Bukan Asal Mengikuti, Pahami Lagi Tentang Taqlid dari Para Ulama Ini!
Penulis Unknown | Ditayangkan 07 Nov 2016Kata Madzab berasal dari makna kata Arab "pergi" atau "mengambil sebagai cara".
Dalam arti yang lebih luas, madzab mewakili seluruh pemikiran ulama dari Imam mujtahid tertentu , contohnya Abu Hanifah, Malik Syafi'i, dan yang lainnya.
Sedangkan Taqlid menurut bahasa berasal dari bahasa Arab yaitu qalada, yuqalidu, taqlidan, yang berarti mengulangi, meniru dan mengikuti.
Para ulama ushul memberikan defenisi taqlid dengan “mengikuti pendapat seseorang mujtahid atau ulama tertentu tanpa mengetahui sumber dan cara pengambilan pendapat tersebut.
Orang yang bertaqlid disebut mukallid. Nah, begitu membingungkannya sifat tersebut jika tidak ditempatkan pada sebagai mana wajarnya.
Oleh karena itu, pembahasan kali ini mengenai pendapat beberapa Madzab yang berbicara mengenai sifat taqlid.
Seperti apa penjelasannya? Berikut rangkumannya kami berikan.
1. Imam Abu Hanifah
Dalam beberapa riwayat lain beliau mekatakan:
“Jika suatu hadits itu shahih, itulah madzhabku.”
“Orang yang tidak mengetahui dalilku, haram baginya menggunakan pendapatku untuk memberi fatwa.”
"Kalau saya mengemukakan suatu pendapat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tinggalkanlah pendapatku itu.”.
2. Imam Malik
Dalam beberapa riwayat lain beliau mengatakan:
Ibnu Wahhab berkata,
“Saya pernah mendengar Imam Malik menjawab pertanyaan orang tentang menyela-nyela jari-jari kaki dalam wudhu, jawabnya, ‘Hal itu bukan urusan manusia.’”
Ibnu Wahhab berkata, “Lalu saya tinggalkan beliau sampai orang-orang yang mengelilinginya tinggal sedikit, kemudian saya berkata kepadanya, ‘Kita mempunyai hadits mengenai hal tersebut.’
Dia (Imam Malik) bertanya, ‘Bagaimana hadits itu?’ Saya menjawab, ‘Laits bin Sa’ad, Ibnu Lahi’ah, ‘Amr bin Harits, meriwayatkan kepada kami dari Yazid bin ‘Amr Al Mu’afiri, dari Abi Abdurrahman Al Habali, dari Mustaurid bin Syaddad Al Qurasyiyyi, ujarnya;
Saya melihat Rasulullah menggosokkan jari manisnya pada celah-celah jari-jari kakinya.’
Imam Malik menyahut, ‘Hadits ini hasan, saya tidak (pernah) mendengar ini sama sekali kecuali kali ini.’
Kemudian di lain waktu saya mendengar dia ditanya orang tentang hal yang sama, lalu beliau menyuruh orang itu untuk menyela-nyela jari-jari kakinya.”.
3. Imam Ahmad
Dalam beberapa riwayat lain beliau mengatakan:
“Janganlah kamu taqlid kepada siapa pun dari mereka dalam urusan agamamu. Apa yang datang dari Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, itulah hendaknya yang kamu ambil. Adapun tentang tabi’in, setiap orang boleh memilihnya (menerima atau menolak pendapatnya).”.
“Yang dinamakan ittiba’ yaitu mengikuti apa yang datang dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, sedangkan yang datang dari para tabi’in boleh dipilih.”.
4. Imam Syafi'i
Dalam beberapa riwayat lain beliau mengatakan:
“Bila kalian mengetahui aku mengatakan suatu pendapat yang ternyata menyalahi hadits Nabi yang shahih, ketahuilah bahwa hal itu berarti pendapatku tidak berguna.”
“Bila kalian menemukan dalam kitabku sesuatu yang berlainan dengan hadits Rasulullah, peganglah hadits Rasulullah itu dan tinggalkanlah pendapatku.”