Sidratul Muntaha, Dimana Tempat Suci yang Paling Mulia Itu Berada?

Penulis Alif Hamdan | Ditayangkan 19 Dec 2018
Sidratul Muntaha, Dimana Tempat Suci yang Paling Mulia Itu Berada?
Gambar ilustrasi dari boombastis.com

Sidratul Muntaha adalah tujuan terakhir perjalanan isra' mi'raj, yang dilakukan oleh Rasulullah dalam waktu semalam.

Pun juga disebutkan dalam Al Qur'an, pohon Sidratul Muntaha disebut sebagai pohon catatan hidup. Sehelai daun jatuh berarti akan ada yang meninggal.

Lantas dimanakah Sidratul Muntaha ini berada?

Peristiwa Isra Miraj tidak bisa dilepaskan dari Sidratul Muntaha. Sebuah tempat suci yang masih menjadi misteri bagi umat Islam.

Sidratul Muntaha atau yang lebih kita kenal dengan Langit Ketujuh diyakini sebagai tempat bertemu Rasulullah Muhammad SAW dengan Allah SWT. Pertemuan ini menghasilkan perintah langsung dari Allah kepada Nabi SAW yaitu sholat lima waktu.

Lantas, di manakah Sidratul Muntaha terletak?

Sidratul Muntaha secara harfiah memiliki makna 'tumbuhan sidrah yang tidak terlampaui.' Jika dibayangkan, mungkin seperti pohon yang sangat tinggi meski makna sebenarnya bukanlah tumbuhan.

Nama ini sebenarnya melambangkan tidak ada satupun makhluk yang bisa sampai di sana. Hanya atas izin Allah SWT saja, tempat itu bisa didatangi.

Sejumlah dalil juga tidak menyebut secara rinci seperti apa tempat ini. Contohnya seperti Surat An Najm ayat 13-18.

" Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar."

Baca Juga :

Dimanakah Tujuh Langit Ini Berada?

Konsep tujuh lapis langit sering disalahartikan. Tidak jarang orang membayangkan langit berlapis-lapis dan berjumlah tujuh. Kisah Isra’ mi’raj dan sebutan “sab’ah samawat” (tujuh langit) di dalam Al-Qur’an sering dijadikan alasan untuk mendukung pendapat adanya tujuh lapis langit itu.

Ada tiga hal yang perlu dikaji dalam masalah ini. Dari segi sejarah, segi makna “tujuh langit”, dan hakikat langit dalam kisah Isra’ mi’raj.

Sejarah Tujuh Langit

Dari segi sejarah, orang-orang dahulu (jauh sebelum Al-Qur’an diturunkan) memang berpendapat adanya tujuh lapis langit. Ini berkaitan dengan pengetahuan mereka bahwa ada tujuh benda langit utama yang jaraknya berbeda-beda.

Kesimpulan ini berdasarkan pengamatan mereka atas gerakan benda-benda langit. Benda-benda langit yang lebih cepat geraknya di langit dianggap lebih dekat jaraknya. Lalu ada gambaran seolah-olah benda-benda langit itu berada pada lapisan langit yang berbeda-beda.

Di langit pertama ada bulan, benda langit yang bergerak tercepat sehingga disimpulkan sebagai yang paling dekat. Langit ke dua ditempati Merkurius (bintang Utarid). Venus (bintang kejora) berada di langit ke tiga.

Sedangkan matahari ada di langit ke empat. Di langit ke lima ada Mars (bintang Marikh). Di langit ke enam ada Jupiter (bintang Musytari). Langit ke tujuh ditempati Saturnus (bintang Siarah/Zuhal). Itu keyakinan lama yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta.

Orang-orang dahulu juga percaya bahwa ke tujuh benda-benda langit itu mempengaruhi kehidupan di bumi. Pengaruhnya bergantian dari jam ke jam dengan urutan mulai dari yang terjauh, Saturnus, sampai yang terdekat, bulan.

