Apa saja syarat nikah sirih yang harus dipenuhi sebelum menghubungi penghulu? Berikut kami jelaskan dengan rinci.
Jika anda ingin menjalani pernikahan sesuai syariat Islam karena terkendala untuk menikah resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) dan tengah mencari tahu apa saja syarat nikah siri yang harus dipenuhi.
Sebelum menghubungi penghulu atau wali hakim nikah siri, berikut adalah penjelasan mengenai hal tersebut.
Apabila dikaji dari sisi bahasa, siri memiliki makna rahasia. Yang mana nikah siri berarti nikah rahasia.
Secara istilah, nikah siri adalah nikah secara sembunyi-bunyi, tidak dicatat di Kantor Urusan Agama dan terkadang tidak disertai wali sahnya.
Nikah siri atau yang diartikan sebagai pernikahan secara rahasia sebenarnya dilarang oleh islam karena islam melarang seorang wanita untuk menikah tanpa sepengetahuan walinya.
Hal ini didasarkan pada hadist nabi yang disampaikan oleh Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.”
Hadist tersebut diperkuat dengan hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”.
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”.
Berdasarkan hadits-hadits di atas maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan yang bersifat batil.
Pernikahan siri termasuk perbuatan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia.
Hanya saja, belum ada ketentuan syariat yang jelas tentang bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali.
Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dan pelakunya boleh dihukum.
Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
Sedangkan apabila yang dimaksud dengan nikah siri adalah nikah yang tidak bersifat rahasia tetapi tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil hukumnya sah dalam islam.
Hukum pernikahan sejenis ini sifatnya mubah dan pelaku tidak wajib dijatuhi hukuman ataupun sanksi.
Pernikahan yang memenuhi rukun seperti adanya wali, dua orang saksi dan ijab kabuil dan memenuhi syarat-syarat akad nikah adalah sah secara agama islam dan bukan merupakan perbuatan maksiat.
Perlu diketahui bahwa nikah siri bukanlah adat umat islam.
Di jaman Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau tidak pernah mencontohkan nikah siri.
Sebaliknya Beliau justru menganjurkan agar pernikahan dibuat perayaannya atau walimah dengan memotong seekor kambing.
Jikalau keluarga memang tidak mampu, maka tidak apa-apa menghidangkan makanan seadanya (misalnya susu atau kurma).
Yang terpenting tetap dilakukan walimah dengan tujuan memperkenalkan kedua mempelai kepada masyarakat.
Tujuan pernikahan dalam Islam yang sah menurut agama dan hukum Indonesia merupakan pernikahan yang tercatat di KUA.
Serta sudah melengkapi seluruh syarat seperti wali, ijab, saksi dan juga semua syarat mengenai wali yang bagaimana, saksi yang seperti apa dan juga tidak diperbolehkan memakai wali nikah sembarangan sebab tidak semua orang mempunyai hak untuk menikahkan.
Seorang wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri dan yang memiliki hak untuk menikahkan perempuan tersebut adalah syarat wali nikah yang sah seperti bapak kandung.
Nikah siri dikatakan sesuai dengan syariat Islam, namun hukumnya bisa menjadi haram apabila mendatangkan mudharat atau kerugian pada salah satu pihak.
Sebenarnya nikah siri,nikah agama, nikah islami, nikah syar’i, sah sepanjang syarat dan rukun nikah terpenuhi yaitu :
Bagaimana syarat untuk menikah siri ?
Syarat untuk menikah siri adalah sebagai berikut :
1. Calon mempelai pria maupun wanita sama-sama beragama Islam atau bersedia masuk Islam, mengucap syahadat sebelum menikah (akan diberikan surat keterangan masuk Islam)
2. Calon mempelai wanita berstatus janda dan sudah melewati masa idah. Akan lebih baik jika memperlihatkan surat cerai.
Tetapi jika tidak bisa memperlihatkan surat cerai akibat ditinggal oleh suami atau karena satu atau lain hal, wali hakim akan meminta pengakuan lisan dari calon mempelai wanita akan statusnya.
