Kebanyakan manusia meninggal tak jauh dari bulan ataupun hari kelahiran (foto: islamudina.com)
Tidak semua tapi kebanyakan manusia wafat tidak jauh dari bulan/tanggal kelahirannya.
Ini bukan sebuah mitos, kalau tak percaya silahkan tanya sama orang yang telah berhasil menjual ribuan batu nisan.
Bahkan, ilmuwan mengklaim bahwa semua orang akan cenderung meninggal dunia pada hari ulang tahunnya daripada di hari-hari lainnya!
Pengetahuan langka yang jarang diketahui. Meski tidak semua, tapi kebanyakan telur burung menetas di hari Jumat dan pergi meninggalkan sarang juga dihari Jumat.
Begitu juga manusia, kebanyakan meninggal di Bulan bahkan tanggal kelahiran.
Dilansir dari Telegraph, peneliti yang mempelajari lebih dari dua juta orang selama 40 tahun menemukan adanya peningkatan angka kematian pada hari ulang tahun.
Selain itu, rata-rata orang yang berusia 60 ke atas memiliki kecenderungan 14 persen lebih besar untuk meninggal dunia di hari jadinya.
18,6 persen penyebab kematian di hari ulang tahun adalah serangan jantung, namun hal ini lebih banyak terjadi pada pria, sedangkan kematian akibat stroke mencapai 21,5 persen dan mayoritas terjadi pada wanita. Dan sisanya karena penyebab lainnya.
"Hari ulang tahun justru seringkali berakhir mematikan, berbeda dengan yang diharapkan, risiko kematian di hari ulang tahu juga meningkat seiring pertambahan usia," ujar Dr. Vladeta Ajdacic-Gross dari University of Zurich, seperti dikutip dari Telegraph.
Renungan Kematian di Hari Kelahiran, Bukan Malah Hura-Hura
Semoga tulisan ini menjadi alarm bagi kita semua bahwa kehidupan di dunia ini ada batas waktunya.
Maka angan-angan yang panjang akan dunia, harus segera dipangkas dengan ingatan tentang kematian, begitupun nafas yang masih diizinkan Allah Ta’ala untuk berhembus hari ini.
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Setiap jiwa pasti akan merasakan mati …” (QS. Ali Imran:185)
Kematian, sebuah kepastian yang pasti akan menghampiri kita diantara begitu banyak ketidakpastian dalam hidup ini. Namun sayangnya, kebanyakan kita seringkali tersibukkan menyiapkan segala yang belum pasti dibanding menyiapkan diri untuk sebuah kepastian bernama kematian.
Seperti halnya kebanyakan kita hari ini. Hari ini, mungkin sebagian kita sedang memutar kembali ingatan bahwa tepat sekian tahun yang lalu adalah hari dimana Allah Ta’ala menakdirkannya hadir ke dunia setelah sekitar sembilan bulan berselimut kasih sayang dalam perut Ibu.
Ada yang sibuk menyiapkan pakaian untuk perayaan ulang tahunnya, padahal mungkin saja di suatu tempat, sebuah mesin tenun sedang memintal benang-benang kain kafan, barangkali itu untuknya.
فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً ۖ وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
“… maka apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (QS. an-Nahl: 61)
Mungkin ada pula yang tertawa penuh kebahagiaan menyambut usia baru, padahal mungkin saja tak lama lagi akan ada tangisan penuh kesedihan dari keluarganya yang mengantar jenazahnya ke rumah terakhir.
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُّشَيَّدَةٍ
“Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kokoh …” (QS. an-Nisa`: 78)
Hari ini, mungkin sebagian yang lain sedang sibuk menghitung jumlah usia yang diberikan Allah Ta’ala untuknya, lalu berhura-hura dengan dalih bentuk syukur, padahal bentuk rasa syukur itu bukan begitu.
Al-Imam Ibnu Al-Qayyim rahimahullah berkata, syukur itu tidak akan terwujud kecuali jika dibangun di atas lima perkara.
Yaitu dengan merendahkan dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mencintai-Nya, mengakui bahwa nikmat tersebut merupakan karunia dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan lisannya, dan tidak menggunakan nikmat tersebut untuk perkara yang dibenci oleh Allah.