Karena itu hari pertama itu disebut Saturday (hari Saturnus) dalam bahasa Inggris atau Doyoubi (hari Saturnus/Dosei) dalam bahasa Jepang. Dalam bahasa Indonesia Saturday adalah Sabtu.

Ternyata, kalau kita menghitung hari mundur sampai tahun 1 Masehi, tanggal 1 Januari tahun 1 memang jatuh pada hari Sabtu.

Hari-hari yang lain dipengaruhi oleh benda-benda langit yang lain. Secara berurutan hari-hari itu menjadi Hari Matahari (Sunday, Ahad), Hari Bulan (Monday, Senin), Hari Mars (Selasa), Hari Merkurius (Rabu), Hari Jupiter (Kamis), dan Hari Venus (Jum’at). Itulah asal mula satu pekan menjadi tujuh hari.

Jumlah tujuh hari itu diambil juga oleh orang-orang Arab. Dalam bahasa Arab nama-nama hari disebut berdasarkan urutan: satu, dua, tiga, …, sampai tujuh, yakni ahad, itsnaan, tsalatsah, arba’ah, khamsah, sittah, dan sab’ah.

Bahasa Indonesia mengikuti penamaan Arab ini sehingga menjadi Ahad, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at, dan Sabtu. Hari ke enam disebut secara khusus, Jum’at, karena itulah penamaan yang diberikan Allah di dalam Al-Qur’an yang menunjukkan adanya kewajiban shalat Jum’at berjamaah.

Penamaan Minggu berasal dari bahasa Portugis Dominggo yang berarti hari Tuhan. Ini berdasarkan kepercayaan Kristen bahwa pada hari itu Yesus bangkit. Tetapi orang Islam tidak mempercayai hal itu, karenanya lebih menyukai pemakaian “Ahad” daripada “Minggu”.

Makna Tujuh Langit

Langit (samaa’ atau samawat) di dalam Al-Qur’an berarti segala yang ada di atas kita, yang berarti pula angkasa luar, yang berisi galaksi, bintang, planet, batuan, debu dan gas yang bertebaran.

Dan lapisan‑lapisan yang melukiskan tempat kedudukan benda‑benda langit sama sekali tidak ada. Sedangkan warna biru bukanlah warna langit sesungguhnya. Warna biru dihasilkan dari hamburan cahaya biru dari matahari oleh atmosfer bumi.

Di dalam Al-Qur’an ungkapan ‘tujuh’ atau ‘tujuh puluh’ sering mengacu pada jumlah yang tak terhitung. Contoh pada surat Al-Baqarah ayat 261, disana Allah menjanjikan:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al-Baqarah ayat 261]

Lalu pada surat Luqman ayat 27:

“Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. Luqman ayat 27]

Jadi ‘tujuh langit’ semestinya dipahami pula sebagai tatanan benda‑benda langit yang tak terhitung banyaknya, bukan sebagai lapisan‑lapisan langit.

Tujuh langit pada Mi’raj

Kisah Isra’ Mi’raj sejak lama telah menimbulkan perdebatan soal tanggal pastinya dan apakah Nabi melakukannya dengan jasad dan ruhnya atau ruhnya saja. Demikian juga dengan hakikat langit.

Muhammad Al Banna dari Mesir menyatakan bahwa beberapa ahli tafsir berpendapat Sidratul Muntaha itu adalah Bintang Syi’ra. Tetapi sebagian lainnya, seperti Muhammad Rasyid Ridha dari Mesir, berpendapat bahwa tujuh langit dalam kisah Isra’ mi’raj adalah langit ghaib.

Dalam kisah mi’raj itu peristiwa lahiriah bercampur dengan peristiwa ghaib. Misalnya pertemuan dengan ruh para Nabi, melihat dua sungai di surga dan dua sungai di bumi, serta melihat Baitul Makmur, tempat ibadah para malaikat.

Jadi, nampaknya pengertian langit dalam kisah mi’raj itu memang bukan langit lahiriah yang berisi bintang-bintang, tetapi langit ghaib.

Wallahu A'lam.
SHARE ARTIKEL