Singapura yang Beli Gas dari Indonesia, Kenapa Bisa Lebih Murah? Ternyata ini Bobroknya Moral SDM

Penulis Dzikir Pikir | Ditayangkan 06 Oct 2016


Bukan rahasia lagi kenaikan harga gas beberapa tahun ini menjadi suatu hal yang sangat mempengaruhi perekonomian Indonesia. Begitu pula saat ini bila dibanding dengan negara tetangga, harga gas di Indonesia masih termasuk mahal. Hal ini menjadi polemik tersendiri.

Data menurut Kementrian Prindustrian harga gas di Medan, Sumatera Utara tercatat mencapai USD 12,22 per MMBTU. Padahal harga gas di Singapura hanya sekitar USD 4,5 per MMBTU, Malaysia USD 4,47 per MMBTU, dan Filipina USD 5,43 per MMBTU.

Dilihat dari sudut pandang para pengusaha.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat pernah mengeluhkan tingginya harga gas dalam negeri. Menurutnya, harga yang tinggi membuat industri kesulitan bersaing di era pasar bebas sekarang ini.

Ada calo nakal
"Gas berasal dari Indonesia dijual ke Singapura dengan harga berkisar USD 4 per Million Metric British Thermal Unit (MMBTU), begitu harga gas dijual sendiri di Indonesia maka harga gas sudah USD 12, artinya di situ terjadi percaloan yang luar biasa," ucap Ade di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Senin (29/8), dikutip dari merdeka.

Ade berharap, harga gas dalam negeri bisa stabil di USD 7 per MMBTU. Ade meminta kepada pemerintah terkait untuk segera memperbaiki tata niaga gas. Sebab, kondisi industri dalam negeri belum terlalu baik dan membutuhkan harga gas yang lebih murah.

"Ini yang harus kita benahi, kan gas itu bisa langsung berikan implikasi bagaimana bisa bermanfaat bagi masyarakat yang sebesar-besarnya. Kita harapkan harga gas paling tidak tidak terlalu tinggi perbedaanya antara yang dijual ke Singapura, Korea dan Vietnam, dibandingkan di dalam negeri," ujar Ade.

Tak hanya industri tekstil, industri petrokimia juga terancam mati karena tingginya harga gas dalam negeri.

Tingginya harga gas dalam negeri dikeluhkan banyak industri, salah satunya PT Kaltim Parna Industri (KPI). Pabrik amoniak KPI atau pabrik petrokimia ini menggunakan gas bumi sebagai bahan baku. Bahkan, perseroan sudah menerapkan teknologi dengan tingkat efisiensi yang cukup tinggi.

Sistem pengoperasian sudah pabrik didesain dengan automatic system menggunakan fasilitas advanced process control pada saat kondisi normal. Meski demikian, seiring dengan turunnya berbagai harga komoditi beberapa waktu terakhir ini, tak terkecuali harga amoniak di pasar dunia, maka kendala yang dihadapi oleh KPI saat ini adalah tingginya harga bahan baku (gas alam) yang dibayar oleh KPI.

Akibatnya perusahaan sangat sulit bersaing dengan perusahaan lain terlebih dengan perusahaan luar negeri sejenis yang memproduksi amoniak.

"Tentunya apabila pemberlakuan harga gas yang tinggi ini berlanjut terus akan mengancam kelangsungan perusahaan ini. Tidak dapat dipungkiri, ancaman kelangsungan perusahaan yang telah turut membangun bangsa Indonesia ini, juga menjadi ancaman bagi Bangsa Indonesia," ucap Direktur Teknis PT Kaltim Parna Industri, Hari Supriadi di Jakarta, Jumat (23/9) dikutip dari merdeka.

Menurutnya, jika harga gas bisa lebih murah, maka perusahaan dapat lebih berperan lagi di dalam program-program pemerintah di antaranya, meningkatkan peran dalam kehidupan masyarakat dan lingkungan melalui Corporate Social Responsibilty (CSR), melakukan kerja sama dalam bidang pendidikan dan teknologi dengan institusi-institusi seperti perguruan tinggi dan lain sebagainya.

Baca Juga : Terjadi Ledakan Keras dari Kilang Minyak Pertamina, Hingga Asap Hitam Membumbung Tinggi Mengagetkan Warga

"Ini menjadi suatu kebanggaan bagi bangsa Indonesia, bilamana kita dapat bersaing, bahkan menjadi pemenang dalam pasar di Asia Pasific, terutama dalam industri petrokimia. Beberapa perusahaan asing telah belajar banyak di KPI, namun mereka bisa menjadi lebih besar dikarenakan harga bahan baku di negaranya jauh lebih rendah di banding dengan harga bahan baku (gas alam) yang dibayarkan oleh perusahaan swasta nasional ini," katanya.

Dengan harga bahan baku (gas alam) yang wajar dengan tingkat keekonomian yang sesuai dengan industri amoniak, maka KPI sebagai produsen Ammonia di Indonesia, berencana untuk mengembangkan unit bisnis seperti Soda Ash plant, Ammonium Nitrate, Caprolactam, Dry Ice plant.

