Dasar Hukum Tahlilan dan Kirim Do`a Bagi Orang Meninggal

Penulis Alif Hamdan | Ditayangkan 03 Oct 2018


Dasar Hukum Tahlilan dan Kirim Do`a Bagi Orang MeninggalImage from islamnusantara.com

Seringkali masyarakat menganggap kalau tahlilan ataupun kirim do'a bagi orang mati itu bid'ah. 

Ya mungkin mereka anggap demikian karena hal itu tidak ada sejak zaman nabi. 

Namun persepsi itu dijawab jelas oleh para ulama' dengan dalil yang memperkuatnya.

Berikut penjelasannya..

Tahlilan secara bahasa  berakar dari kata hallala (هَلَّلَ) yuhallilu (يُهَلِّلُ) tahlilan (تَهْلِيْلاً) artinya adalah membaca “Laila illallah.”

Istilah ini kemudian merujuk pada sebuah tradisi membaca kalimat dan doa- doa tertentu yang diambil dari ayat al- Qur’an. 

Dengan harapan pahalanya dihadiahkan untuk orang yang meninggal dunia.

Seperti yang dikutip dari tribunnews.com, biasanya tahlilan dilakukan selama 7 hari dari meninggalnya seseorang, kemudian hari ke 40, 100, dan pada hari ke 1000 nya.

KH Abdul Manan A.Ghani, Ketua Lembaga Ta'mir Masjid PBNU, menuliskan bahwa tahlilan sering dilakukan secara rutin pada malam jum’at dan malam-malam tertentu lainnya.

Bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dihadiahkan untuk mayit menurut pendapat mayoritas ulama’ boleh dan pahalanya bisa sampai kepada mayit tersebut.

Berdasarkan beberapa dalil, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya;

 عَنْ سَيِّدِنَا مَعْقَلْ بِنْ يَسَارْ رَضِيَ الله عَنْهُ اَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَالَ : يس قَلْبُ اْلقُرْانْ لاَ يَقرَؤُهَا رَجُلٌ يُرِيْدُ اللهَ وَالدَّارَ اْلاَخِرَة اِلاَّ غَفَرَ اللهُ لَهُ اِقْرَؤُهَا عَلَى مَوْتَاكُمْ )رَوَاهُ اَبُوْ دَاوُدْ, اِبْنُ مَاجَهْ, اَلنِّسَائِى, اَحْمَدْ, اَلْحَكِيْم, اَلْبَغَوِىْ, اِبْنُ اَبِىْ شَيْبَةْ, اَلطَّبْرَانِىْ, اَلْبَيْهَقِىْ, وَابْنُ حِبَانْ

"Dari sahabat Ma’qal bin Yasar r.a. bahwa Rasulallah s.a.w. bersabda : Surat Yasin adalah pokok dari al-Qur’an, tidak dibaca oleh seseorang yang mengharap ridha Allah kecuali diampuni dosa-dosanya. Bacakanlah surat Yasin kepada orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian. "(H.R. Abu Dawud, dll).

Adapun beberapa ulama juga berpendapat seperti Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa

وَيُسْتَحَبُّ اَنْ يُقرَاءَ عِندَهُ شيْئٌ مِنَ اْلقرْأن ,وَاِنْ خَتمُوْا اْلقرْأن عِنْدَهُ كَانَ حَسَنًا

"Bahwa, disunahkan membacakan ayat-ayat al-Qur’an kepada mayit, dan jika sampai khatam al-Qur’an maka akan lebih baik."

Bahkan Imam Nawawi dalam kitab Majmu’-nya menerangkan bahwa tidak hanya tahlil dan doa. 

Tetapi juga disunahkan bagi orang yang ziarah kubur untuk membaca ayat-ayat Al-Qur’an lalu setelahnya diiringi berdoa untuk mayit.

Begitu juga Imam al-Qurthubi memberikan penjelasan bahwa, dalil yang dijadikan acuan oleh ulama’ kita tentang sampainya pahala kepada mayit adalah bahwa, Rasulallah SAW pernah membelah pelepah kurma untuk ditancapkan di atas kubur dua sahabatnya sembari bersabda “Semoga ini dapat meringankan keduanya di alam kubur sebelum pelepah ini menjadi kering”.

