Dalam buku “Katsratut talwih wattahdid bittalak” (banyak memberi isyarat (cerai) dan mengancam cerai), DR Sa’id Abdul Azhim menuliskan:
Ulama mazhab syafi’i berpendapat hukum talak terbagi menjadi empat:
1. Wajib, ini terjadi dalam dua keadaan. Pertama, jika hakim mengutus dua mediator kepada suami istri yang bertikai dan melihat mashlahat dalam perceraian suami istri tersebut. Kedua, jika telah berlalu empat bulan, lalu istri menuntut haknya, namun suami enggan untuk memenuhi dan mencerai. Yang paling benar, menurut pandangan kami, hakim wajib menjatuhkan talak raj’i kepada suami istri tersebut.
2. Makruh, jika kondisi keduanya luru-lurus saja (tidak terjadi permasalahan), lalu si suami mentalak tanpa sebab, baginya berlaku hadits:
“Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”
3. Haram, ini terjadi dalam tiga keadaan berikut:
> Pertama, ketika istri sedang haidh, tanpa ada ganti rugi darinya atau permintaanya.
> Kedua, ketika istri sedang suci dan suami menyetubuhinya dan belum jelas apakah ia hamil atau tidak.
> Ketiga, jika suami memiliki beberapa orang istri. Suami melakukan pembagian (giliran hari) untuk mereka. Lantas, ia menceraikan salah satunya sebelum memenuhi bagiannya.
4. Sunah, yaitu ketika seorang istri tidak bisa menjaga diri. Atau, suami istri atau salah satunya takut tidak bisa menegakkan hukum Allah. Wallahu a’lam.
Sebagai penutup, kami nasihatkan kepada setiap muslim untuk bertakwa kepada Allah, pertama terhadap dirinya sendiri, kemudian terhadap keluarganya, serta selalu menyadari setiap perbuatan yang ingin ia lakukan terlebih yang berkaitan dengan talak. Hendaklah berhati-hati dalam urusan mentalak serta mengucapkan kata talak karena hal itu merupakan perkara yang berbahaya. Jangan sampai terburu-buru dalam masalah itu. Bersabarlah, lihatlah berbagai akibat dari suatu perkara sebelum menyesal