Sebagian yang lain mungkin tengah dihadang gelisah menghadapi pertanyaan “kapan” yang sering bertamu dari semua sisi, kapan menikah?, kapan punya anak?, kapan punya rumah?, kapan begini dan begitu.
Usia yang menanjak seharusnya tidak membuat sabar dan baik sangka kita menurun, sebab akan selalu ada hikmah yang bisa kita petik di setiap perubahan usia kita.
Hikmah yang mengajak kita untuk menjadi lebih baik, lebih sabar, lebih bersyukur, lebih berbaiksangka, lebih mengingat kematian dan lebih menambah keimanan kita kepada-Nya sebelum kita benar-benar beranjak pergi meninggalkan dunia fana ini.
"Karena jika nyawa telah sampai di kerongkongan maka tertutuplah semua kesempatan itu."
Jika saja kita lebih sering merenungi segala nikmat-Nya, yang tak kan mampu kita hitung, maka tak ada lagi keluh yang menghiasi hati dan lisan kita.
Tengok saja setiap nikmat yang melekat pada raga kita, mata yang masih bisa melihat, telinga yang masih mendengar, udara yang masih bisa kita hirup, jantung yang berdetak, mulut yang masih mengeluarkan suara.
Bukankah semua itu nikmat yang tak ternilai?? Jika sedikit saja nikmat kesehatan itu Allah ambil, maka kita hanya bisa terbaring tak berdaya, hanya mengharap bantuan orang lain.
Mungkin saat itu kita baru akan mengingat-Nya, lalu tak henti memohon kesembuhan dari-Nya.
Namun saat nikmat kesehatan kembali hadir, kebanyakan kita lebih sering lupa mengingat-Nya, lupa tentang kematian, lupa jika hidup di dunia ada batas waktunya.
Kegelisahan atas pertanyaan “kapan” semestinya bisa diredam dengan keyakinan akan iman kepada taqdir-Nya.
Semestinya kita lebih gelisah jika di sekian usia yang telah Allah Ta’ala berikan, kita belum menyadari untuk apa kita diciptakan, kita belum juga introspeksi diri apa saja yang telah kita persiapkan untuk bekal kehidupan yang kekal nanti, seperti dikutip dari kabarmakkah.com.
Sungguh ada yang lebih penting dari mengingat hari kelahiran, yaitu mengingat kematian.
“Perbanyaklah kalian mengingat pemutus kelezatan (kematian).” (HR. At-Tirmidzi no. 2307, An-Nasa`i no. 1824, Ibnu Majah no. 4258)
Bukankah saat gigi kita dicabut ada rasa sakit yang mendera? Lalu sudahkah kita merenungi bagaimana keadaan kita ketika nyawa kita dicabut dari jasadnya?
وَلَوْ تَرَىٰ إِذِ الظَّالِمُونَ فِي غَمَرَاتِ الْمَوْتِ وَالْمَلَائِكَةُ بَاسِطُو أَيْدِيهِمْ أَخْرِجُوا أَنفُسَكُمُ ۖ الْيَوْمَ تُجْزَوْنَ عَذَابَ الْهُونِ بِمَا كُنتُمْ تَقُولُونَ عَلَى اللَّهِ غَيْرَ الْحَقِّ وَكُنتُمْ عَنْ آيَاتِهِ تَسْتَكْبِرُونَ
“… (alangkah ngerinya) sekiranya engkau melihat pada waktu orang-orang dzalim (berada) dalam kesakitan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), ‘Keluarkanlah nyawamu.’ Pada hari ini kamu akan dibalas dengan azab yang sangat menghinakan, karena kamu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (QS. al-An’am: 93)
Bukankah ujian lisan jauh lebih menegangkan dari ujian tulisan? Lalu sudahkah kita meresapi bagaimana keadaan kita ketika menjawab pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir di alam kubur? Mampukah lisan kita menjawabnya dengan benar?
يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَيُضِلُّ اللَّهُ الظَّالِمِينَ ۚ وَيَفْعَلُ اللَّهُ مَا يَشَاءُ
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh (dalam kehidupan) di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang dzalim dan Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Bukankah nilai nol di rapor kita selama menuntut ilmu itu menyedihkan? Lalu pernahkah kita menyadari bagaimana sedihnya kita jika amalan kita selama ini tak bernilai apa-apa di hadapan-Nya
وَقَدِمْنَا إِلَىٰ مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا
“Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (QS. al-Furqon: 23)
Lalu bukankah kita seringkali diingatkan tentang itu semua? Tapi lagi lagi kata “lupa” lebih sering hinggap di mata dan hati kita hingga lebih rela menukar bekal untuk hari yang kekal dengan keindahan semu yang tak lebih berharga dari sehelai sayap nyamuk.
Maka hari ini dan hari-hari yang akan datang persiapkan bekal untuk perjalanan menuju akhirat, hapuslah keinginan merayakan hari kelahiran dengan segala sesuatu yang sia-sia bahkan dapat menimbulkan dosa.
Hapuslah angan-angan tentang dunia yang jauh terbentang dan melenakan diri, karena barangkali Malaikat Maut sudah begitu dekat tuk menjemput kita.
فَأَمَّا مَن طَغَىٰ () وَآثَرَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا () فَإِنَّ الْجَحِيمَ هِيَ الْمَأْوَىٰ () وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ () فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
“Maka adapun orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sungguh, nerakalah tempat tinggalnya. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. an-Nazi’at: 37—42)
Mari lebih serius mengingat mati, sebagaimana orang-orang shalih terdahulu yang bergetar hati mereka ketika mengingat kematian.
Yazid Ar-Raqasyi rahimahullah berkata kepada dirinya sendiri,
“Celaka engkau wahai Yazid! Siapa gerangan yang akan menunaikan shalat untukmu setelah kematianmu? Siapakah yang mempuasakanmu setelah mati? Siapakah yang akan memintakan keridhaan Rabbmu untukmu setelah engkau mati?”
Kemudian ia berkata, “Wahai sekalian manusia, tidakkah kalian menangis dan meratapi diri-diri kalian dalam hidup kalian yang masih tersisa? Duhai orang yang kematian mencarinya, yang kuburan akan menjadi rumahnya, yang tanah akan menjadi permadaninya dan yang ulat-ulat akan menjadi temannya… dalam keadaan ia menanti dibangkitkan pada hari kengerian yang besar. Bagaimanakah keadaan orang ini?” Kemudian Yazid menangis hingga jatuh pingsan. (at-Tadzkirah, hal. 8-9)
Hadirkan hati saat mengingat kematian agar menghancurkan angan-angan akan dunia. Al-Imam Al-Qurthubi berkata,
“Ad-Daqqaq berkata, ‘Siapa yang banyak mengingat mati, ia akan dimuliakan dengan tiga perkara: bersegera untuk bertaubat, hati merasa cukup, dan giat/semangat dalam beribadah.
Sebaliknya, siapa yang melupakan mati ia akan dihukum dengan tiga perkara: menunda taubat, tidak ridha dengan perasaan cukup dan malas dalam beribadah.
Maka berpikirlah, wahai orang yang tertipu, yang merasa tidak akan dijemput kematian, tidak akan merasa sekaratnya, kepayahan, dan kepahitannya.
Cukuplah kematian sebagai pengetuk hati, membuat mata menangis, memupus kelezatan dan menuntaskan angan-angan.
Apakah engkau, wahai anak Adam, mau memikirkan dan membayangkan datangnya hari kematianmu dan perpindahanmu dari tempat hidupmu yang sekarang?” (at-Tadzkirah, hal. 9)
Yaa Allah, berikanlah taufik kepada kami untuk senantiasa dalam ketaatan kepada-Mu di sisa usia kami dan berikanlah keistiqamahan diatas jalan al haq hingga Malaikat Maut menjemput kami.
Yaa Hayyu yaa Qoyyum
Jadikanlah kami hamba-Mu yang selalu mengingat kematian agar kami tak tertipu dengan kehidupan dunia yang fana ini.
Yaa ar-hamar rahiimin
Wafatkanlah kami dalam keadaan Islam dan diatas sunnah.
Aamiin… yaa rabbal ‘alamin