Saking Pelitnya, Istri Minta Roti Tak Dibelikan Suami, Akhirnya Berujung Perceraiaan

Penulis Taufiq Firmansah | Ditayangkan 26 Feb 2018
Saking Pelitnya, Istri Minta Roti Tak Dibelikan Suami, Akhirnya Berujung Perceraiaan
Foto via kumparan.com

Ketika kepelitan merusak rumah tangga

Peringatan untuk suami, pasangan suami istri ini cerai hanya karena suami pelit, sang istri meminta untuk dibelikan roti pada suami, namun tak dibelikan akhrinya berujung perceraian, belajar dari kejadian ini, kenapa sih suami dilarang pelit pada istri?

Pasangan suami istri asal Mesir yang baru 40 hari menikah memilih untuk bercerai, lantaran suami memiliki sifat pelit.

Peristiwa itu berawal ketika keduanya sedang pergi berjalan-jalan. Kemudian di sela-sela perjalanan, Sameeha dan suami yang usianya dua lebih tua darinya membeli minuman jus.

Tak berselang lama, Sameeha kemudian meminta dibelikan roti isi daging khas Arab atau yang dikenal shawarma kepada suaminya. Namun sayang, sang suami justru menolak membelikan.

Baca juga : Bilangnya Ngerjakan Tugas Dirumah, Gataunya Berduaan Sambil Gini dengan Cowok Lain

Wanita 30 tahun itu mengungkapkan, seminggu usai menikah, sang suami mengaku tak suka bepergian ke luar bersamanya.

Hal itu karena dianggap hanya akan membuang-buang uang.

"Kami bahkan mengadakan pernikahan secara sederhana. Padahal selama dua bulan sebelum pernikahan dia tidak pernah menunjukkan betapa pelitnya dia, "kata Sameeha, seperti dilansir Arabnews.com, Minggu (18/2).

Wanita tersebut juga menyatakan bahwa suaminya menuduhnya telah mengeksploitasi kekayaannya.

Merasa tak nyaman dengan sifat yang dimiliki suaminya, Sameeha akhirnya menggugat cerai di pengadilan Mesir.

Kasus perceraian tersebut kabarnya akan selesai dalam beberapa minggu mendatang.

Jika ada seorang lelaki atau suami yang begitu taat pada orangtuanya akan tetapi begitu keras dan pelit terhadap istri serta anak-anaknya, bahkan kurang pandai untuk menghormati keluarga dari pihak istrinya, apa yang harus dilakukan seorang isteri ?

Seorang isteri diperkenankan mengambil harta suami tanpa sepengetahuannya sebanyak yang ia butuhkan bersama anak-anaknya dengan cara yang baik dan tidak berlebih-lebihan, dengan syarat jika sang suami tersebut memang dikenal pelit atau tidak memberikan nafkah yang cukup kepadanya padahal suaminya mampu.

Hal ini berdasarkan sebuah hadits shahih dari Aisyah ra yang menyatakan bahwa Hindun binti Utbah pernah mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam.

“ Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufya (suamiku) tidak memberikan nafkah yang cukup kepadaku dan kepada anak-anakku.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ambillah hartanya dengan cara yang ma’ruf sebanyak yang dibutuhkan olehmu dan anak-anakmu.” (HR. Bukhari dan Muslmi/Muttafaq ‘alaih)


Syariat Mengandung Maslahat

Dalam kasus di atas, yang perlu dikoreksi dari karakter suami tersebut, bukan mempertanyakan ketaatannya pada orangtuanya, bagaimanapun juga berbakti kepada kedua orangtua adalah perbuatan mulia.

Sama halnya dengan perintah shalat, jika kita mendapati ada seseorang yang suka shalat tapi masih suka berbuat maksiat dan suka menyakiti perasaan orang lain, maka yang dipermasalahkan disini bukanlah perintah shalatnya akan tetapi sejauh mana ia memahami dan memaknai akan pentingnya ibadah shalat.

Begitu juga saat kita dapati jika ada seseorang yang sudah bergelar haji bahkan berkali-kali pergi haji, tetapi kurang baik dengan tetangganya, masih suka menggunjing orang lain, sombong dan kikir.