Imam al-Qurtubi kemudian berpendapat, jika pelepah kurma saja dapat meringankan beban si mayit, lalu bagaimanakah dengan bacaan-bacaan al-Qur’an dari sanak saudara dan teman-temannya Tentu saja bacaan-bacaan al-Qur’an dan lainlainnya akan lebih bermanfaat bagi si mayit.

Abul Walid Ibnu Rusyd juga mengatakan:

وَاِن قرَأَ الرَّجُلُ وَاَهْدَى ثوَابَ قِرَأتِهِ لِلْمَيِّتِ جَازَ ذالِكَ وَحَصَلَ لِلْمَيِّتِ اَجْرُهُ

"Seseorang yang membaca ayat al-Qur’an dan menghadiahkan pahalanya kepada mayit, maka pahala tersebut bisa sampai kepada mayit tersebut".

Baca JugaDilarangnya Sholat Ba'diah Setelah Sholat Ashar Ternyata Bersumber Dari Rasulullah

Berikut juga dalil-dalil bolehnya menetapkan waktu-waktu tertentu untuk melakukan kebaikan dan ibadah.

Dalil Tentang Waktu-Waktu Tertentu Melakukan Kebaikan dan Ibadah

1) Dalil pertama, hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْتِي مَسْجِدَ قُبَاءٍ كُلَّ سَبْتٍ مَاشِيًا وَرَاكِبًا وَكَانَ عَبْدُ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ يَفْعَلُهُ. رواه البخاري

“Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi Masjid Quba’ setap hari sabtu, dengan berjalan kaki dan berkendaraan.”

Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu juga selalu melakukannya. (HR. al-Bukhari, [1193]).

Hadits di atas menjadi dalil bolehnya menetapkan waktu-waktu tertentu secara rutin untuk melakukan ibadah dan kebaikan. 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menetapkan hari Sabtu sebagai hari kunjungan beliau ke Masjid Quba’.

Beliau tidak menjelaskan bahwa penetapan tersebut, karena hari Sabtu memiliki keutamaan tertentu dibandingkan dengan hari-hari yang lain. 

Berarti menetapkan waktu tertentu untuk kebaikan, hukumnya boleh berdasarkan hadits tersebut. Karena itu al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وفي هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحه والمداومه على ذلك وفيه أن النهي عن شد الرحال لغير المساجد الثلاثه ليس على التحريم

“Hadits ini, dengan jalur-jalurnya yang berbeda, mengandung dalil bolehnya menentukan sebagian hari, dengan sebagian amal saleh dan melakukannya secara rutin. Hadits ini juga mengandung dalil, bahwa larangan berziarah ke selain Masjid yang tiga, bukan larangan yang diharamkan.” (Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 69).

2) Hadits Sayidina Bilal radhiyallahu ‘anhu

وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ نَبِيَّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِبِلاَلٍ عِنْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ: «يَا بِلاَلُ حَدِّثْنِيْ بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّيْ سَمِعْتُ دُفَّ نَعْلَيْكَ فِي الْجَنَّةِ» قَالَ: مَا عَمِلْتُ عَمَلاً أَرْجَى عِنْدِيْ مِنْ أَنِّيْ لَمْ أَتَطَهَّرْ طَهُوْرًا فِيْ سَاعَةٍ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ إِلاَّ صَلَّيْتُ بِذَلِكَ الطَّهُوْرِ مَا كُتِبَ لِيْ. وَفِيْ رِوَايَةٍ : قَالَ لِبِلاَلٍ: «بِمَ سَبَقْتَنِيْ إِلَى الْجَنَّةِ؟ قَالَ: مَا أَذَّنْتُ قَطُّ إِلاَّ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَمَا أَصَابَنِيْ حَدَثٌ قَطُّ إِلاَّ تَوَضَّأْتُ وَرَأَيْتُ أَنَّ للهِ عَلَيَّ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «بِهِمَا» أَيْ نِلْتَ تِلْكَ الْمَنْزِلَةَ». رواه البخاري (1149) ومسلم (6274) وأحمد (9670) والنسائي في فضائل الصحابة (132) والبغوي (1011) وابن حبان (7085) وأبو يعلى (6104) وابن خزيمة (1208) وغيرهم.

“Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar: 

“Hai Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?”. 

Ia menjawab: “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya.” 

Dalam riwayat lain, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Bilal: 

“Dengan apa kamu mendahuluiku ke surga?” Ia menjawab: “Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunnat dua rakaat setelahnya.

Dan aku belum pernah hadats, kecuali aku berwudhu setelahnya dan harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah”.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: “Dengan dua kebaikan itu, kamu meraih derajat itu”

.(HR. al-Bukhari (1149), Muslim (6274), al-Nasa’i dalam Fadhail al-Shahabah (132), al-Baghawi (1011), Ibn Hibban (7085), Abu Ya’la (6104), Ibn Khuzaimah (1208), Ahmad (5/354), dan al-Hakim (1/313) yang menilainya shahih.).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap selesai berwudhu atau setiap selesai adzan. 

Akan tetapi Bilal melakukannya atas ijtihadnya sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ternyata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya, bahkan memberinya kabar gembira tentang derajatnya di surga.

Sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu menjadi sunnat bagi seluruh umat. 

Dengan demikian, berarti menetapkan waktu ibadah berdasarkan ijtihad hukumnya boleh. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata ketika mengomentari hadits tersebut:

ويستفاد منه جواز الاجتهاد في توقيت العبادة لأن بلالا توصل إلى ما ذكرنا بالاستنباط فصوبه النبي صلى الله عليه و سلم

“Dari hadits tersebut dapat diambil faedah, bolehnya berijtihad dalam menetapkan waktu ibadah. Karena sahabat Bilal mencapai derajat yang telah disebutkan berdasarkan istinbath (ijtihad), lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membenarkannya.”(Al-Hafizh Ibnu Hajar, Fath al-Bari, juz 3 hlm 34).

3) Hadits Ziarah Tahunan

عن محمد بن إبراهيم قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم يأتي قبور الشهداء على رأس كل حول فيقول:”السلام عليكم بما صبرتم فنعم عقبى الدار”، وأبو بكر وعمر وعثمان

“Muhammad bin Ibrahim berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu mendatangi makam para syuhada’ setiap tahun, lalu berkata: “Salam sejahtera semoga buat kalian sebab kesabaran kalian. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” Hal ini juga dilakukan oleh Abu Bakar, Umar dan Utsman. (HR. al-Thabari dalam Tafsir-nya [20345], dan Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya juz 4 hlm 453).

Hadits di atas juga disebutkan oleh al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi dalam Syarh al-Shudur hlm 185, dan ditentukan bahwa makam Syuhada yang diziarahi setiap oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Syuhada peperangan Uhud. Hadits ini dapat dijadikan dalil, tentang tradisi haul kematian setiap tahun.

Baca JugaMengapa Surat Yasin Selalu Dibaca Setiap Ada Orang Meninggal? Ternyata Ini Keistimewaannya

4) Atsar Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha

عن محمد بن علي قال كانت فاطمة بنت رسول الله صلى الله عليه و سلم تزور قبر حمزة كل جمعة

“Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin berkata: “Fathimah putrid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berziarah ke makam Hamzah setiap hari Jum’at.” (HR. Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf [6713]).

عن الحسين بن علي : أن فاطمة بنت النبي صلى الله عليه و سلم كانت تزور قبر عمها حمزة كل جمعة فتصلي و تبكي عنده هذا الحديث رواته عن آخرهم ثقات

“Al-Husain bin Ali berkata: “Fathimah putri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berziarah ke makam pamannya, Hamzah setiap hari Jum’at, lalu menunaikan shalat dan menangis di sampingnya.”(HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak [4319], al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra [7000]).

5) Atsar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ حَدِّثْ النَّاسَ كُلَّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ أَبَيْتَ فَمَرَّتَيْنِ فَإِنْ أَكْثَرْتَ فَثَلَاثَ مِرَارٍ وَلا تُمِلَّ النَّاسَ هَذَا الْقُرْآنَ. رواه البخاري.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

“Sampaikanlah hadits kepada manusia setiap hari Jum’at. Jika kamu tidak mau, maka lakukan dua kali dalam sepekan. Jika masih kurang banyak, maka tiga kali dalam sepekan. Jangan kamu buat orang-orang itu bosan kepada al-Qur’an ini.(HR. al-Bukhari [6337]).

