Seperti Ini Cara Rasulallah SAW Beri`tikaf Ikutilah Untuk Meraih Lailatul Qadar

Penulis Penulis | Ditayangkan 16 Jun 2017
Seperti Ini Cara Rasulallah SAW Beri`tikaf Ikutilah Untuk Meraih Lailatul Qadar

Sudahkah anda berniat untuk tidak melewatkan kesempatan emas 10 hari terakhir di bulan Ramdhan dengan menyampaikan seluruh pengharapan dan doa (bermunajat)  dan ibadah sepenuh hati  ber-i’tikaf di masjid.  Sebelum ber’itikaf mari kita simak kembali beberapa penjelasan dari  Kitab Bulughul Maram oleh Al Hafizh IBn Hajar Al Asqalany dan syarahnya oeleh Syaikh Shafiyyurahman Al Mubarakfurry

*Diriwayatkan Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Barangsiapa melaksanakan Qiyam Ramadhan dengan dasar keimanan dan hanya mengharapkan pahala dari Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu (Muttafaq Alaihi)

Menurut bahasa, I’tikaaf ialah menahan, berdiam dan menetap. Sedangkan menurut syariat, I’tikaaf ialah berdiamnya seseorang di masjid dengan sifat tertentu. Sementara yang dimaksud dengan qiyam Ramadhan ibadah pada malam harinya, baik shalat maupun membaca Al Qur’an. Qiyam Ramadhan pada umumnya dipergunakan untuk menyebut shalat Tarawih.  Sabdanya, karena iman yakni membenarkan janji Allah berupa pahala, bermakna bahwa ia beribadah karena keimanannya. Yakni keimanannyalah yang mendorongnya untuk melakukan qiyam, bukan sesuatu yang lain. Ini mengisyaratkan keikhlasan niatnya dari kotoran riya. “ dan ihtisab” yakni mencari wajah Allah dan pahalanya.

Diriwayatkan dari Aisyah r.a. , ia berkata,” Apabila telah masuk hari kesepuluh, yakni sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, Rasulullah SAW mengencangkan kain sarungnya dan menghidupkan malam-malam tersebut serta membangunkan istri-istrinya (Muttafaq Alaihi)

Sabdanya mengencangkan kain sarungnya, ini adalah kinayah tentang tekun beribadah, mencurahkan waktu untuknya dan bersungguh-sungguh di dalamya. Ada yang berpendapat, yang dimaksud dengannya ialah menjauhi wanita untuk menyibukkan diri dengan peribadatan. “ Menghidupkan malamnya” yakni menghidupkan seluruh malam dengan begadang untuk melakukan shalat dan selainnya, atau menghidupkan sebagian besarnya” dan membangunkan keluarganya” yakni membangunkan mereka dari tidur untuk beribadah dan shalat.

*Diriwayatkan dari Aisyah r.a. , ia berkata,” Jika Nabi SAW ingin melakukan I’tikaf, beliau mengerjakan shalat Shubuh , baru kemudian masuk ke tempat I’tikafnya (Muttafaq Alaihi)

Pernyataannya, “shalat Shubuh” yakni pada pagi 21 Ramadhan. Maksudnya beliau terfokus dan menyepi di dalamnya setekah shalat shubuh. Bukan berarti bahwa itu dimulainya waktu I’tikaf. Bahkan waktu I’tikaf dimulai sebelum maghrib pada Malam ke 21 dalam keadan beri’tikaf lagi berdiam di masjid secara umum. Ketika setelah selesai shalat Subuh beliau menyendiri. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Imam An Nawawi. Takwil ini harus dilakukan untuk mengkompromikan antara hadits ini dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana hadits ini.