"Hal ini akan menyerap banyak tenaga kerja baik tenaga ahli maupun tenaga non ahli dari seluruh penjuru nusantara, terlebih pada penduduk local di sekitar pabrik itu sendiri," kata Hari.

Lalu, apa sebenarnya yang membuat harga gas dalam negeri begitu mahal?
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Syamsir Abduh mengatakan, mahalnya harga gas di Indonesia disebabkan karena rumit dan panjangnya mata rantai perdagangan gas. (red. calo)

"Mata rantai terlalu panjang. Lima tingkat misalnya trader pertama, kedua dan seterusnya itu terlalu panjang," katanya dalam diskusi energi kita di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (18/9).

Anggota Komisi VII DPR RI, Kurtubi mengatakan, tingginya harga gas karena banyak trader atau penjual gas yang tidak memiliki fasilitas penyaluran seperti pipa gas.

"Saran saya langkah pertama menghilangkan titik titik inefisiensi terdapat trader yang punya infrastruktur atau yang hanya modal dengkul. Siapa pun orangnya harus dihapus dalam sistem keuntungan yang mereka serap jangan merugikan rakyat, merugikan kalangan industri," katanya.

Selanjutnya, Ekonom UI Faisal Basri mengatakan, pemerintah sudah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) nomor 40 tahun 2016 tentang penetapan harga gas bumi. Akan tetapi, Perpres itu menimbulkan banyak masalah baru. Perpres menetapkan penurunan harga gas yang berlaku surut sejak Januari 2016.

Menurutnya, permasalahan harga gas ini disebabkan banyaknya pemburu rente gas atau trader bermodal kertas. Bahkan, dia memperkirakan terdapat 60 trader gas atau calo gas yang berbisnis tanpa memiliki infrastruktur gas bumi.

"Bertahun-tahun praktik bisnis gas tidak sehat tanpa penyelesaian yang menohok ke akar masalah. Salah satu akar masalah utama adalah bisnis gas dijadikan bancakan oleh para pemburu rente," ujar Faisal seperti dikutip dari blog pribadinya di Jakarta, Jumat (2/9).

Selain itu, dia menduga mahalnya harga gas di Indonesia lantaran perusahaan pemasok gas tak langsung menjual ke pembeli utama. Hal ini pernah terjadi di anak usaha Pertamina, PT Pertamina Gas (Pertagas).

Saat ini, Jokowi langsung turun tangan untuk menurunkan harga gas dalam negeri.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta agar harga gas untuk Industri dalam negeri ditekan hingga menyentuh ke angka USD 5 atau USD 6 per MMbtu ( Million Metric British Thermal Unit). Saat ini, harga gas industri berada pada angka USD 9,5 per per MMbtu.

"Saya minta dilakukan langkah kongkret agar harga gas kita lebih kompetitif. Saya kemarin hitung-hitungan, ketemunya saya kira antara USD 5 sampai USD 6," ungkap Presiden saat memberikan pengantar dalam rapat terbatas (ratas) penetapan harga gas untuk industri di Kantor Presiden, Jakarta Pusat, Selasa (4/10).

"Kalau enggak angkanya itu, enggak usah dihitung saja," tegas Presiden.

Jokowi menuturkan harga gas untuk industri di Indonesia merupakan yang tertinggi se-ASEAN. Contohnya, negara Vietnam menetapkan harga gas untuk industri pada angka USD 7, Singapura pada angka USD 4.

"Padahal negara kita mempunyai potensi cadangan gas bumi yang cukup banyak, sangat banyak. Dan sebaliknya negara-negara tersebut baik Vietnam, Malaysia, Singapura ini dapat dikategorikan mengimpor gas bumi," ujar dia.

Baca Juga : Bripka Iwan Rudianto, Anggota Brimob yang Tembak Kepalanya Sendiri

Oleh karena itu, Presiden menekankan, kementerian terkait harus segera membenahi harga gas untuk industri. Harga gas tersebut harus bisa memberikan implikasi pada daya saing industri secara global.

"Kita ingin di era kompetisi ini produk-produk kita bisa dan mampu bersaing dengan negara lain. Untuk itu, kita perlu memperkuat kembali industri kita bukan hanya semakin membuat produktif tetapi juga harus bisa berdaya saing, yang tangguh, yang juga kita ingin industri kita bisa ikut mensejahterakan rakyat," tandasnya.

Nah, bila rasa kepedulian bangsa ini masih tinggi seperti semangat para pejuang dulu, yang bersatu untuk melawan penjajah. Mungkin negeri kita akan makmur, melihat kekayaan alam kita ini, sayangnya sekarang banyak orang yang hanya mengurusi perutnya sendiri tanpa peduli kepentingan orang lain.
viral minggu ini

BAGIKAN !

Jika kontent kami bermanfaat