maka sungguh ia telah membuka pintu dosa besar.”

Nabi SAW. bersabda, “Sesungguhnya dosa terbesar di sisi Allah setelah dosa-dosa besar yang terlarang adalah seseorang yang mati dengan tanggungan utang tanpa meninggalkan sesuatu untuk melunasinya.” (HR. Abu Daud)

4. Mencatat sekecil apa pun yang menjadi utang kita.

Sebagaimana firman Allah SWT.,

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS. Al-Baqarah : 282)

5. Bersegera melunasi utang bila sudah mampu untuk melunasinya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik dalam membayar utang,” (HR. Bukhari).

Wallahu A'lam
SHARE ARTIKEL