*Diriwayatkan dari Aisyah r.a. , ia berkata,” Rasulullah saw pernah memasukkan kepalanya ke kamarku dan aku menyisir rambutnya. Dan jika sedang I’tikaf beliau tidak masuk rumah kecuali jika ada keperluan.” (muttafaq Alaihi)

Maksudnya menggunakan sisir di rambut kepala, maksudnya aku menyisirnya dan meminyakinya. Di dalamnya terdapat dalil bahwa mengeluarkan sebagian tubuh orang yang beri’tikaf di Masjid itu tidak membatalkan I’tikaf , dan hadits ini juga terdapat dalil tentang bolehnya laki-laki menjadikan istri sebagai pelayannya. “kecuali jika ada keperluan” seperti kencing, buang air besar , muntah, mandi jinabat, buang ingus dan selainnya yang tidak mungkin dilakukan di masjid.

*Diriwayatkan beliau pula , ia berkata,” Sunnah bagi orang yang ber-I’tikaf untuk tidak menjenguk orang sakit, tidak menyaksikan jenazah, tidak menyentuh wanita dan tidak mencumbunya . Tidak keluar untuk suatu kepentingan kecuali jika memang harus . Tidak sah I’tikaf kecuali jika dibarengi dengan puasa dan tidak sah I’tikaf kecuali didalam masjid Jami.” (Hr Abu Dawud, Perawi-perawinya bAik, hanya saja yang kuat bahwa perkataan yang terakhir hukumnya mauquf)

“Dan tidak sah I’tikaf kecuali dibarengi dengan puasa.” Mengenai hal ini terdapat perselisihan yang besar, dan dalil-dalil menunjukkan bahwa itu tidak disyaratkan. “Masjid jami ‘ yaitu masjid yang diselenggarakan di dalamnya shalat-shalat. “hanya saja pendapat yang kuat bahwa bahwa perkataan yang terakhir hukumnya mauquf,”yakni dari ucapannya “ dan tidak sah I’tikaf kecuali dibarengi dengan puasa.” Ad daruquthni menegaskan bahwa kadar hadits Aisyah adalah sampai lafadz “ Dan tidak keluar untuk suatu kepentingan” sementara selain lafadz itu adalah dari perawi lain.” Demkian dari Fathul Bari

*Diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa r.a. bahwa  beberapa orang shahabat Nabi  SAW bermimpi melihat malam Lailatul qadr pada tujuh hari terakhir. Maka Rasulullah SAW bersabda,” Menurut dugaanku, kalian bermimpi pada tujuh hari terakhir. Barang siapa ingin mencari malam tersebut, maka carilah pada tujuh malam terakhir (Muttafaq Alaihi)

Pernyataannya, “pada tujuh malam yang terakhir” yakni pada  tujuh malam yang tersisa dari akhir Ramadhan. Dengan demikian permulaannya adalah malam 23.Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan malam tersebut…” dan pendapat yang paling sahih dan paling kuat dalilnya bahwa ia terdapat pada bilangan ganjil dari sepuluh malam yang terakhir dan berpindah-pindah. Terkadang pada malam 21, terkadang pada malam 23, terkadang malam 25, terkadang malam 27 dan terkadang malam 27. Adapun riwayat yang menyebutkan penentuan sebagian malam secara pasti, dan sebagaimana dalam hadits-hadits lainnya bahwa ia  adalah malam 21 atau malam 23, maka ini memang demikian pada tahun tertentu.  Bukan berarti bahwa ia demikian seterusnya hingga akhir masa . Tetapi ada yang menyangka bahwa ia memang demikian hingga selamanya, sehingga terjadilah perselisihan yang tajam karenanya.

*Diriwayatkan dari Aisyah r.a. , ia berkata : Aku katakan wahai Rasulullah, apa yang harus aku ucapkan jika aku mengetahui malam lailatul Qadr itu? Beliau menjawab,” Ucapkanlah Allahuma innaka afuwwun tuhibbul Afwa fa’fu annii (Ya Allah sensungguhnya Engkau Maha pemaaf ,  suka memaafkan maka  maafkanlah aku ). Hadits diriwayatkan oleh lima imam selain Abu Dawud dam dishahihkan oleh At Tirmidzi dan Al Hakim. (Lr/bulughul Maram)
SHARE ARTIKEL