Saat Malam Pertama, Ada Rasa Curiga Kalau Istri Tak Lagi Perawan, Apa yang Harus Dilakukan?

Penulis Taufiq Firmansah | Ditayangkan 13 Mar 2018
Saat Malam Pertama, Ada Rasa Curiga Kalau Istri Tak Lagi Perawan, Apa yang Harus Dilakukan?

Apa yang anda lakukan seandainya mengetahui calon istri sudah tak perawan lagi?

Waktu malam pertama anda mengetahui keperawanan istri anda, istri sudah membohongi, apa kah yang harus dilakukan? mencerainya? meninggalkannya? atau menikah lagi dengan wanita yang masih perawan? bagaimana status pernikahan dengan wanita yang tak perawan? 

TANYA: Sebelum saya menikah dengan istri saya, saya bertanya padanya apakah dia masih perawan dan dia bilang dia adalah perawan 100%. Tapi di malam pertama, saya rasa dia sudah tidak perawan, dia berbohong kepada saya. 

Haruskah saya harus meninggalkan dia? Saya ingin menikahi wanita yang masih perawan. Apa yang Islam katakan soal keperawanan ini? Saya bingung apa yang harus saya lakukan. Terima kasih, jazakalah kairan.

Baca juga : Ternyata Ada Waktu Pada Saat Puasa dalam Keadaan Haidh Seperti ini yang Tetap Sah

JAWAB: Pertama kali membaca pertanyaan Anda adalah soal keyakinan Anda sendiri benarkah dia sudah tidak perawan lagi ketika Anda melakukan hubungan dengan dia untuk pertama kalinya? 

Atau itu hanya keraguan dalam pikiran Anda dan merusak pernikahan Anda sendiri? Sehingga merusak pernikahan dengan alasan tak berdasar.

Saya tidak tahu mengapa Anda yakin bahwa dia tidak perawan: apakah karena organ intÏmnya tidak cukup bagi Anda untuk meyakini keperawanannya ketika Anda melakukan hubungan dengan dia untuk pertama kalinya, atau fakta bahwa dia tidak berdarah, atau bahwa dia mengakui kepada Anda sendiri bahwa dia tidak perawan saat menikahi Anda, atau bahwa Anda sudah melakukan tes medis seorang profesional kesehatan yang mengonfirmasi kepada Anda bahwa dia tidak perawan?

Kadang-kadang, seorang istri yang tidak pernah melakukan hubungan intím akan sulit ditembus dikarenakan adanya membran di dalamnya yang disebut selaput dara.

Namun, ini tidak benar-benar berlaku untuk semua wanita, karena selaput dara sebagian perempuan bersifat elastis; bahkan sebagian selaput dara permepuan lain tidak robek sama sekali.

Jadi, jika ukurannya darah pertama kalinya, maka ini tidak bisa jadi patokan sama sekali.

Hal ini tidak membolehkan suami mencurigai istrinya karena telah melakukan hubungan dengan seseorang sebelumnya.

Bisa saja, selaput darah seorang perempuan sudah pecah akibat kecelakaan selama masa kanak-kanak.

Meski begitu, menurut ulama terkenal Salman Al-Oudah, “Kegagalan berdarah pada malam pertama bukanlah tanda kehilangan keperawanan, juga tidak diakui seperti itu dalam hukum Islam.”

Ulama Muslim lainnya juga tegas memperingatkan pengantin baru suami agar tidak terpengaruh oleh bisikan setan setan soal kesucian pengantin mereka.

Biasanya, penyebab kecurigaan tak berdasar mereka tentang kesucian istri-istri mereka adalah salah satu dari dua hal ini:

– Tidak adanya perdarahan pada vāgina,

– Tidak merasakan adanya perobekan hymen pada hubungan yang pertama kalinya.

Untuk kedua kasus ini, ulama Islam jelas memutuskan mendukung pihak istri, dan secara tegas mengklaim bahwa dua tanda fisik ini tidak cukup dijadikan alasan untuk meragukan kesucian dirinya.

Yang perlu Anda yakini adalah bahwa Anda harus yakin siapa istri Anda, seperit Anda yakin terhadap diri Anda sendiri. Allah tahu yang terbaik.

Islam menjaga kehormatan seorang manusia karena itulah islam melarang seseorang menuduh zina tanpa kesaksian dari empat orang yang melihat sendiri kejadian itu seperti termuat dalam Firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, yang artinya: 

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An Nuur: 4).