Pengakuan secara lisan ini bersifat mengikat, disaksikan oleh para saksi serta calon mempelai pria, serta menjadi tanggung jawab dari calon mempelai wanita kelak di yaumil kiamah atas kebenarannya.
3. Calon mempelai wanita berstatus gadis, berusia minimal 40 (empat puluh) tahun dan tidak tinggal serumah, terpisah memenuhi hukum syariah dari wali nasab-nya dan atau memiliki alasan kuat untuk dinikahkan oleh wali hakim.
4. Calon mempelai pria belum memiliki 4 istri, sudah memiliki penghasilan (bekerja / usaha), berusia minimal 26 tahun.
5. Kedua calon mempelai bisa menunjukan kartu identitas yang masih berlaku (KTP / Paspor) dan dengan foto yang jelas sebelum ijab qobul untuk memastikan bahwa pasangan yang akan dinikahkan adalah benar sesuai identitasnya
6. Membawa dan memperlihatkan mahar yang diberikan saat ijab qobul.
7. Khusus bagi wanita yang akan dinikah siri untuk menjadi istri kedua, ketiga atau keempat, kami menasehatkan untuk meminta mahar yang layak buat hidup anda.
Jangan sekedar menyerahkan diri untuk dinikahi melainkan pertimbangkan juga faktor penunjang hidup anda untuk menjamin kelancaran, ketenangan dan kelangsungan ibadah anda kepada Allah SWT.
Di antara perkara syar’i yang menghalangi keabsahan suatu pernikahan misalnya si wanita yang akan dinikahi termasuk orang yang haram dinikahi oleh si lelaki karena adanya hubungan nasab atau hubungan penyusuan.
Atau, si wanita sedang dalam masa iddahnya dan selainnya.
Penghalang lainnya misalnya si lelaki adalah orang kafir, sementara wanita yang akan dinikahinya seorang muslimah.
Yaitu lafadz yang diucapkan oleh wali atau yang menggantikan posisi wali.
Misalnya dengan si wali mengatakan, “Zawwajtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan si Fulanah”) atau “Ankahtuka Fulanah” (“Aku nikahkan engkau dengan Fulanah”).
Yaitu lafadz yang diucapkan oleh suami atau yang mewakilinya, dengan menyatakan, “Qabiltu Hadzan Nikah” atau “Qabiltu Hadzat Tazwij” (“Aku terima pernikahan ini”) atau “Qabiltuha.”
Dalam ijab dan qabul dipakai lafadz inkah dan tazwij karena dua lafadz ini yang datang dalam Al-Qur`an.
Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
فَلَمَّا قَضَى زَيْدٌ مِنْهَا وَطَرًا زَوَّجْنَاكَهَا
“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluannya terhadap istrinya (menceraikannya), zawwajnakaha1 (Kami nikahkan engkau dengan Zainab yang telah diceraikan Zaid).” (Al-Ahzab: 37)
Wali adalah pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah atau orang yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki.
Dalam hadits disebutkan:
إِلاَّ بِوَلِيٍّ لاَ نِكَاحَ
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i)
Bila seorang wanita tidak memiliki wali nasab atau walinya enggan menikahkannya, maka hakim/penguasa memiliki hak perwalian atasnya.
Dengan dalil sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ
“Maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Dawud)
Saksi adalah orang yang menyaksikan sah atau tidaknya suatu pernikahan.
Hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ (رواه الطبراني، وهو في صحيح الجامع
“Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil.” (HR. Al-Khamsah kecuali An-Nasa`i)
maka pernikahan tersebut sah, baik menurut hukum Islam maupun hukum positif (Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan).
Pernikahan siri yang dilaksanakan karena urusan nafsu pun tetap dibenarkan oleh Syariat Islam karena justru dengan menikahlah menyalurkan hawa nafsu dibenarkan.
