Negeri ini telah meraih kemerdekaannya 70 tahun silam. Namun, kemerdekaan itu tidak serta merta didapatkan begitu saja. Perjuangan dan pengorbanan yang berupa nyawa, darah, keringat dan air mata telah dicurahkan demi meraih kemerdekaan yang hakiki. Namun, untuk siapa sejatinya kemerdekaan tersebut? Semua itu untuk kita semua, bangsa Indonesia.
Namun, kita yang hidup di jaman ini seakan menutup mata. Kita melupakan orang-orang yang telah berjuang merebut kemerdekaan ini dari tangan para penjajah. Padahal tanpa mereka, kita tidak mungkin bisa hidup seperti sekarang ini. Namun, tak sedikit para pejuang yang hidup terlunta-lunta dan menderita di masa tuanya. Sementara, kita hanya sibuk dengan urusan kita sendiri tanpa mempedulikan apa yang terjadi pada mereka. Mana balas budi kita atas jasa yang telah mereka lakukan untuk kita dan negeri ini?
Mengingat jasa para pahlawan tak cukup hanya dengan merayakan hari kemerdekaan dengan upacara bendera dan mengadakan berbagai perlombaan. Tapi, kita doakan mereka yang telah gugur di medan perang dan kita topang kehidupannya bagi yang masih hidup. Jangan biarkan para pejuang yang masih hidup harus hidup menderita dan terlunta-lunta di masa tuanya. Hal ini dialami oleh salah satu pejuang kemerdekaan yang di masa tuanya sampai harus menjadi seorang pengemis untuk membiayai hidupnya sendiri. Berikut kisah pahit getir kehidupannya.
Letnan Anwar, mantan pejuang yang menjadi seorang pengemis di masa tuanya
Anwar, Komandan Kompi 3 Sumatera Bagian Selatan, dengan pangkat Letnan Satu.
Pemimpin yang mahir empat bahasa. Dia fasih berbicara bahasa Inggris, Jepang, Belanda dan tentu saja bahasa Indonesia. Akan tetapi, kerasnya hidup menyeret Anwar, ke lumbung kemiskinan. Sang letnan tiarap pada kehidupan.
“Tak perlu. Jangan disebut lagi masa lalu. Itu sudah habis. Jangan dikenang lagi,” tutur Anwar kala itu saat dia masih hidup.
Anwar betul-betul keras. Sulit memintanya bicara banyak. “Saya sedang berusaha. Jangan diganggu. Ini belum makan, lihat itu, belum berisi,” ucap Anwar menunjuk ember biru yang ada di depannya. Ember itu sengaja disediakan, untuk orang melempar uang sebagai wujud dari rasa iba terhadapnya. Seolah, perkataan Anwar sebuah isyarat : Kalau mau bicara, isi ember itu. Hampir setegah jam hirau, Anwar akhirnya menyerah. Dia mau bicara. Tentang hidupnya. “Tapi jangan diputarbalik apa yang saya katakan,” ucap Anwar yang pernah juga bekerja sebagai kelasi kapal berbendera Jerman Barat.
Tanah Kuranji adalah tempat pertama yang menyambut kelahiran Anwar. Dia terlahir dari keluarga petani, 94 tahun lalu. Masa mudanya dihabiskan di pinggiran Kota Padang itu. Anwar adalah jebolah Sekolah Sembilan (kini Belakang Tangsi-red) tahun 1930. Lepas Sekolah Rakyat, Anwar mulai bekerja serabutan. Akhirnya dia diterima sebagai kelasi kapal. Tahun 1932 sampai 1939 Anwar berlayar. Dalam kurun waktu itu tak sedikit keragaman budaya yang dilihat pak tua. “Saya lulus sekolah Belakang Tangsi 1930. Selanjutnya berlayar tujuh tahun mengelilingi Asia sampai ke Australia. Kemudian pulang untuk berjuang. Saya tak mau bersenang-senang di atas kapal, sementara Bangsa kita sedang berjuang merebut kemerdekaan. Naluri kebangsaanlah yang memanggil jiwa untuk ikut berjuang,” terang Anwar.
Anwar muda sudah terbiasa berperang. Dia hidup untuk berpetualang. Melintasi medan. Bergerilya. Menunggu saat yang tepat menyerang tentara Belanda. “Saya bekas tentara Sumatera Selatan. Komandan Kompi 3. Tak terkira derita. Masa pergerakan benar-benar sulit. Desing peluru, bau mesiu, mayat dan simbahan darah hal biasa. Pelepas penat dan kebanggaan kala itu, sewaktu pulang ke barak, kita membawa topi serdadu, atau barang rampasan perang lainnya,” ulas Anwar.
Lubang kecil bekas hantaman peluru yang menghiasi kaki kananya, menjadi bukti keikutsertaan Anwar berjuang untuk bangsa. Karena tembakan itu, kini dia berjalan pincang. “Kaki ini ditembus peluru di Jalan Jakarta (Simpang Presiden-red). Waktu itu hari masih pagi. Perjanjian Linggarjati baru saja disepakati. Tapi Aziz Chan menentang perjanjian itu. Belanda marah dan mengamuk. Menyerang membabi buta di tengah Kota. Hasilnya, ya kaki ini kena tembak waktu mau pulang ke barak,” terang Anwar.
