Nama besar Kiai Kholil (1820-1923 M) berkibar di jagat keilmuan Islam Nusantara. Kealiman dan kewaliannya meminjam istilah ilmu hadi sudah mencapai status muttafaqun alaih alias sudah valid, tak satu pun orang alim di Nusantara yang memungkirinya. Ini dia 5 kisahnya yang saya rangkum dari beberapa sumber:
1. Kiai Ma’shum Lasem dikurung, Disuruh Ngajar dan Didoakan
Dalam buku Manaqib Mbah Ma’shum Lasem diceritakan bahwa suatu hari Kiai Kholil Bangkalan mengatakan kepada santrinya, “Tolong buatkan aku kurungan ayam jago, sebab besok akan ada jagoan dari tanah Jawa yang datang ke sini”. Keesokan hari, datanglah seorang pemuda bernama Muhammadun nama almarhum Mbah Ma’shum waktu muda dari tanah Jawa.
Oleh Kiai Kholil, pemuda itu pada waktu itu umurnya 20 tahun diminta masuk ke dalam kurungan ayam jago tersebut. Dengan penuh takzim dan ketundukan terhadap gurunya, pemuda itu pun masuk dan duduk berjongkok ke dalam kurungan ayam jago tadi. Kiai Kholil kemudian berkata kepada santri-santrinya, “Inilah yang kumaksudkan sebagai ayam jago dari tanah Jawa, yang kelak akan menjadi jagoan tanah Jawa.”
Dikisahkan juga awal-awal nyantri, Mbah Lasem malah disuruh ngajar Alfiyah kepada santri-santrinya Mbah Kholil di dalam kamar yang tidak ada penerangnya. Selain itu, Mbah Ma’shum hanya nyantri di sana 3 bulan saja, boleh jadi setelah itu Kiai Kholil memintanya pulang. Nah, ketika hendak pulang, Mbah Kholil memanggilnya seraya mendoakannya dengan doa Sapu Jagad. Lalu, saat Mbah Ma’shum melangkah pergi beberapa meter, beliau dipanggil lagi oleh Mbah Kholil lalu didoakan dengan doa yang sama. Hal ini terjadi berulang hingga 17 kali.
2. Kiai Hasyim Asy’ari Tebuireng Disuruh Manjat, Angon dan Masuk Septictank
Ketika awal nyantri, Hasyim Asy’ari muda disuruh naik ke atas pohon bambu, sementara Kiai Kholil terus mengawasi dari bawah sembari memberi isyarat agar terus naik tidak boleh turun sampai ke pucuk pohon bambu tersebut. Kiai Hasyim terus naik sesuai perintah gurunya itu. Ia tak peduli apakah pohon bambu itu akan patah atau bagaimana. Yang jelas, beliau hanya patuh pada perintah gurunya.
Hebatnya, begitu sampai di pucuk, Kiai Kholil mengisyaratkan agar Kiai Hasyim langsung meloncat ke bawah. Tanpa pikir panjang Kiai Hasyim langsung meloncat, sami’na wa atha’na. Beliau selamat, sehat afiat. Ternyata itu hanya ujian Kepatuhan seorang santri kepada Kiainya.
Sebagai murid, Kiai Hasyim tidak pernah ngersulo (mengeluh) disuruh apa pun oleh gurunya termasuk angon (menggembalakan) kambing dan sapi, mencari rumput dan membersihkan kandang. Beliau terima titah gurunya itu sebagai khidmat (dedikasi) kepada Sang Guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari guru akan diperoleh dan barakah apabila sang guru rida kepada muridnya. Inilah yang dicari Kiai Hasyim, rida guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis dari Kiai Kholil tapi lebih dari itu, yang diinginkan adalah barakah-nya.
Selain itu, dikisahkan juga saat Kiai Kholil kehilangan cincin pemberian istrinya yang jatuh maaf di WC, Kiai Hasyim memohon izin untuk mencarinya. Setelah diizinkan, sejurus kemudian beliau masuk ke septictank dan mengeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kiai Hasyim penuh dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan.
Betapa senangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya hingga terucap doa “Aku rida padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu.”
3. Kiai Wahab Hasbullah Tambakberas Dianggap Macan
Sebagaimana diceritakan dalam Pastiaswaja.org, pada suatu hari di bulan Syawal, K.H. Kholil memanggil semua santri, kemudian beliau mengatakan, “Santri-santri sekalian! Untuk saat ini kalian harus memperketat penjagaan pondok. Karena tidak lama lagi, akan ada macan masuk ke pondok kita.”
Sejak itu, setiap hari semua santri melakukan penjagaan yang ketat di pondok pesantren. Hal ini dilakukan karena di dekat pondok pesantren ada hutan yang konon angker dan berbahaya, sehingga khawatir jika ada macan muncul dari hutan tersebut.
Setelah beberapa hari ternyata macan yang ditunggu-tunggu tidak juga muncul jua. Pada minggu ketiga, Kiai Kholil memerintahkan santri-santri untuk berjaga-jaga ketika ada pemuda kurus, tidak terlalu tinggi dan membawa tas koper seng masuk ke komplek pondok pesantren.
