Sempat Terendam Lumpur Hingga 3 Jam, Seperti ini Perjuangan Berat Rozi Hingga Selamat dari Reruntuhan Gempa

Penulis Alif Hamdan | Ditayangkan 08 Oct 2018
Sempat Terendam Lumpur Hingga 3 Jam, Seperti ini Perjuangan Berat Rozi Hingga Selamat dari Reruntuhan Gempa
Image from tribunnews.com

Gempa tsunami Palu begitu menggores duka yang dalam

Ada satu kisah luar biasa, yang dialami warga Palu. Rozi, bertahan hidup dalam rendaman lumpur selama 3 jam.

Jika mendengar penuturannya rasanya tidak kuat hati ini...


Fahrurrozi atau Rozi (30) bernafas lega begitu kakinya menginjak tanah kelahiran di Kabupaten Batang.

Ia bersama 12 warga Batang lainnya tiba di kabupatan itu dan disambut hangat Bupati Wihaji, Minggu (7/10/2018) subuh, setelah selamat dari gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah (Sulteng).

Seperti biasa, Rozi bercerita, waktu sore selesai kerja menjadi buruh bangunan di Kampung Petobo, Palu, Sulteng, pada Jumat (28/9/2018) lalu, para pekerja antre untuk mandi, termasuk dirinya.

Seperti yang dikuti dari tribunnews.com, saat kejadian gempa itu, ia masih antre mandi. Tiba-tiba terdengar suara ledakan, dan seperti guyuran hujan.

Kemudian terlihat pohon-pohon bertumbangan disertai lumpur yang langsung menyeret semua benda dengan begitu cepatnya.

Belakangan diketahui lumpur yang tiba-tiba muncul itu merupakan kejadian likuifaksi, atau hilangnya daya dukung tanah, sebagai dampak gempa besar mencapai 7,4 Skala Ritcher yang terjadi di wilayah Sigit Purnomo Syamsuddin Said itu.

"Saya pun tak luput dari seretan lumpur yang bergerak kuat. Saat itu saya berusaha lari, tetapi tak kuasa, karena tubuh terseret lumpur," tutur Rozi, berusaha menahan tangis meski air mata tak terbendung.

Rozi warga Desa Sukomangli, Kecamatan Reban Kabupaten Batang terseret lumpur sejauh 1 kilometer.

Ia terendam lumpur yang hanya menyisakan bagian kepalanya.

Tubuh tak bisa bergerak terhimpit dahsyatnya lumpur. Kondisi demikian dilaluinya selama tiga jam di lokasi kejadian. Kondisinya gelap dan mencekam.

Hampir seluruh tubuh Rozi terendam lumpur dan terus terseret entah ke mana.

Beruntung saat itu kepala masih bisa mendongak tak terendam lumpur gerak.

Ia menyadari tubuhnya terus terseret lumpur hitam itu. Kepala masih di atas permukaan.

Entah terbentur apa saja tubuhnya dalam lumpur.

Ia tak bisa melawan kekuatan gerak lumpur itu. Selama tiga jam tak berkutik, mengikuti lumpur ke mana bergerak dan bergeser.

Sempat Terendam Lumpur Hingga 3 Jam, Seperti ini Perjuangan Berat Rozi Hingga Selamat dari Reruntuhan Gempa

Sambil mengumpulkan sisa-sisa tenaga dan melihat keadaan sekitar, saat dirasa kondisi sudah lebih tenang, Rozi mencoba keluar dari himpitan jeratan lumpur dan merangkak menyelamatkan diri dalam suasana yang sangat gelap.

"Saya sempat pasrah sambil terus berdzikir di dalam hati dalam keadaan tenggelam dan terendam selama sekitar tiga jam, dan akhirnya berhasil keluar. Karena lelah, saya hanya bisa merangkak ke lokasi yang lebih aman dan akhirnya ditemukan relawan," tuturnya.

Baca Juga :

Trauma

Cerita lain datang dari Nasoha (54), warga Desa Sukomangli, Kecamatan Reban, Kabupaten Batang.