Dan walaupun penyebab hilangnya keperawanan itu disebabkan oleh perbuatan zina yang dilakukan sang istri sebelumnya, seorang suami dilarang menyebarkan aib tersebut karena islam memerintahkan umatnya untuk tidak menyebarkan aib sesama muslim. 


Dan sudah ketetapan Alloh lah yang mempertemukan mereka dan sesungguhnya pintu taubat Alloh Subhanallohu wa Ta’ala itu sangatlah terbuka lebar.

Alloh Subhanallohu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan pekerjaan yang keji atau menganiaya diri sendiri , mereka ingat akan Alloh , lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa yang dapat mengampuni mereka selain daripada Alloh ? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu , sedangkan mereka mengetahui”. (QS. Ali Imran: 135).

“Kecuali orang-orang yang bertobat sesudah itu dan memperbaiki ( dirinya ) maka sesungguhnya Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An Nuur: 5)
Sehingga sangatlah mungkin bahwa Alloh menerima tobatnya dan mensucikannya dengan jalan pernikahan dengan seorang pria baik. 

Dan suatu berkah sekaligus ujian bagi sang suami untuk tetap melindungi bahkan membimbing istrinya dalam pernikahan yang penuh barakah dari Alloh Subhanallohu wa Ta’ala.

Akan tetapi seorang muslim atau muslimah yang menjaga kehormatannya, oleh sejumlah Imam mazhab diharamkan untuk menikah dengan pelacur baik laki-laki maupun perempuan, para hidung belang, maupun para pezina yang tidak mau bertobat malahan tenggelam dalam perzinahannya bahkan membanggakan perbuatannya itu. Firman Alloh Subhanallohu wa Ta’ala, yang artinya: 

“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan wanita yang berzina atau perempuan yang musyrik , dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin” (QS. An Nuur: 3 )

 “Apakah hukum dalam agama Islam menikah dengan wanita yang pernah berzina atau sudah tidak perawan lagi akibat pergaulan bebas?”

Pertanyaan itu timbul karena ada firman Allah dalam QS An-Nur 24:3 yang menyatakan:  “Seorang lelaki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan wanita pezina atau wanita musyrik. 

Seorang wanita pezina tidak boleh menikah kecuali dengan lelaki pezina atau lelaki musyrik. Hal itu diharamkan bagi seorang mukmin.”[1] Secara eksplisit ayat ini jelas menyatakan larangan menikah dengan wanita yang pernah berzina. 

Itulah sebabnya si penanya menjadi ragu-ragu ketika hendak menikahi seorang perempuan yang ternyata sudah tidak perawan lagi karena pernah melakukan hubungan zina dengan lelaki yang dikenal sebelumnya.

Ismail bin Umar Ibnu Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi dalam Tafsir Ibnu Katsir membandingkan ayat ini dengan QS An-Nisa’ 4:25 di mana Allah berfirman “…sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya;”[2] Dalam konteks inilah Ibnu Katsir mengutip pendapat Imam Ahmad bin Hanbal demikian:

ذهب الإمام أحمد بن حنبل ، رحمه الله ، إلى أنه لا يصح العقد من الرجل العفيف على المرأة البغي ما دامت  كذلك حتى تستتاب ، فإن تابت صح العقد عليها وإلا فلا وكذلك لا يصح تزويج المرأة الحرة العفيفة بالرجل الفاجر المسافح ، حتى يتوب توبة صحيحة; لقوله تعالى : وحرم ذلك على المؤمنين

(Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwasanya tidak sah akad nikah laki-laki saleh yang menikahi wanita nakal (pezina)  kecuali setelah bertaubat. Apabila wanita itu bertaubat maka sah akad nikahnya. Begitu juga tidak sah perkawinan wanita salihah dengan laki-laki pezina kecuali setelah melakukan taubat yang benar karena berdasar pada firman Allah dalam akhir ayat QS An-Nur 24:3.)[3]


Sementara itu Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi dalam Tafsir Al-Baghawi menguraikan sejumlah perbedaan penafsiran dan ikhtilaf ulama dalam memahami ayat QS An-Nur 24:3 tersebut.  