Dengan menikah maka suami maupun istri sama-sama mempunyai hak harus dipenuhi dan sama-sama punya tanggung jawab dan kewajiban yang harus dipenuhi pula.
Dari hadist-hadist diatas kita dapat menarik kesimpulan bahwa nikah sirih tidak pernah diajarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.
Dengan demikian, tidak ada ajaran nikah siri dalam islam.
Jika melihat dari pendapat ulama, hukum nikah siri masih menuai kontroversi.
Jumhur ulama menolak adanya pernikahan siri dan menganggap nikah siri tidak sah secara agama.
Namun ada juga yang membolehkannya. Nah, berikut ini hukum nikah siri berdasarkan praktek pelaksanaannya.
Nikah siri yang dilakukan tanpa pencatatan di Kantor Urusan Agama (KUA) dianggap sah menurut beberapa ulama.
Pernikahan siri tanpa ke KUA masih dianggap sah, sebab para ulama memandang perbuatan tersebut lebih baik daripada berzina.
Dengan menikah maka zina bisa terhindarkan. Namun demikian, nikah siri tetap tidak dianjurkan karena bisa merugikan pihak perempuan dan anak-anaknya kelak.
Di jaman sekarang ini banyak orang yang melakukan nikah siri tanpa adanya wali nasab dari pihak perempuan.
Hal ini bisa terjadi sebab pernikahan tidak disetujui, sehingga mempelai memutuskan menikah secara diam-diam atau bisa dikatakan kawin lari.
Hukum Kawin Lari dalam Islam dan nikah siri tanpa adanya wali dari pihak perempuan jelas tidak sah secara agama.
Sebab salah satu rukun nikah harus adalah wali. Jika nikah tanpa wali sampai terjadi dan keduanya melakukan hubungan intim setelah menikah maka hukumnya jelas haram.
Dari Aisyah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
“Wanita manapun yang menikah tanpa izin wali, maka nikahnya batal.” (HR. Ahmad, Abu daud, dan baihaqi).
Dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak ada nikah (batal), kecuali dengan wali.” (HR. Abu Daud, tirmidzi, Ibn Majah, Ad-Darimi, Ibn Abi Syaibah, thabrani).
Beberapa ulama juga mengeluarkan pendapatnya berdasarkan ajaran-ajaran Islami yang mengacu pada boleh atau tidaknya melakukan nikah siri, diantaranya:
Mayoritas ulama ahli Fiqh pernikahan berpendapat bahwa hukum nikah siri tidaklah sah.
Sebab perbuatan nikah siri tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Dan risikonya bisa menimbulkan fitnah di masyarakat sebab pernikahan tersebut dilakukan secara diam-diam.
Menurut pendapat mahzab Syafi’i, hukum pernikahan nikah siri tidak sah.
Selain secara fiqh, terminologinya dianggap tidak sah, nikah siri juga disinyalir akan mampu mengundang fitnah baik dari sisi laki-laki maupun perempuan.
Menurut mahzab Maliki, nikah siri didefinisikan sebagai pernikahan atas permintaan calon suami, dimana para saksi harus merahasiakannya dari keluarganya dan orang lain.
Menurut mahzab Maliki, nikah siri hukumnya tidak sah. Pernikahan ini bisa dibatalkan.
Namun apabila keduanya telah melakukan hubungan badan maka pelaku bisa memperoleh hukuman rajam (had) dengan diakui empat orang saksi.
Sebagaimana mahzab Syafi’i dan Maliki, mahzab Hanafi juga tidak membolehkan pernikahan siri atau nikah sembunyi-sembuyi tanpa wali.
Mahzab Hambali memiliki pendapat berbeda dari ketiga mahzab lainnya.
Ulama dari mahzab hambali berpendapat bahwa nikah siri yang dilakukan sesuai syariat islam (memenuhi rukun nikah) maka sah untuk dilakukan.