Meski lega dapat kembali ke tempat asalnya, ia masih merasa trauma dan masih sering deg-degan jika teringat, dan enggan melihat berita-berita di televisi mengenai bencana alam yang merenggut ribuan korban jiwa itu.

Saat kejadian, Nasoha sedang menunaikan ibadah Salat Magrib di musala sekitar tempatnya bekerja.

Masih jalan rakaat pertama, tiba-tiba terasa guncangan hebat akibat gempa yang membuat ia dan para jemaah lain spontan membatalkan ibadah dan berlari.

"Saat itu saya sedang Salat Magrib, masih rakaat pertama, dan tiba-tiba guncangan keras sangat terasa, alhasil saya spontan lari, ternyata jemaah lain juga ikut lari dari musala," tuturnya.

Karena berada di lokasi tinggi atau di wilayah pegunungan di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, laki-laki yang bekerja hampir dua bulan sebagai buruh bangunan sebuah proyek perumahan itu melihat langsung bagaimana tsunami menerjang dan langsung menggulung Donggala.

Saat berlari keluar dari musala itu, Nasoha sudah melihat rumah-rumah di sekitar ambruk saat gempa.

Tak lama terdengar suara ledakan dan guyuran air yang sangat keras seperti hujan yang sangat deras.

"Di situasi seperti itu saya bingung mau lari ke mana. Dari ketinggian saya berada melihat dengan jelas bagaimana dahsyatnya air ombak yang besar dengan cepat langsung merusak dan menyeret rumah yang berada di pesisir pantai," tuturnya.

Saat bercerita, matanya terlihat berkaca-kaca.

"Saat itu tubuh saya lemas dan hanya bisa berdzikir. Tak terpikir jika saya harus menyaksikan kejadian yang sangat mengerikan itu," ujarnya.

Belum Mau Pulang

Sementara itu, sebanyak 34 warga Kabupaten Batang tercatat bekerja sebagai buruh bangunan di Sulteng yang tersebar di Siggi, Palu, dan Donggala.

Dari jumlah itu, 13 orang sudah dipulangkan, satu orang hilang, satu orang meninggal dan dikubur di lokasi bencana, sisanya masih di lokasi pengungsian dan belum mau dipulangkan.

Pemulangan 13 warga Batang itu dilakukan menggunakan pesawat Hercules dari Bandara Mutiara Sis Aljufri Sulteng menuju Lanud Sultan Hasanudin Makasar.

Dilanjutkan penerbangan ke Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta Timur, dan dilanjutkan lagi dengan jalur darat dijemput personel Pemkab Batang menggunakan mobil.

Sebanyak 13 warga yang dipulangkan itu semuanya berasal dari Kecamatan Reban.

Wajah-wajah mereka tampak sedih, tetapi berusaha tetap tersenyum karena sudah tiba di Batang dengan penuh harapan, meski tak dipungkiri mereka masih tampak trauma atas apa yang dialami.

Bupati Batang Wihaji yang menyambut kedatangan warganya korban bencana di Sulteng itu di rumah dinasnya, mengatakan, dari laporan yang masuk tercatat ada tiga kelompok warga Batang di Sulteng.

Tiap kelompok tercatat dengan jumlah yang berbeda, yaitu sembilan orang, 10 orang, dan 15 orang, sehingga totalnya ada 34 orang.

"Sebanyak 34 orang itu bekerja sebagai buruh bangunan, yang tersebar di Siggi, Palu dan Donggala.

Satu orang tercatat meninggal, dan satu orang hilang atas nama Mudi belum ketemu," tuturnya.

Wihaji menyatakan, sebanyak 13 korban yang dipulangkan itu akan mendapat pemantauan dan pendampingan dari puskesmas tiap kecamatan untuk penanganan pasca-trauma.

"Kami akan dampingi dan pantau perkembangannya, karena saya lihat dari psikisnya tampak ketakutan dan trauma," ucapnya.
SHARE ARTIKEL