Wow ! Pertama Kali di Indonesia Ketika Pameran Seni Dibuka `Tanpa Karya ... `
Penulis Penulis | Ditayangkan 05 Jun 2016Kalau dipikir-pikir, undangan pameran Ruang Tunggu sebetulnya sudah bisa menjadi petunjuk. Tidak seperti pameran biasa yang berlangsung lebih dari sepekan, acara ini hanya diadakan satu hari.
Deskripsi acara pun sudah menjanjikan pengalaman yang berbeda bahwa "semua pihak dapat fokus menikmati malam' untuk bercengkerama.
Musa, 33, yang datang bersama sejumlah kawan, juga sudah curiga bahwa ada yang "tidak beres" dari pameran ini. "Namanya Ruang Tunggu, setelah datang jam 7 malam, kita diminta menunggu lagi satu jam," papar Musa. "Setelah dibuka, dan lihat ruangnya kosong, saya jadi langsung ngeh bahwa ini memang seperti ruang tunggu, tiap orang menunggu, ngobrol..."
Akhirnya, "Saya mencoba menikmati saja."
Duduk bersama keenam seniman setelah acara berlangsung, saya mencoba menggali alasan di balik ruang kosong ini dan ternyata jawabannya jauh dari sekedar lelucon saja.
Ide menghadirkan Ruang Tunggu, kata mereka, sudah muncul tiga tahun lalu. Namun dirasa semakin relevan saat ini untuk memperlihatkan fenomena sosial dalam setiap pembukaan pameran: bahwa karya seni tidak dipandang sebagai yang utama tapi hanya pelengkap.
Baca Juga : Misteri di Balik Orang yang Bisa Menggandakan Seluruh Mata Uang Seluruh Dunia
"Orang-orang datang, ngobrol, foto-foto dengan karya, selfie, tag temannya di sosial media, check-in," kata Reza Mustar atau Azer yang dikenal dengan komik-komiknya.
"Saya melihatnya sebagai momen untuk eksis, to cherish the moment. Pameran seni terlihat sebagai sebuah sarana eksistensi," kata Muhammad Taufiq alias Emte.
Namun, aktivitas pengunjung yang seakan "menyingkirkan karya seni dari sorotan utama di panggungnya sendiri" itu tidak mereka anggap sebagai hal yang salah.
Lala Bohang mengatakan bahwa mereka "tidak dalam posisi mengkritik atau mengkoreksi". Apa yang mereka inginkan adalah sekedar mencari tahu, "apa yang terjadi ketika 'pelengkap' itu hilang?"
Saya, yang curiga bahwa pameran ini adalah bentuk respons pasif-agresif seniman pada pengunjung, mencoba untuk memastikan, "Apa kalian tidak merasa tersinggung atau terganggu ketika menyadari karya Anda seakan tersisih di pamerannya sendiri?"
Semua kompak mengatakan tidak.
Terlepas dari itu, pertanyaan Lala terjawab pada sebuah momen singkat pada pukul 20.00 WIB, ketika pengunjung -yang dipaksa menunggu satu jam- dipersilakan masuk ke ruang pameran yang sebelumnya tertutup rapat. "Saya deg-degan," katanya.
Tak seperti pameran lain, para pengunjung tampak ragu-ragu setelah pintu dibuka, kata Ari Dina Krestiawan. "Mereka tidak langsung masuk, tidak berkeliling. Tapi mereka menunggu. Seperti ada keraguan kolektif, apakah saya harus masuk atau diam saja. Itu tidak biasa."
Selebihnya, semua orang berlaku layaknya berada di pembukaan pameran: berfoto-foto, berbincang (dengan kawan dan juga dengan seniman), minum (bir), bersosial media, dan menikmati musik di panggung.
Bagaimanapun, ketika ada pameran dan seniman tentu harus ada karya seni di dalamnya. Dan, dalam acara ini karya seni tak melulu berwujud materi, tapi berupa pengalaman, yang tak hanya dirasakan pengunjung tapi juga seniman itu sendiri.
"Bagi saya menjadi seniman adalah tentang menawarkan perspektif baru, ways of thinking. Tapi kadang kita terjebak dengan metodenya, bahwa perspektif baru itu selalu dituang dengan metode yang sama, sesuatu yang establish (dengan lukisan, patung, dan lainnya)," jelas Ari.
"Kita ingin menampilkan perjalanan baru."
Seniman, kata Azer, sama seperti pesulap yang menampilkan petualangan.
Tapi di sisi lain, karya seni itu juga bisa berarti sesuatu yang lain, seperti misalnya Anda, yang datang ke Edwin's Gallery, Kamis lalu.
Baca Juga : Inilah yang Terjadi Ketika "Allah" Menjemput Pengguna Ojek Online
Sekumpulan orang yang menjadi bagian dari penyelenggara pameran, sibuk beraksi dengan monopod dan kamera-kamera SLR memotret para pengunjung. Apakah karya seni itu bisa berupa rekaman aksi orang-orang yang datang?