Keterangan :

Menetapkan hari-hari tertentu dengan kebaikan, telah berlangsung sejak masa sahabat. 

Karena itu para ulama di mana-mana, mengadakan tradisi Yasinan setiap malam Jum’at atau lainnya, dan beragam tradisi lainnya. Hal ini telah berlangsung sejak masa salaf.

6) Atsar Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu

عَنْ شَقِيقٍ أَبِى وَائِلٍ قَالَ كَانَ عَبْدُ اللهِ يُذَكِّرُنَا كُلَّ يَوْمِ خَمِيسٍ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنَّا نُحِبُّ حَدِيثَكَ وَنَشْتَهِيهِ وَلَوَدِدْنَا أَنَّكَ حَدَّثْتَنَا كُلَّ يَوْمٍ. فَقَالَ مَا يَمْنَعُنِى أَنْ أُحَدِّثَكُمْ إِلاَّ كَرَاهِيَةُ أَنْ أُمِلَّكُمْ. إِنَّ رَسُولَ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَخَوَّلُنَا بِالْمَوْعِظَةِ فِى الأَيَّامِ كَرَاهِيَةَ السَّآمَةِ عَلَيْنَا. رواه البخاري ومسلم

“Syaqiq Abu Wail berkata: “Abdullah bin Mas’ud memberikan ceramah kepada kami setiap hari Kamis. 

Lalu seorang laki-laki berkata kepada beliau: “Wahai Abu Abdirrahman, sesungguhnya senang dengan pembicaraanmu dan selalu menginginkannya. 

Alangkah senangnya kami jika engkau berbicara kepada kami setiap hari?” Ibnu Mas’ud menjawab: “Tidaklah mencegahku untuk berbicara kepada kalian, kecuali karena takut membuat kalian bosa. 

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan nasehat kepada kami dalam hari-hari tertentu, khawatir membuat kami bosan.” (HR. al-Bukhari [70], dan Muslim [7305]).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memiliki waktu tertentu untuk berceramah kepada para sahabatnya, kecuali dalam khutbah Jum’at dan hari raya secara rutin.

Beliau memberikan nasehat kepada mereka kadang-kadang saja, atau ketika ada suatu hal yang perlu diingatkan kepada mereka.

Kemudian setelah beliau wafat, para sahabat menetapkan hari-hari tertentu untuk menggelar pengajian. 

Hal ini membuktikan bahwa menetapkan hari-hari tertentu untuk kebaikan hukumnya boleh.

7) Fatwa Syaikh Nawawi Banten rahimahullah

والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب، ولا يتقيد بكونه سبعة أيام أو أكثر أو أقل، وتقييده ببعض الأيام من العوائد فقط كما أفتى بذلك السيد أحمد دحلان، وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام العشرين وفي الأربعين وفي المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما أفاد شيخنا يوسف السنبلاويني. (الشيخ نووي البنتني، نهاية الزين ص/281).

"Bersedekah untuk orang meningga dengan cara yang syar’i itu dianjurkan. Hal tersebut tidak terbatas dengan tujuh hari, lebih atau kurang. 

Membatasi sedekah dengan sebagian hari, termasuk tradisi saja sebagaimana fatwa Sayyid Ahmad Dahlan. 

Tradisi masyarakat telah berlangsung dengan bersedekah pada hari ketiga kematian, ketujuh, keduapuluh, keempat puluh, keseratus, dan sesudah itu dilakukan setiap tahun hari kematian, sebagaimana dijelaskan oleh guru kami Yusuf al-Sunbulawaini. "(Syaikh Nawawi Banten, Nihayah al-Zain, hlm 281).

Paparan di atas memberikan kesimpulan, bahwa menetapkan hari-hari tertentu untuk melakukan kebaikan secara rutin, adalah tradisi Islami yang mulia, berdasarkan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tradisi para sahabat. Wallahu a'lam

SHARE ARTIKEL