Nikah Siri Tanpa Sepengetahuan Orang Tua Bagaimana Hukumnya?

Penulis Cheryl mikayla | Ditayangkan 12 Sep 2018
Nikah Siri Tanpa Sepengetahuan Orang Tua Bagaimana Hukumnya?
Gambar ilustrasi diolah dari islamidia.com

Banyak pasangan yang memilih nikah siri karena berbagai alasan, termasuk muda-mudi yang tidak dapat izin dari orangtua.

Meski Islam tak melarang nikah siri, sahkah pernikahan tersebut?

Berikut sebuah pertanyaan dan jawaban serupa yang telah kami rangkum dari konsultasisyariah.com. Semoga menjadi pembelajaran kita semua.

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum

Saya Adi, saya ingin menanyakan perihal nikah siri. Saya memiliki kekasih, selang beberapa lama menjalani hubungan dengan kekasih saya, saya mulai berpikir untuk menghalalkan hubungan kami dengan menikah secara siri agar ketika saya mengajak kekasih saya ke mana saja tanpa ada rasa berdosa karena belum mahramnya.

Saya masih kuliah dan orang tua saya pun belum menyetujui apabila kita menikah karena saya belum menyelesaikan kuliah saya.

Kemudian terbesit dalam pikiran saya untuk menikah siri secara diam-diam tanpa sepengetahuan orang tua. Saya ingin mendatangkan wali dari pihak wanita namun ayah dari kekasih saya telah meninggal. Pertanyaanya :

1. Apakah boleh penghulu yang menikahkan kami menjadi wali dari pihak wanita? (karena ayah dari pihak wanita telah meninggal)

2. Apakah hukumnya menikah tanpa sepengetahuan dari orang tua dari pihak laki-laki dan ibu dari pihak wanita?

Dari: Adi Yanuar

Jawaban: 

Wa’alaikumussalam

Nikah siri Menurut presepsi masyarakat dipahami dengan dua bentuk pernikahan :

– Nikah tanpa wali yang sah dari pihak wanita.

– Nikah di bawah tangan, artinya tanpa adanya pencatatan dari lembaga resmi negara (KUA).

Nikah siri dengan pemahaman yang pertama, statusnya tidak sah, sebagaimana yang ditegaskan mayoritas ulama.

Karena di antara syarat sah nikah adalah adanya wali dari pihak wanita. Di antara dalil yang menegaskan haramnya nikah tanpa wali adalah:

Pertama, hadis dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

Tidak ada nikah (batal), kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud, turmudzi, Ibn Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi Syaibah, thabrani, dsb.)

Kedua, hadis dari Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيهَا، فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ

Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad, Abu daud, dan baihaqi)

Dan masih banyak riwayat lainnya yang senada dengan keterangan di atas, sampai Al-Hafidz Ibn Hajar menyebutkan sekitar 30 sahabat yang meriwayatkan hadis semacam ini.  (At-Talkhis Al-Habir, 3:156)

Kemudian, termasuk kategori nikah tanpa wali adalah pernikahan dengan menggunakan wali yang sejatinya tidak berhak menjadi wali.

Beberapa fenomena yang terjadi, banyak di antara wanita yang menggunakan wali pegawai KUA, bukan atas nama lembaga, tapi murni atas nama pribadi.

Sang Kyai dalam waktu hitungan menit, didaulat untuk menjadi wali si wanita, dan dilangsungkanlah pernikahan, sementara pihak wanita masih memiliki wali yang sebenarnya.

Jika nikah siri dipahami sebagaimana di atas, maka pernikahan ini statusnya batal dan wajib dipisahkan.

Kemudian, jika keduanya menghendaki untuk kembali berumah tangga, maka harus melalui proses pernikahan normal, dengan memenuhi semua syarat dan rukun yang ditetapkan syariah.

Selanjutnya, jika yang dimaksud nikah siri adalah nikah di bawah tangan/tidak dicatat di KUA, selama memenuhi syarat dan rukun nikah maka hukumnya sah.

Sehingga nikah siri dengan pemahaman ini tetap mempersyaratkan adanya wali yang sah, saksi, ijab-qabul akad nikah, dst.

Hanya saja, pernikahan semacam ini sangat tidak dianjurkan, karena beberapa alasan:

Pertama, pemerintah telah menetapkan aturan agar semua bentuk pernikahan dicatat oleh lembaga resmi, KUA.

Sementara kita sebagai kaum muslimin, diperintahkan oleh Allah untuk menaati pemerintah selama aturan itu tidak bertentangan dengan syariat. Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul, dan pemimpin kalian.” (QS. An-Nisa: 59)

Sementara kita semua paham, pencatatan nikah sama sekali tidak bertentangan dengan aturan Islam atau hukum Allah.

Kedua, adanya pencatatan di KUA akan semakin mengikat kuat kedua belah pihak.

Dalam Alquran, Allah menyebut akad nikah dengan perjanjian yang kuat (مِيثَاقًا غَلِيظًا), sebagaimana yang Allah tegaskan di surat An-Nisa: 21.

Nah, surat nikah ditujukan untuk semakin mewujudkan hal ini. Dimana pasangan suami-istri setelah akad nikah akan lebih terikat dengan perjanjian yang bentuknya tertulis.

Terlebih kita hidup di zaman yang penuh dengan penipuan dan maraknya kezhaliman. Dengan ikatan semacam ini, masing-masing pasangan akan semakin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai suami atau sebagai istri.

Ketiga, pencatatan surat nikah memberi jaminan perlindungan kepada pihak wanita.

Dalam aturan nikah, wewenang cerai ada pada pihak suami. Sementara pihak istri hanya bisa melakukan gugat cerai ke suami atau ke pengadilan.

Yang menjadi masalah, terkadang beberapa suami menzhalimi istrinya berlebihan, namun di pihak lain dia sama sekali tidak mau menceraikan istrinya. Dia hanya ingin merusak istrinya

Sementara sang istri tidak mungkin mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama, karena secara administrasi tidak memenuhi persyaratan.

Duh, jadilah sang istri terkatung-katung, menunggu belas kasihan dari suami yang tidak bertanggung jawab itu.

Baca Juga:
Beberapa pertanyaan tentang kasus semacam ini telah disampaikan kepada kami. Artinya, itu benar-benar terjadi dan mungkin banyak terjadi.

Anda sebagai wanita atau pihak wali wanita, selayaknya perlu mawas diri. Bisa jadi saat di awal pernikahan Anda sangat menaruh harapan kepada sang suami.

Tapi ingat, cinta kasih juga ada batasnya. Sekarang bilang sayang, besok tidak bisa kita pastikan. Karena itu, waspadalah.

Keempat, memudahkan pengurusan administrasi negara yang lain.

Sebagai warga negera yang baik, kita perlu memenuhi tertib administrasi. Baik KTP, KK, SIM dst.

Bagi Anda mungkin semua itu terpenuhi, selama status Anda masih mengikuti orang tua dan bukan KK sendiri.

Lalu bagaimana dengan keturunan Anda. Bisa jadi anak Anda akan menjumpai banyak kesulitan, ketika harus mengurus ijazah sekolah, gara-gara tidak memiliki  akta kelahiran.

Di saat itulah, seolah-olah anak Anda tidak diakui sebagai warga negara yang sempurna. Dan kami sangat yakin, Anda tidak menginginkan hal ini terjadi pada keluarga Anda.

Demikian, Wallahu A'lam.
SHARE ARTIKEL