Campur Tangan Mertua Seperti ini Harus Dibasmi, Karena Sama Dengan Menanam Bibit Penyakit
Penulis Taufiq Firmansah | Ditayangkan 30 Jan 2018Foto via hipwee.com
Membasmi dan yang sebaiknya dilakukan pasangan jika mertua ikut campur
Campur tangan mertua ini sama dengan menanam bibit penyakit dalam rumah tangga.
Dan ini masih bibit jika sudah ditanam lama kelamaan mengembang dan akhirnya merusak rumah tangga.
Maka dari itu cara ini ampuh bunuh bibit yang sudah ditanamkan mertua menurut islam.
Nah, kira-kira bagaimana islam memandang hal tersebut?
Sebenarnya bolehkah mertua ikut campur dalam rumah tangga ataukah tidak diperbolehkan? Berikut ulasannya.
Pertikaian ataupun ketidakcocokan antara mertua dan menantu adalah hal yang umum terjadi.
Begitu umumnya hal ini, sehingga terkadang mereka yang tidak memiliki masalah dengan mertua dianggap sebagai orang-orang yang beruntung.
Secara umum, mertua yang selalu mencampuri urusan anak dan menantunya tidaklah menjamin sebuah hasil yang menguntungkan.
Baca juga: Jangan Hakimi Ibu Depresi, Wanita ini Ajak Berempati Pada Kasus Ibu Bunuh Diri Bersama 3 Anak
Sebelum memutuskan boleh atau tidaknya, hendaknya kita mengkaji dulu tentang masalahnya.
Mengapa mertua tersebut ikut campur? Apakah untuk kebaikan atau malah berunsur kebencian?
Terkadang keterlibatan mertua dalam rumah tangga bisa diartikan menjadi nasehat, bisa pula sebagai rasa iri.
Ini bergantung pada persepsi masing-masing.
Apabila mertua ikut campur dalam hal kebaikan, misalnya:
- Menasehati menantunya tentang ilmu agama
- Mengajari cara memasak atau mengurus anak
- Menjelaskan tentang kewajiban suami terhadap istri dalam Islam tanpa menggurui
- Menjelaskan peran wanita dalam Islam, fungsi ibu rumah tangga dalam Islam dan kewajiban wanita setelah menikah.
- Sekedar memberikan saran atas masalah yang terjadi, tapi tidak memaksa
- Serta menjadi tempat keluh kesah
Maka tindakan-tindakan tersebut diperbolehkan.
Sebab pasangan yang baru menikah juga belum terlalu mengerti tentang kehidupan rumah tangga.
Jadi mereka butuh bimbingan untuk menghindari perceraian.
Menjadi orang tua harus selalu belajar untuk mendewasakan akal dan pikiran seiring bertambahnya usia.
Jangan sampai sikap kurang dewasa orang tua mempengaruhi kebahagiaan pernikahan anak-anak mereka.
Karena ketidakbahagiaan dalam pernikahan, efeknya tidak jauh beda dengan penyakit kronis: mematikan.
Bedanya, yang satu kelihatan dan yang satunya tidak.
Ketidakbahagiaan dalam pernikahan bisa bersumber dari banyak hal. Namun secara garis besar bisa dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Ketidakbahagiaan dari dalam diri sendiri
Sumber ketidakbahagiaan pernikahan yang berasal dari diri sendiri misalnya karena menikah dengan orang yang tidak dicintai & diri sendiri.
Nggak ada usaha untuk belajar mencintai (jadi dari awal emang udah nggak sreg) atau bisa dari sikap diri sendiri.
Yang pada dasarnya emang nggak pernah bersyukur sekalipun sudah memiliki & mendapatkan segalanya.
2. Ketidakbahagiaan yang berasal dari orang lain
Ketidakbahagiaan yang berasal dari luar diri sendiri bisa terjadi karena diri mendiamkan ketika dibully.
(Bisa karena tidak berdaya atau yang lain) sehingga pihak ketiga pun bisa bebas semaunya.
Suami suka main tangan, mertua dan ipar yang jahat, kedatangan pihak ketiga, anak yang tidak bisa diatur, adalah beberapa contoh di antaranya.
Dua penyebab di atas bisa berakibat fatal kalau dibiarkan.
Bersikap seolah-olah kuat, sabar, & tabah bukanlah solusi karena pasti akan ada efeknya walau dalam bentuk tidak langsung.
Misal, seorang istri rela dan sabar diperlakukan kasar oleh suaminya.
Sekilas sikap istri tersebut seolah bijak padahal ternyata ada efek negatifnya.
Atau, ketika mertua memiliki menantu laki-laki.
Dia berusaha menjadikan si menantu tersebut seperti dirinya dulu dan seolah nggak rela ketika menantunya bahagia bersama anaknya.
Ada saja hal yang diusik seperti membandingkan dengan keluarga yang lebih kaya dan lain sebagainya.
