PENDAPAT CAK NUN UNTUK MEREKA YANG " BERSORBAN DAN BERGAMIS "

Penulis Penulis | Ditayangkan 13 Jul 2016
Walaupun seorang ulama atau kyai, tapi Cak Nun selalu berpakaian seperti layaknya orang biasa. Bisa dikatakan tidak ada bedanya dengan penjual batu akik, buruh pabrik atau sales kaos kaki.

PENDAPAT CAK NUN UNTUK MEREKA YANG

“Kalau saya datang dengan berpakaian gamis dan sorban, memang tidak ada salahnya. Cuman saya takut semua orang akan berkesimpulan bahwa saya lebih pandai daripada yang lain. Lebih parah lagi, kalau mereka berkesimpulan bahwa saya lebih alim…Kalau itu tidak benar, itu khan namanya ‘penipuan’…!” kata Cak Nun, Demikian lansiran dari Fiqhmenjawab.com, Rabu 13/7.

Baca juga: 5 Wirid Rasulullah Jelang Menunaikan Shalat

“Kalaupun memang benar, apakah akhlak itu untuk dipamerkan kepada orang lain (melalui pakaian)? Tidak boleh kan? Maka semampu-mampu saya, berpakaian seperti ini untuk mengurangi potensi ‘penipuan’ saya kepada Anda. Anda tidak boleh mendewakan saya, me-Muhammad-kan saya, meng-habib-kan saya, karena saya adalah saya karena Allah menjadikan saya sebagai saya dan tidak karena yang lain. Maka Anda obyektif saja sama saya…” lanjut Cak Nun.

Menurut Cak Nun, seorang ulama harusnya bisa berpakaian yang sama dengan pakaian umatnya yang paling miskin. Cak Nun tidak mempersalahkan orang yang bergamis dan berserban. Malah salut sama mereka yang menunjukan kecintaannya pada Rasulullah dengan meniru persis apa yang ada di diri Rasul. Tapi perlu diketahui bahwa baju Rasulullah tidak sebagus dan sekinclong yang dipakai kebanyakan orang sekarang. Baju Rasulullah sendiri ada 3 jenis : yang dipakai, yang di dalam lemari dan yang dicuci. Dan semua orang Arab di jaman nabi, model pakaiannya seperti itu. Nggak cuma Nabi Muhammad..; Abu Jahal, Sueb, Sanusi, Atim dan orang Arab lainnya, model klambine koyok ngono iku.

Baca juga: Makna Idul Fitri dan Sebuah Kemenangan

Jadi sebenarnya sunnah Rasul yang paling mendasar adalah Akhlaknya bukan kostumnya. Orang yang disukai Tuhan adalah orang yang menyebut dirinya buruk, biso rumongso, nggak rumongso biso.

Orang yang diragukan keihklasannya adalah orang menyebut dirinya baik. Semua nabi mengaku dirinya dzolim : (aku termasuk orang yang dzolim). Nggak ada nabi yang mengaku dirinya sholeh. Kalau ada orang yang mengaku paling benar atau alim, langsung tinggal mulih ae…ndang baliyo sriii…!

“Kalau sama Tuhan kita harus 100%, kalau kepada ilmu kita, cukup 99%. Seluruh yang saya ketahui dan yakini benar itu belum tentu benar. Maka saya tidak mempertahankan yang saya yakini benar karena mungkin mendapatkanilmu yang lebih tinggi.” kata Cak Nun.

Karena itulah saat bersama jamaahnya, Cak Nun selalu memposisikan dirinya sama, sama-sama belajar. Dan Cak Nun sendiri lebih suka pada jamaah yang sedang berproses daripada yang sudah ahli ibadah. Karena itu lebih tepat sasaran. Bukan pengajian pada orang yang sudah ngerti Al Quran, bukan pengajian yang menyuruh haji orang yang sudah berhaji, menyuruh ngaji orang yang sudah ngaji tiap hari, menyuruh orang shalat yang sudah shalat, dst.

“Tidak apa-apa kalau ilmu agamamu masih pas-pasan, itu malah membuatmu menjadi rendah hati. Banyak orang yang sudah merasa tahu ilmu agama, malah menjadikannya tinggi hati,” begitu pesan Cak Nun.

“Kalau saya kadang bicara pakai bahasa Jawa, jangan dibilang Jawasentris.. saya cuman berekspresi sebagai orang Jawa.. saya lahir dan dibesar di Jawa.. diperintah Tuhan jadi orang Jawa… maka saya mencintai dan mendalami budaya saya.. siapa bilang Jawa itu tidak Islam.. kalau saya ayam saya nggak akan jadi kambing..kalau anda kucing jangan meng-anjing-anjing-kan diri.. Kita memang disuruh Bhineka (berbeda-beda) kok..!

Banyak orang salah kaprah menyebut Cak Nun sebagai penganut kejawen. Kejawen ndasmu… ‘Software’ Cak Nun lebih canggih karena laku tirakat luar biasa yang dilakukan sejak kecil. (Laku tirakat yang tidak bertujuan untuk menguasai ilmu hitam koyok mbahmu mbiyen). Sehingga beliau waskito, mempunyai sidik paningal, mempunyai pandangan yang tajam dan jernih soal kehidupan.

Little bit wagu kalau ada orang Jawa (atau Indonesia) yang malah membangga-mbanggakan budaya Arab atau Barat. Benci kebaya tapi nggak ngasih solusi bagaimana kebaya bisa Islami. Ingat : Jowo digowo, Arab digarap dan Barat diruwat.” kata suami dari Novia Kolopaking.
SHARE ARTIKEL