Sesungguhnya Islam melihat nafkah untuk istri ini seperti apa? Bila beberapa suami meneliti satu saja ayat Al Qur’an pasti ia bakal mengerti manfaatnya sebagai kepala rumah tangga. “Wajib untuk tiap-tiap suami untuk memberi nafkah serta baju pada istri, dengan sepantasnya. ” (Q. S. Al-Baqarah : 233)

Lantas, bagaimana baiknya istri menanggapi hal semacam ini, serta bagaimana sesungguhnya Islam melihat persoalan tentang nafkah ini?

1. Suami harus memberi nafkah pada istri, baik lahir ataupun batin. Melalaikan hal semacam ini bermakna perbuatan zalim, memungkiri ayat-ayat Allah.

2. Bila suami bakhil, pelit pada istrinya serta tak memberi nafkah itu dengan cara layak, walau sebenarnya ia dapat memberinya, serta suami cuma menumpuk harta serta kekayaannya untuk kebutuhannya sendiri serta melalaikan kebutuhan pokok istri serta keluarganya, jadi hal itu begitu jadi perhatian Rasulullah :
Dari ‘Aisyah kalau Hindun binti ‘Utbah berkata : “Wahai Rasulullah, sebenarnya Abu Sufyan (suamiku, Pen) seseorang lelaki yang bakhil. Dia tak berikan (nafkah) kepadaku yang memenuhi saya serta anakku, terkecuali yang saya ambillah darinya sedang dia tak tahu”. Jadi beliau bersabda : “Ambillah yang mencukupimu serta anakmu dengan pantas. ” HR Bukhari, no. 5364 ; Muslim, no. 1714

Hadits itu menyaratkan, sesungguhnya ada sisi dari istri untuk harta suami untuk nafkahnya juga kehidupan keluarga serta jumlahnya juga sewajarnya. Istri bahkan juga bisa mengambil harta suami tanpa ada izin, sesuai sama kebutuhannya.

3. Syaikh Shalih bin Ghanim as Sadlaan bahkan juga memberi komentar dengan cara spesial tentang masalah suami pelit pada istrinya, beliau berkata “Memang ada keharusan nafkah untuk istri. 

Serta nafkah itu diukur apa yang dapat memenuhi istri serta anak-anaknya dengan memberinya dengan cara ma’ruf yang bermakna nafkah itu diberikan dengan cara pantas, biasanya serta baik”. 

Setelah itu ia memberikan bila suami tak memberi dengan cara pantas jadi istri bisa mengambil harta suami tanpa ada sepengetahuan atau izinnya tetapi juga dengan cara ma’ruf.


4. Mengambil harta suami tanpa ada sepengetahuan bila suami pelit ini memanglah ada rambu-rambunya, jadi mesti dengan ma’ruf yaitu tidak berlebih-lebihan sebatas cukup untuk penuhi kebutuhannya.

5. Bila Suami tak dapat memberi harta lantaran dalam kesulitan atau kemiskinan, jadi istri disarankan untuk ridha sekalian bersabar dengan itu, serta baiknya istri menolong untuk mencari nafkah keluarga.

6. Istri yang bekerja serta memiliki pendapatan, bila ia memberi pendapatannya untuk menolong kepentingan keluarga, jadi itu cuma untuk sedekah saja, serta itu tetaplah jadi pendapatan serta harta istri, tidak ada keharusan (sesungguhnya) dalam menolong keluarga dengan duit atau harta itu, sampai suami sesungguhnya sekalipun tak bisa kuasai harta atau mengambil harta istrinya tanpa ada izin istrinya.

Hal semacam ini diperkuat dengan dalilnya : hadis dari Abu Said Al-Khudri, kalau satu saat, Zainab (istri Ibnu Mas’ud) akan membayar zakat perhiasan yang dia punyai. 

Lalu beliau ajukan pertanyaan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Bolehkah istri memberi zakatnya pada suaminya serta anak yatim dalam asuhannya?

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ya, silahkan. Dia memperoleh dua pahala : pahala melindungi jalinan kekerabatan serta pahala bersedekah. ” (HR. Bukhari 1466)

Wallahu a'alm bishawab
SHARE ARTIKEL