Nah, bukankah ini juga tidak sehat? Bukankah banyak sekali yang semacam ini?
Padahal si menantu pria nggak salah apa-apa. Dan kira-kira bagaimana perasaan orangtua si menantu pria ketika ayah mertuanya memiliki niat seperti itu walau tidak ia sadari.
Ketidakbahagiaan dalam pernikahan juga bisa membuat seseorang sangat tidak suka melihat orang lain bahagia.
Baca juga: Seakan-akan Mau Keluar, Gerakan Agresif Bayi dalam Perut Ibu ini Bikin Ngilu
Seperti kata pepatah hurt people hurt people.
Misal, berkata-kata pedas menyakitkan padahal orang lain enggak mengusik ketenangan hidupnya/nggak merebut suaminya:
“Gitu aja dianterin, emang enggak bisa ya berangkat sendiri,” padahal sejatinya dia ingin juga diperlakukan seperti itu.
“Kalau aku sih emang pekerja keras ya enggak suka nganggur. Bedalah sama kamu yang di rumah aja,” padahal dia juga mau diperlakukan seperti itu.
“Kok gak hamil-hamil ya ntar suamimu nikah lagi lhoh,” entah apa untungnya bilang begini. Kenapa bahagianya harus nunggu ketika perasaan orang lain hancur? Na’udzubillah.
“Kapan rumahmu kamu rehab, itu si A baru 2 tahun nikah sudah punya mobil dan rumahnya tingkatnya sudah mewah”, nah bagaimana perasaan menantu laki-lakinya, padahal jika dibandingkan juga lebih banyak lelaki yang kurang beruntung dalam pekerjaanya.
“Suamimu mandul ya, kok kamu nggak hamil-hamil“, padahal suaminya menyembunyikan masalah sulit hamil istrinya, karena rasa sayangnya.
Atau keusilan lainnya.
Jika mertua/orangtua sudah seperti ini, maka bisa dihitung detik-detik kehancuran rumah tangga anaknya.
Jika disimpulkan, ketidakbahagiaan dalam pernikahan bisa membuat seorang wanita/laki-laki menyakiti orang lain selain dirinya
(Ingin membuat orang lain menderita seperti dirinya) atau menyakiti diri sendiri (bunuh diri atau semacamnya).
Adakah wanita/laki-laki yang tidak bahagia dalam pernikahan tapi tidak seperti itu?
Kenyataannya ada jika kita mau membuka mata, sangat banyak sekali perpecahan rumah tangga hanya karena campur tangan orangtua.
Jika kita sudah tahu bahwa efek ketidakbahagiaan dalam pernikahan ini sifatnya domino banget.
Semoga kita memiliki usaha untuk membuat pernikahan kita bahagia sesuai dengan kondisi masing-masing.
Peradaban besar dimulai dari keluarga. Yang itu artinya untuk membentuk peradaban terbaik dibutuhkan keluarga-keluarga yang sehat mental dan jiwanya, tidak hanya penampakan fisik saja yang mentereng.
Di dalam ajaran islam, pasangan yang telah menikah lebih dianjurkan untuk tinggal di rumah sendiri guna menghindari konflik dengan mertua.
Tidak apa-apa walau hanya ngontrak rumah kecil, yang terpenting istri tidak tertekan.
Dengan ngontrak rumah maka pasangan bisa belajar hidup mandiri, berjuang dari awal secara bersama-sama dan menciptakan kehidupan yang islami.
Tapi demikian anak tetap wajib berbakti pada orang tua. Jadi walau telah menikah tidak boleh melupakan orang tua.
Kewajiban anak laki-laki terhadap ibunya setelah menikah dan kewajiban anak perempuan terhadap orang tua setelah menikah adalah tetap harus sering mengunjungi dan memperhatikan kedua orang tuanya ataupun mertua.
Batasan Mertua Ikut Campur Dalam Rumah Tangga
Beberapa pendapat mengatakan bahwa tidak mengapa mertua ikut campur dalam rumah tangga asalkan itu dalam hal kebaikan.
Apabila mertua memang punya niat baik, pasti beliau tidak akan memihak.
Entah itu anaknya atau menantu, mana yang benar pasti dibela. Mertua harus bersikap adil.
Begitupun dengan menantu, hendaknya menyayangi mertua sebagaimana kasih sayangnya terhadap orang tua.
Menyenangkan hati mertua sama halnya dengan membahagiakan suami.
Dan dalam islam, istri yang dapat membuat suami bahagia maka akan diberikan pahala berlipat ganda. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist shahih:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, siapakah wanita yang paling baik? Jawab beliau, ‘Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci.” (HR. An-Nasai)
Baca juga : Berdosakah Ibu yang Tak Mau Menyusui Bayinya Karena Lebih Memilih Memberikan Susu Formula?
Cara Menyikapi Mertua yang Selalu Ikut Campur
Sebenarnya perilaku mertua ikut campur dalam rumah tangga bukanlah hal baru. Ini sudah sering terjadi dan bisa dikatakan cukup wajar.