Saya bertanya untuk memastikan, "Jadi mana karya seninya?"
Dengan senyum dan rasa senang karena menyimpan rahasia, mereka menjawab, "Tunggu ajaaaa....!"
Deskripsi acara pun sudah menjanjikan pengalaman yang berbeda bahwa "semua pihak dapat fokus menikmati malam' untuk bercengkerama.
Musa, 33, yang datang bersama sejumlah kawan, juga sudah curiga bahwa ada yang "tidak beres" dari pameran ini. "Namanya Ruang Tunggu, setelah datang jam 7 malam, kita diminta menunggu lagi satu jam," papar Musa. "Setelah dibuka, dan lihat ruangnya kosong, saya jadi langsung ngeh bahwa ini memang seperti ruang tunggu, tiap orang menunggu, ngobrol..."
Akhirnya, "Saya mencoba menikmati saja."
Duduk bersama keenam seniman setelah acara berlangsung, saya mencoba menggali alasan di balik ruang kosong ini dan ternyata jawabannya jauh dari sekedar lelucon saja.
Ide menghadirkan Ruang Tunggu, kata mereka, sudah muncul tiga tahun lalu. Namun dirasa semakin relevan saat ini untuk memperlihatkan fenomena sosial dalam setiap pembukaan pameran: bahwa karya seni tidak dipandang sebagai yang utama tapi hanya pelengkap.
Baca Juga : Misteri di Balik Orang yang Bisa Menggandakan Seluruh Mata Uang Seluruh Dunia
"Orang-orang datang, ngobrol, foto-foto dengan karya, selfie, tag temannya di sosial media, check-in," kata Reza Mustar atau Azer yang dikenal dengan komik-komiknya.
"Saya melihatnya sebagai momen untuk eksis, to cherish the moment. Pameran seni terlihat sebagai sebuah sarana eksistensi," kata Muhammad Taufiq alias Emte.
Namun, aktivitas pengunjung yang seakan "menyingkirkan karya seni dari sorotan utama di panggungnya sendiri" itu tidak mereka anggap sebagai hal yang salah.
Lala Bohang mengatakan bahwa mereka "tidak dalam posisi mengkritik atau mengkoreksi". Apa yang mereka inginkan adalah sekedar mencari tahu, "apa yang terjadi ketika 'pelengkap' itu hilang?"
Saya, yang curiga bahwa pameran ini adalah bentuk respons pasif-agresif seniman pada pengunjung, mencoba untuk memastikan, "Apa kalian tidak merasa tersinggung atau terganggu ketika menyadari karya Anda seakan tersisih di pamerannya sendiri?"
Semua kompak mengatakan tidak.
Terlepas dari itu, pertanyaan Lala terjawab pada sebuah momen singkat pada pukul 20.00 WIB, ketika pengunjung -yang dipaksa menunggu satu jam- dipersilakan masuk ke ruang pameran yang sebelumnya tertutup rapat. "Saya deg-degan," katanya.
Tak seperti pameran lain, para pengunjung tampak ragu-ragu setelah pintu dibuka, kata Ari Dina Krestiawan. "Mereka tidak langsung masuk, tidak berkeliling. Tapi mereka menunggu. Seperti ada keraguan kolektif, apakah saya harus masuk atau diam saja. Itu tidak biasa."
Selebihnya, semua orang berlaku layaknya berada di pembukaan pameran: berfoto-foto, berbincang (dengan kawan dan juga dengan seniman), minum (bir), bersosial media, dan menikmati musik di panggung.
Bagaimanapun, ketika ada pameran dan seniman tentu harus ada karya seni di dalamnya. Dan, dalam acara ini karya seni tak melulu berwujud materi, tapi berupa pengalaman, yang tak hanya dirasakan pengunjung tapi juga seniman itu sendiri.
"Bagi saya menjadi seniman adalah tentang menawarkan perspektif baru, ways of thinking. Tapi kadang kita terjebak dengan metodenya, bahwa perspektif baru itu selalu dituang dengan metode yang sama, sesuatu yang establish (dengan lukisan, patung, dan lainnya)," jelas Ari.
"Kita ingin menampilkan perjalanan baru."
Seniman, kata Azer, sama seperti pesulap yang menampilkan petualangan.
Tapi di sisi lain, karya seni itu juga bisa berarti sesuatu yang lain, seperti misalnya Anda, yang datang ke Edwin's Gallery, Kamis lalu.
Baca Juga : Inilah yang Terjadi Ketika "Allah" Menjemput Pengguna Ojek Online
Sekumpulan orang yang menjadi bagian dari penyelenggara pameran, sibuk beraksi dengan monopod dan kamera-kamera SLR memotret para pengunjung. Apakah karya seni itu bisa berupa rekaman aksi orang-orang yang datang?
Saya bertanya untuk memastikan, "Jadi mana karya seninya?"
Dengan senyum dan rasa senang karena menyimpan rahasia, mereka menjawab, "Tunggu ajaaaa....!"