Bukan cuma ditembak. Anwar pernah merasa pengap hidup di balik jeruji besi. “Empat tahun saya dibui. Tertangkap waktu bergerilya, dari Padang dengan tujuan Payokumbuah yang waktu itu, tahun 1946 sedang bergejolak. Kala melewati Padangpanjang saya tertangkap Belanda. Waktu itu, peluru habis sementara kaki saya masih sakit. Saya digiring, kaki dirantai, diberi golongan besi, “ungkap Anwar mencoba merunut kembali petualangan masa lalunya.
Di Panjangpanjang, Anwar diperlakukan tak senonoh oleh Belanda. Hantaman bokong senjata, sayatan belati sampai dipaksa minum air kencing. Namun sang Letnan tetap tegar. Kepalanya tegak, walau kucuran darah dari pelipisnya tak berhenti. “Penjara dulu, bukan seperti sekarang. Dulu, tangan diikat kawat berduri, kaki dirantai golongan besi. Saban hari kena pukul. Bahkan, Untuk minum, mereka memberi air putih yang dicampur kencing,” celoteh Anwar.
Jangan pertanyakan nsionalisme pada Anwar. Kecintaannya pada Indonesia tak pernah surut. Terus berkobar. “Saya pernah ditanya tentara Belanda. Apakah saya berjuang dan jadi tentara karena hanya kedudukan dan jabatan semata? Saya jawab apa adanya? Berjuang untuk negara, bukan kedudukan. Bila kelak mati di sini. Saya bangga, karena itu demi negara,” ucap Anwar.
Anwar berjuang terus. Sampai dia sendiri lupa akan keluarganya. Anwar pernah menikah dengan seorang wanita Belakang Olo. Tapi hanya sebentar Anwar mengecap indah rumah tangga. Istrinya mati karena kolera dan kekurangan asupan gizi, ikut juga tiada anak yang dikandungnya. Anwar baru tahu istrinya tiada empat bulan kemudian, tepatnya saat dia pulang bergerilya.
Lepas dari itu, Indonesia akhirnya merdeka dengan penuh. Namun tak begitu bagi Anwar. Tak ada penghargaan yang diterimanya. Pengorbanan dan perjuangannya yang dikibarkannya seakan dilupakan. Anwar hilang di tengah gegap gempita kemerdekaan. Ditambah kematian istri, seolah pembawa petaka. Anwar kehilangan semangat hidup. Sempat terjerumus ke dunia hitam. Anwar tobat. Tapi, hidup memang tak pernah berpihak pada Anwar. Semakin terlunta-lunta. Hingga jalan sebagai pengemis jadi pilihan terakhirnya.
Tak ada tanda jasa. Tak ada lencana penghormatan yang diterima Anwar. Bahkan gelar pahlawan veteran pun tak singgah. “Saya tak butuh apapun. Dulu, saya berjuang bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Saya berjuang untuk negara. Tak perlu tanda jasa apalagi uang. Biarlah hidup begini, asal tak menganggu orang lain. Saya rela. Memang, ada kawan yang ikut mengangkat senjata kebanyakan tenang menjalani masa tuanya. Saya tak suka itu, bagi saya berjuang bukan untuk kemapanan masa tua,” jawab Anwar. Dia segera berdiri, pergi minta segelas air kepada pedagang di depan Masjid AL Mubarah, Sawahan.
Memang, dulu Anwar pernah diberi sertifikat veteran. Namun karena jalan hidupnya yang sering berpindah tempat “surat sakti” itu raib entah kemana. Padahal, surat itu adalah sebagai landasan Anwar untuk menerima haknya sebagai veteran. “Kalau tak salah Surat Bintang Gerilya. Tapi surat itu sudah hilang. Kata orang surat itu adalah syarat untuk menerima tunjangan dari pemerintah. Tapi tak apalah, saya juga tak perlu itu. Kan sudah saya katakan kalau saya berjuang bukan untuk uang apalagi jabatan. Walaupun meminta-minta tapi saya tak menyusahkan orang lain. Saya sudah pernah hidup senang di atas kapal. Sekarang saatnya susah,” kata Anwar.
Letnan Anwar. Sang pahlawan kini telah tiada di masa pembangunan. Dia tak menerima apa-apa dari perjuangan. Sebatas penghormatan pun tidak. Anwar terlupakan. Bangsa ini benar-benar sudah berdosa padanya.
Pahlawan yang Terlupakan, Menjadi Pengemis Hingga Akhir Hidupnya
Tak hanya Letnan Anwar saja yang masih harus mengalami pahitnya kehidupan di masa tuanya. Masih banyak lagi para pejuang yang terlupakan hingga harus hidup sengsara di masa tuanya. Masa di mana seharusnya mereka bisa hidup tenang merasakan manisnya buah perjuangan mereka saat masih muda, namun yang mereka dapat hanya rasa bangga atas perjuangan mereka yang menjadikan negeri ini menjadi negeri yang merdeka. Mereka hanya bisa melihat generasi penerus mereka hidup bahagia dan merasakan hidup merdeka di tanah ini meski mereka sendiri masih harus berjuang demi hidupnya sendiri tanpa ada yang peduli pada nasib mereka.
Semoga surga balasan bagi para pahlawan-pahlawan yang kini telah gugur. Terima kasih pahlawanku. Tanpa jasa-jasamu kami tidak akan bisa hidup seperti sekarang ini. Maafkan kami yang telah berdosa karena tak mempedulikanmu semasa hidupmu bahkan meremehkanmu di saat ragamu tak lagi muda dan gagah. Semoga upayamu memerdekakan negeri ini tak akan pernah sia-sia. Kami banyak berhutang budi padamu.