Lalu bagaimana sikap kita sebagai menantu untuk menghadapinya? Berikut ini ulasannya!
Jangan dibalas dengan kejahatan
Apabila mertua melakukan hal-hal yang membuat hati kita jadi sakit, misalnya selalu mengeluh terhadap perbuatan kita, memerintahkan ini itu tiada henti, banyak menuntut dan sejenisnya.
Maka jangan dibalas dengan kejahatan juga. Islam memerintahkan agar kejahatan dibalas dengan kebaikan.
Mintalah petunjuk kepada Allah ta’ala.
Perbanyak berdoa dan Anda bisa mendiskusikan baik-baik dengan suami. Namun bila sudah tidak tahan, Anda boleh bercerita kepada orang tua.
Tinggal terpisah
Tinggal di rumah terpisah adalah cara terbaik untuk menghindari konflik dengan mertua.
Setidaknya jika Anda berumah tangga sendiri, kemungkinan mertua ikut campur lebih minim.
Selain itu, Anda juga lebih bebas mengatur kehidupan Anda sendiri tanpa ada rasa sungkan.
Sekali lagi, tindakan ini bukan berarti memisahkan suami dari orang tuanya. Toh, Anda juga sudah berani meninggalkan rumah.
Kalian bisa mencari kontrakan atau kos-kosan yang letaknya berdekatan dengan orang tua. Jadi bisa sering-sering berkunjung.
Berusaha memahami keinginan mertua
Daripada terus mengeluh atas tindakan mertua, mengapa Anda tidak mencoba memahami keinginannya?
Cobalah memposisikan diri Anda sebagai anaknya. Bayangkan beliau adalah orang tua Anda.
Dengan begitu akan terjalin ikatan yang kuat dari hati ke hati.
Apabila beliau melakukan sedikit kesalahan, misal ucapannya menyakiti hati Anda maka maklumi saja.
Cari tahu apa yang diinginkan beliau.
Coba dekati secara perlahan, curi perhatiannya dan berusahalah menjadi pribadi yang ramah.
Berbicara dengan suami
Apabila Anda masih bingung apa yang diinginkan mertua atau mungkin Anda merasa tidak nyaman, maka cobalah berdiskusi dengan suami.
Ceritakan tentang apa yang terjadi, perasaan Anda, dan apa yang Anda mau.
Cobalah membuat keputusan yang adil dan tidak mendzolimi salah satu pihak.
Sebagai suami, tentunya punya tanggung jawab yang besar atas kebahagiaan istri.
Suami harus bisa melindungi istrinya sekaligus berbakti pada orang tua. Suami juga tidak boleh memihak. Mana yang benar itulah yang harus dibela.
Mengajak mertua sama-sama belajar agama
Tak ada salahnya sesekali mengajak mertua untuk ikut kajian agama. Anda bisa berbicara dengan sopan dan santun.
Bilang saja Anda ingin jalan-jalan bareng selagi ada waktu senggang. Aktivitas ini bisa mendekatkan hubungan Anda dengan mertua.
Selain itu, dengan belajar ilmu agama maka mertua juga akan lebih mengerti tentang bersikap sesuai syariat islam. InsyaAllah berkah sebab tujuan Anda juga baik.
Berbicara dengan Orang Tua
Apabila masalah sudah terlalu runyam, dan Anda tidak mampu menyelesaikannya sendiri. Sementara suami juga berpihak pada mertua.
Maka tak ada jalan lain kecuali Anda meminta bantuan kepada orang tua.
Saat menjelaskan masalahnya kepada orang tua jangan sambil marah-marah, karena itu bisa menyulut emosi mereka.
Ujung-ujungnya malah bertengkar. Jadi lebih baik ceritakan dengan baik-baik, gunakan bahasa yang sopan.
Sebisa mungkin cobalah menyelesaikan masalah dengan cara yang damai.
Oiya, Anda juga perlu tahu bahwa menikah itu perjuangan dan pengorbanan. Tidak ada pernikahan yang cuma senang-senang aja.
Pastilah ada masalah. Namun bila kedua pasangan bisa tetap berkomitmen.
Memegang teguh agama dan bersikap saling percaya maka insya Allah segala permasalahan bisa dilalui dengan baik.
Jangan takut menikah sebab menikah itu ibadah. Selain itu, setiap manusia memang sudah diciptakan berpasangan.
Menikah bisa membuat hati lebih tenang dan menghindarkan dari perbuatan zina. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran:
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mengkayakan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) dan Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32).
“Bagi kalian Allah menciptakan pasangan-pasangan (istri-istri) dari jenis kalian sendiri, kemudian dari istri-istri kalian itu Dia ciptakan bagi kalian anak cucu keturunan, dan kepada kalian Dia berikan rezeki yang baik-baik.” (Qs. An Nahl: 72).