Begitu sampai di depan rumah Kiai Kholil, pemuda itu mengucapkan salam “Assalamu’alaikum”. Mendengar salam pemuda tersebut, Kiai Kholil justru malah berteriak memanggil santri-santrinya “Hai santri-santri, macan! Macan! Ayo kepung, jangan sampai masuk ke pondok.” Mendengar teriakan kiai Kholil, serentak para santri berhamburan membawa apa saja yang bisa dibawa untuk mengusir pemuda tersebut yang dianggap macan. Para santri yang sudah membawa pedang, celurit, tongkat mengerubuti “macan” yang tidak lain adalah pemuda itu. Muka pemuda itu menjadi pucat pasi ketakutan. Karena tidak ada jalan lain, akhirnya pemuda tersebut lari meninggalakn komplek pondok tersebut.
Karena tingginya semangat untuk nyantri ke pondok yang diasuh oleh Kiai Kholil, keesokan harinya pemuda itu mencoba memasuki pesantren lagi. Meskipun begitu, dirinya tetap memperoleh perlakuan yang sama seperti sebelumnya. Karena rasa takut dan kelelahan akhirnya pemuda tersebut tidur di bawah kentongan yang ada di musala pesantren. Ketika tengah malam, dirinya dibangunkan dan dimarah-marahi oleh Kiai Kholil. Meski demikian, setelah itu dirinya diajak oleh Kiai Kholil ke rumahnya dan dinyatakan sebagai salah satu santri dari pondok yang beliau pimpin.
Sejak itu, pemuda tersebut resmi sebagai santri pondok. Pemuda yang dimaksud itu adalah Abdul Wahab Hasbullah yang menjadi salah satu pendiri NU. Ternyata apa yang prediksi oleh Kiai Kholil menjadi kenyataan, Abdul Wahab Hasbullah benar-benar menjadi “Macan” NU.
4. Kiai As’ad Asembagus dan Uang Barakah
Seperti karamah-karamah Kiai Kholil sebelum-sebelumnya. Karamah beliau yang satu ini membuat decak kagum saya. Menariknya, cerita ini langsung disampaikan oleh pelaku sejarah, yaitu K.H. As’ad Syamsul Arifin, yang merupakan murid Kiai Kholil dan mediator berdirinya NU yang kini menjadi Kiai di Asembagus-Situbondo. Di Youtube juga beredar rekaman cerita beliau dalam suatu pengajian dengan bahasa Madura.
Ketika Kiai As’ad masih menjadi santri Kiai Kholil, beliau pernah disuruh mengantarkan tongkat ke Kiai Hasyim Asy’ari di Jombang. Dan, di lain hari disuruh mengantarkan tasbih kepada Kiai Hasyim juga. Kiai Kholil hanya memberikan bekal beberapa uang logam. Kiai As’ad sepertinya sangat mempercayai bahwa pemberian gurunya tersebut mengandung barakah. Bahkan Kiai As’ad sampai berkata dalam batinnya, “Kalau uang ini mengandung barakah, tentu tidak akan habis, bahkan bertambah.”
Subhanallah. Benar saja, ketika Kiai As’ad naik bus atau kereta, bolak-balik kondekturnya tidak menagih tiket kepada Kiai As’ad seolah-olah beliau tidak terlihat atau entahlah. Demikian juga ketika akan menyeberangi selat Madura, seseorang tiba-tiba mengajaknya naik ke kapal bersamanya secara cuma-cuma. Tentu saja tawaran yang baik itu diterima. Juga setelah turun dari kapal, beliau kembali ditawari naik kendaraan ke Jombang secara cuma-cuma, beliau menerima tawaran ini dengan rasa syukur. Kiai As’ad yakin hal ini karena pengaruh uang barakah.
Uang tersebut sampai sekarang masih ada, disimpan dengan baik oleh Almarhum Kiai As’ad. Sejak memiliki uang tersebut, Kiai As’ad tidak pernah kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya, khususnya dalam pembangunan pesantren. Jika Kiai As’ad memerlukan sejumlah uang, maka uang logam pemberian Kiai Kholil diambil dan diajak bicara, “Hei uang, panggil teman-temanmu, saya perlu uang!” ucap Kyai As’ad sambil menepuk-nepuk uang logam dengan penuh keyakinan. Tidak lama datanglah seseorang dengan membawa sekoper uang untuk diserahkan kepada Kiai As’ad.
Beragam cara datangnya rezeki melalui uang barakah tersebut. Bahkan dalam kesempatan lain, terkadang datang pada tengah malam, tiba-tiba sebuah sedan putih masuk ke pesantren dengan membawa segepok uang.
5. Kiai Bahar Sidogiri dan Mimpi Basah
Pada suatu pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa salat subuh berjamaah. Bahar absen salat jamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Pasalnya, semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar, sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri gurunya.
Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap, “Santri kurang ajar! santri kurang ajar!” Para santri yang sudah naik ke masjid untuk salat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.
Subuh itu Bahar memang tidak ikut salat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai salat subuh berjamaah, Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya, “Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” tanya Kiai Kholil. Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar.
Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan Bahar dibawa ke masjid. Kiai Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata, “Bahar, karena kamu tidak hadir salat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini,” perintah Kiai Kholil. Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput.
Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali.
Hukuman itu akhirnya diselesaikan dengan baik. “Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai,” ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati. “Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis,” perintah Kiai Kholil kepada Bahar. Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah itu Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu.
Setelah itu Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya berucap, “Hei santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini,” ucap Kiai Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung halamannya. Dan akhirnya menjadi pengasuh Pesantren Sidogiri keenam.