Muslim Wajib Tahu, Ini 2 Larangan Bagi Seseorang Yang Hendak Berqurban Beserta Hikmahnya
Penulis Cheryl mikayla | Ditayangkan 07 Aug 2018Pemotongan hewan qurban, (foto; usmbtshoesinc.com)
Sebentar lagi sudah masuk bulan Dzulhijjah. Momen dimana kaum Muslimin merayakan Hari Raya kedua, yaitu Idul Adha atau Hari Raya Qurban.
Namun sebelum berqurban, ternyata islam melarang melakukan hal-hal berikut ini.
Ketika masuk bulan Dzulhijjah, seseorang yang hendak berkurban dilarang untuk memotong kuku dan rambut ketika sudah memasuki tanggal 1 Dzulhijjah sampai hewan kurbannya disembelih.
Larangan tersebut berlaku untuk memotong dengan cara apapun dan untuk bagian kuku dan rambut manapun.
Artinya mencakup larangan mencukur gundul atau mencukur sebagian saja, atau sekedar mencabutinya. Baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak (Shahih Fiqih Sunnah, 2/376).
Dari Ummu Salamah dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam,
مَن كانَ لَهُ ذِبحٌ يَذبَـحُه فَإِذَا أَهَلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
”Barangsiapa yang telah memiliki hewan yang hendak diqurbankan, apabila telah masuk tanggal 1 Dzulhijjah, maka janganlah dia memotong sedikitpun bagian dari rambut dan kukunya hingga dia selesai menyembelih.” (HR. Muslim 5236, Abu Daud 2793, dan yang lainnya).
Rambut dan kuku yang dilarang untuk dipotong dalam hadis di atas adalah rambut dan kuku shohibul kurban, bukan rambut dan kuku hewan kurban.
Apakah Larangan Ini Berlaku untuk Semua Anggota Keluarga?
Larangan ini hanya berlaku untuk shohibul kurban dan tidak berlaku bagi seluruh anggota keluarganya.Zahir hadis menunjukkan bahwa larangan ini hanya berlaku untuk yang hendak berkurban.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berkurban untuk dirinya dan keluarganya.Namun belum ditemukan riwayat bahwasanya nabi melarang anggota keluarganya untuk memotong kuku maupun rambutnya.
Demikian, penjelasan Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam Syarhul Mumti’ (7:529).
Apa Hikmahnya Bagi Shahibul Qurban Ketika Tidak Memotong Kuku dan Rambut?
Berikut penjelasan dari syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah.Pertama: Tidak diragukan lagi bahwa larangan dari Rasulullah shallallahu ‘alaih wa sallam pasti mengandung hikmah.
Demikian juga perintah terhadap sesuatu adalah hikmah, hal ini cukuplah menjadi keyakinan setiap orang yang beriman (yaitu yakin bahwa setiap perintah dan larangan pasti ada hikmahnya baik yang diketahui ataupun tidak diketahui, seperti dilansir dari muslim.or.id.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَن يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban orangorang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orangorang yang beruntung. (QS. an-Nur: 51)
Kedua: Agar manusia di berbagai penjuru dunia sesuai dengan orang yang berihram haji dan umrah karena orang yang berihram untuk haji dan umrah juga tidak boleh memotong kuku dan rambut.
BACA JUGA: Suami Wajib Tahu, Istri yang Seperti Ini Adalah Bahaya Terbesar Bagi Pria Setelah Kekafiran
Ada juga ulama yang berpendapat dengan pendapat yang lain misalnya:
- Hikmahnya agar seluruh anggota tubuh orang yang berkurban tetap lengkap sehingga bisa dibebaskan dari api Neraka.
- Ada pendapat juga hikmahnya adalah membiarkan rambut dan kuku tetap ada dan dipotong bersama sembelihan kurban, sehingga menjadi bagian kurban disisi Allah.
Yang terpenting adalah alasan pertama yang disampaikan, bahwa jika ada perintah dan larangan hendaknya seorang yang berimana segera melaksanakannya dan yakin pasti ada hikmah dan kebaikan di dalamnya.
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dalam risalahnya,
الدين مبني على المصالح في جلبها و الدرء للقبائح
“Agama dibangun atas dasar berbagai kemashlahatan. Mendatangkan mashlahat dan menolak berbagai keburukan”
Kemudian beliau menjelaskan,
ما أمر الله بشيئ, إلا فيه من المصالح ما لا يحيط به الوصف
“Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kecuali padanya terdapat berbagai mashlahat yang tidak bisa diketahui secara menyeluruh” (Risaalah fiil Qowaaidil fiqhiyah hal. 41, Maktabah Adwa’us salaf)
Demikian, Wallahu a’lam.