"Tindakan didik guru dibatasi, sedangkan melahirkan kekerasan yang dilakukan murid, adilkah?"
Penulis Taufiq Firmansah | Ditayangkan 06 Feb 2018Foto via kumparan.com
Darurat Moral dan Akal Pelajar di Dunia Pendidikan
Dunia pendidikan Indonesia menangis, Dunia pendidikan tercoreng kesekian kalinya, terutama mengenai moral dan karakter pelajarnya. Insiden pemukulan guru oleh siswa di Kabupaten Sampang, Madura, menjadi salah satu indikator darurat moral pelajar di Indonesia. Tindakan Guru Dibatasi, tapi justru melahirkan siswa yang berjiwa kekerasan.
Seperti tidak adil, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) telah membatasi tindakan didik guru, yang justru melahirkan kekerasan yang dilakukan murid.
Ruang terbuka rusaknya moral murid dan wali murid seperti hantu yang terus menakut-nakuti mereka di sekolah.
Maksud saya, guru tidak akan berani berbuat banyak dalam tindakan, karena jeruji tahanan seolah menjadi ‘bodyguard’ peserta didik jika terjadi ‘sesuatu’ pada mereka.
Baca juga : Seusai Dimakamkan, Hal Tak Terduga Didapatkan Keluarga Almarhum Guru Budi
Sebuah indikator merah, Indonesia “darurat moral”. Guru dipaksa mengajar dan mencerdaskan anak bangsa, dalam kondisi “didikte” oleh murid dan wali murid.
Harusnya ada peraturan dan perundang-undangan yang perlu dikoreksi dengan hati nurani.
Proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) diterapkan dengan metode yang tidak sesuai dengan filosifi pendidikan; seorang guru menyampaikan materi dalam “tekanan”, sehingga melahirkan murid-murid yang berontak dari tangan guru yang serba ketakutan.
Wajar saja kalau mereka suka tawuran di luar kelas, karena di dalamnya, tersirat, ada ruang untuk berontak dan melemahkan fungsi guru.
Yang saya pahami dari sebuah hukum, ada dua:
Pertama, ketetapan hukum. Dalam hal ini, hukum akan bertindak sesuai ketetapan perundang-undangan dan peraturan yang ada.
Kedua, keadilan hukum. Ketetapan hukum yang ada, akan berubah keputusan melalui hati nurani hakim.
Tentang wilayah guru yang dibatasi, seharusnya pihak yang berwajib berpegang pada keadilan hukum yang dikelola oleh nurani.
Tidak serta-merta menyeret seorang guru ke ranah hukum, hanya karena tindakannya di dalam kelas.
Jejak murid yang mengaku korban, juga harus menjadi pertimbangan utama, sehingga tidak ada ruang bagi mereka yang nakal dalam mengelola dan menularkan kenakalannya kepada teman-teman yang lain.
Lebih tepatnya, pemerintah harus membuat peraturan dan perundangan yang bisa dibuat perisai oleh guru.
Baca juga : Kurangnya Ilmu Agama Pada Orangtua, Hingga Suka Menyumpahi Anak, Bagaimana Meyikapinya?
Segala aktivitas di sekolah, akan menjadi tanggung jawab penuh kepala sekolah, sehingga ada keleluasaan bagi para guru dalam mendidik murid-muridnya berdasarkan karakter dan kemampuan mereka masing-masing, dan tidak terburu-buru melibatkan pihak-pihak di luar sekolah.
Selain itu, harus ada komitmen yang tinggi dari wali murid dalam menyerahkan pendidikan putera-puterinya sepenuh hati dan dengan semangat yang tinggi, sehingga mendidik moral sejak dini, mulai dari wali muridnya.
Ini penting sekali. Bukan soal berlangsungnya pendidikan saja, tetapi soal moral anak-anak kita.
Tragedi menyedihkan yang menimpa guru Budi (guru honorer di Sampang, yang meninggal di tangan muridnya), semestinya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah, dalam hal ini, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).
Mendikbud dan Pemerintah harus peka menyikapi kejadian ini dan tidak menunggu “Budi” berikutnya.
Evaluasi sistem dan koreksi, dengan tidak mengabaikan masukan-masukan dari seluruh rakyat Indonesia, harus segera dilakukan.
Indonesia saat ini dalam kondisi “darurat moral”.
Diakui atau tidak, fakta berbicara, dunia dan media menyaksikan sendiri.
Mengembalikan sistem pendidikan seperti semula, dan mengembalikan wilayah guru seperti dahulu adalah solusi moral.
Dengan demikian, pendidikan nasional mampu melahirkan orang-orang hebat yang bermoral.
Salah satu hasil metode dan sistem lama adalah Bapak Mendikbud dan Presiden Republik Indonesia saat ini.
Beliau berdua adalah orang hebat yang membanggakan di negeri tercinta ini.
Pandangan saya ini tidak sepenuhnya benar. Saya hanya ingin mengudarakan hak kemerdekaan saya sebagai warga negara, “kebebasan menyampaikan pendapat di media”.