Tapi hukumnya makruh, yakni jika dikerjakan tidak apa-apa dan bila ditinggalkan mendapat pahala.
Pada jaman kepemimpinan khalifat Uman bin Al-Khattab, beliau pernah mengancam pasangan yang menikah siri dengan hukuman cambuk.
Apabila dikaji dari hukum negara, pernikahan siri juga tidak diperbolehkan.
Warga Indonesia yang melakukan nikah siri atau nikah diam-diam tanpa dihadapan pejabat negara atau lembaga resmi (misalnya KUA untuk islam dan catatan sipil untuk non muslim)
Maka mereka akan mendapatkan hukuman pidana berupa dipenjara dan membayar denda.
Hal ini telah dijelaskan dalam undang-undang negara, yang terdiri dari:
Undang-Undang No.1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat (2)
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku.”
Rancangan Undang-Undang Pasal 143
“Setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak dihadapan Pejabat Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukuman kurungan paling lama 6 (enam) bulan.”
Rancangan Undang-Undang Pasal 144
“Setiap orang yang melakukan perkawinan mutah (nikah kontrak) sebagaimana dimaksud Pasal 39 dihukum dengan penjara selama-lamanya 3 (tiga tahun, dan perkawinannya batal karena hukum.”
Setelah membahas tentang hukum nikah siri dalam islam, sekarang kita akan mengkaji tentang dampak negatif dari pernikahan siri.
Beberapa orang berpendapat bahwa nikah siri itu lebih baik daripada berzina.
Alasan ini dijadikan kekuatan untuk melegalkan pernikahan siri.
Ya, hal itu memang benar. Nikah siri memang lebih baik daripada pacaran atau berzina.
Namun nikah siri juga harus memenuhi syarat dan rukun nikah secara agama.
Selain itu, nikah siri tidak pernah diajarkan Rasul. Dan ternyata nikah siri juga sangat merugikan kedua belah pihak. Khususnya pihak perempuan.
Berikut beberapa dampak negatif dari pernikahan siri:
Nikah siri bisa menimbulkan fitnah atau ghibah di masyarakat. Tiba-tiba pergi atau jalan berduaan, dimana masyarakat tidak pernah mengetahui tentang pernikahan kedua orang tersebut. Hal ini tentu dapat menyebabkan munculnya masalah.
Pernikahan yang dilakukan secara diam-diam tanpa ke KUA tidak mendapatkan perlindungan secara hukum.
Nantinya bila terjadi sesuatu yang merugikan salah satu pihak, maka ia tidak bisa melakukan tindakan penuntutan.
Misalnya saja, si suami tidak mau menafkahi maka istri tidak bisa berbuat apa-apa.
Pernikahan siri merugikan pihak anak. Seorang anak yang lahir dari pernikahan siri maka statusnya tidak jelas di mata hukum.
Sebagaimana dijelaskan dalam UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, Pasal 42 Ayat 1: Anak yang sah adalah anak-anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Hal ini merujuk bahwa status anak memiliki hubungan darah dengan kedua orangtuanya.
Dalam beberapa kasus tentang hak anak hasil nikah siri terdapat kesusahan dalam pengurusan hak hukum seperti nafkah, warisan, maupun akta kelahiran.
Mengurus administrasi negara juga akan kesulitan. Misalnya Kartu Keluarga (KK), KTP, Akta Kelahiran Anak, dan sebagainya.
Demikianlah penjelasan tentang hukum nikah siri dalam islam.
Pada intinya, nikah siri sangat tidak direkomendasikan sebab pernikahan siri itu merugikan dan bukanlah ajaran agama islam.
Untuk membangun rumah tangga yang sakinah sebaiknya pernikahan dilakukan secara islami, diawali dengan ta’aruf atau shalat istikharah.
Kemudian melakukan syarat- syarat akad nikah sesuai syariat agama.