Dari pendapat Ibnu Mas’ud yang mengharamkan menikahi wanita perzina sampai pendapat Said bin Al-Musayyab dan segolongan ulama yang membolehkan wanita pezina secara mutlak karena menganggap ayat 24.3 sudah di-naskh oleh QS Annur 24:23 yang berbunyi ” 

Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu…” .[4] Selain itu, ulama yang membolehkan menikahi wanita pezina berargumen adanya hadits dari Sahabat Jabir sebagai berikut:
 
أن رجلا أتى النبي – صلى الله عليه وسلم – فقال يا رسول الله إن امرأتي لا تدفع يد لامس ؟ قال : طلقها ، قال : فإني أحبها وهي جميلة ، قال : استمتع بها . وفي رواية غيره ” فأمسكها إذا

Artinya: Seorang laki-laki datang pada Nabi dan berkata: “Wahai Rasulullah, istri saya tidak pernah menolak sentuhan tangan lelaki.” Nabi menjawab, “Ceraikan dia!”. Pria itu berkata: “Tapi saya mencintainya karena dia cantik”. Nabi menjawab: “Kalau begitu jangan dicerai.”[5]

Dari hadits ini, Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk menyimpulkan:

وإن زنى رجل بزوجة رجل لم ينفسخ نكاحها، وبه قال عامة العلماء ، وقال على بن أبى طالب: ينفسخ نكاحها وبه قال الحسن البصري دليلنا حديث ابن عباس في الرجل الذى قال للنبى صلى الله عليه وسلم: إن امرأتي لا ترد يد لامس

(Apabila seorang lelaki berzina dengan istri orang lain, maka nikah perempuan itu tidak rusak (tidak batal). Ini pendapat kebanyakan ulama. Ali bin Abi Talib berkata: nikahnya rusak (batal) pendapat ini diikuti Al-Hasan Al-Bishri. Dalil kita adalah hadits Ibnu Abbas di mana seorang laki-laki yang istrinya berzina diberi pilihan oleh Nabi untuk mentalak atau tidak.)[6]

Pendapat Imam Nawawi di atas senada dengan pendapat Imam Syafi’i dalam Al-Umm yang menyatakan:[7]

فالاختيار للرجل أن لا ينكح زانية وللمرأة أن لا تنكح زانيا فإن فعلا فليس ذلك بحرام على واحد منهما ليست معصية واحد منهما في نفسه تحرم عليه الحلال إذا أتاه قال وكذلك لو نكح امرأة لم يعلم أنها زنت فعلم قبل دخولها عليه أنها زنت قبل نكاحه أو بعده لم تحرم عليه ولم يكن له أخذ صداقه منها ولا فسخ نكاحها وكان له ان شاء أن يمسك وإن شاء أن يطلق وكذلك إن كان هو الذى وجدته قد زنى قبل أن ينكحها أو بعدما نكحها قبل الدخول أو بعده فلا خيار لها في فراقه وهى زوجته لحالها ولا تحرم عليه وسواء حد الزانى منهما أو لم يحد أو قامت عليه بينة أو اعترف لا يحرم زنا واحد منهما ولا زناهما ولا معصية من المعاصي الحلال إلا أن يختلف ديناهما بشرك وإيمان.

(Laki-laki hendaknya tidak menikahi perempuan pezina dan perempuan sebaiknya tidak menikahi lelaki pezina tapi tidak haram apabila hal itu dilakukan.            

Begitu juga apabila seorang pria menikahi wanita yang tidak diketahui pernah berzina, kemudian diketahui setelah terjadi hubungan intìm bahwa wanita itu pernah berzina sebelum menikah atau setelahnya maka wanita itu tidak haram baginya dan tidak boleh bagi suami mengambil lagi maskawinnya juga tidak boleh mem-fasakh nikahnya. 

Dan boleh bagi suami untuk merneruskan atau menceraikan wanita tersebut. Begitu juga apabila istri menemukan fakta bahwa suami pernah berzina sebelum menikah atau setelah menikah, sebelum dukhul atau setelahnya, maka tidak ada khiyar [pilihan] untuk berpisah kalau sudah jadi istri dan wanita itu tidak haram bagi suaminya.
 
Baik perzina itu dihad atau tidak, ada saksi atau mengaku tidak haram zinanya salah satu suami istri atau zina keduanya atau maksiat lain kecuali apabila berbeda agama keduanya karena sebab syirik atau iman.)
SHARE ARTIKEL