Ilustrasi - Image from islam.nu.or.id
Merasa bersalah jika suami tak tahu...
Tapi kalau diceritain pasti akan merusak rumah tangga, lalu bagaimana?
Terkadang bimbang apakah perlu menceritakan aib masa lalu pada calon suami atau sudah menjadi suami jika tak menceritakannya, kadang ada rasa bersalah yang berkecamuk, tapi kalau diceritakan takut rumah tangga hancur, Bagaimana sikap istri seharusnya?
Sebelum mengetahui apakah masa lalu yang penuh maksiat perlu diceritakan ke calon suami atau tidak. Alangkah baiknya perlu mengetahui dulu tentang tujuan nikah.
Para ‘Ulama menjelaskan bahwa diantara tujuan utama Nikah adalah Mut’ah (kenikmatan), Khidmah (pelayanan), dan Injab (tidak mandul).
Baca juga : Suami Hobi Bentak Istri di Tempat Umum, Bagaimana?
Oleh sebab itu, jika seorang istri mengetahui bahwa suaminya mandul. Begitupun sebaliknya, suami baru mengetahui bahwa istrinya mandul.
Padahal kondisi tersebut sudah diketahui sebelumnya, namun tidak disampaikan oleh pasangan. Maka hal ini termasuk aib yang berpengaruh.
Atau suami baru tahu ternyata istrinya bisu dan tuli. Dan istri tidak mengungkapkan sebelumnya, maka hal ini juga termasuk aib yang berpengaruh.
Kedua aib seperti contoh diatas, perlu diceritakan. Sebab keduanya bisa menghilangkan salah satu tujuan menikah.
Pasangan yang menyembunyikan kemandulannya telah sengaja menghilangkan salah satu tujuan menikah yakni injab (tidak mandul).
Sedangkan begitu pula pasangan yang menyembunyikan keadaan bisu dan tulinya pada pasangannya telah menghilangkan dua tujuan nikah, yakni mut’ah (kenikmatan) dan khidmah (pelayanan).
Tapi kalau didapati kekurangan pasangan adalah bau mulut, atau bau badan, ini bukan termasuk aib yang berpengaruh, serta bisa diatasi.
Sama halnya dengan viriginitas atau keperawanan, sebab ia tak menghilangkan mut'ah (kenikmatan) Syeikh Sholeh Al-Munajid menyampaikan:
أما بخصوص كتمان الزوجة وأهلها لذهاب بكارتها : فهو غير مخالف للشرع ؛ لأن الله تعالى يحب السِّتر ، ويجازي خيراً عليه ، ولا يلزم الزوجة أن تخبر زوجها بذهاب بكارتها إن كانت قد فقدتها بوثبة أو حيضة شديدة أو بزنا تابت منه .
“Terkhusus bagi seorang istri dan keluarga yang menutupi sebab hilangnya keperawanan, hal ini tidak menyalahi syari’at, karena Allah Ta’ala lebih menyukai orang yang merahasiakan aib dan akan memberikan balasan bagi siapa saja yang telah menutupi aib. Seorang istri tidak harus memberitahukan suaminya tentang hilangnya keperawanannya meskipun lenyapnya keperawanan tersebut karena terjatuh, atau karena haid yang berat atau karena perbuatan zina pernah ia alami dan telah bertaubat.”
Ulama Al-lajnah Ad-daaimah pernah ditanya tentang seorang muslimah yang dimasa kecilnya pernah mengalami kecelakaan hingga mengakibatkan selaput dara keperawanannya.
Dia pun telah melangsungkan akad nikah dengan suaminya akan tetapi belum melakukan hubungan suami-istri.
Manakah yang lebih utama, apakah dia harus memberitahukan suaminya kejadian tersebut sebelum berhubungan intim ataukah lebih baik dia merahasiakannya?
Dan bagi muslimah yang belum melangsungkan pernikahan, apakah dia tetap merahasiakan perkara tersebut karena khawatir tersebar?
Apakah perlu memberitahukan kepada lelaki yang ingin menikahinya? Para Ulama menjawab;
Para Ulama menjawab;
لا مانع شرعا من الكتمان ، ثم إذا سألها بعد الدخول أخبرته بالحقيقة . الشيخ عبد العزيز بن باز ، الشيخ عبد الرزاق عفيفي فتاوى اللجنة الدائمة ( 19 / 5 )
Secara syari’at tidaklah berdosa apabila pihak wanita merahasiakan hal tersebut. Namun, ketika suaminya menanyakan hal tersebut setelah berhubungan badan maka hendaklah dia menyampaikan yang sebenarnya. (Syekh Abdul Aziz Bin Baaz dan Syekh Abdur Razzaq ‘Afifi, Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 5/19)
Oleh sebab itu, perempuan boleh merahasiakan masa lalunya. Termasuk menyembunyikan fakta kemaksiatan yang pernah dilakukan sebelumnya. Sebab hal ini tidak berpengaruh terhadap tujuan menikah.
Dan Allah lebih menyukai orang Semoga Allah mudahkan pernikahan kita semua dan mencurahkan keberkahan didalamnya.
Sedangkan bagi suami atau istri hendaknya tidak menanyakan masa lalu yang buruk dari pasangannya. Sebab hal tersebut tidak ada faedahnya untuk keluarganya.
Alangkah baiknya pasangan menerima kondisi pasangannya, serta berkomitmen bersama untuk berikhtiar menjadi lebih baik.
View this post on InstagramA post shared by Nasehat Pernikahan (@nasehat.pernikahan) on Jan 29, 2020 at 7:26am PST
Ada hadist riwayat Imam Muslim, diriwayatkan Abdullah bin Masud, bahwa seorang lelaki menemui Rasulullah saw dan berkata,
"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku sudah bermesra-mesraan dengan seorang perempuan di luar kota, dan sesungguhnya aku telah menikmatinya walaupun tidak sampai berhubungan jauh dengannya (tidak berhubungan suami istri). Sekarang aku di sini, maka hukumlah diriku sekehendakmu."
Lalu, Umar bin Khattab berkata kepadanya, "Sesungguhnya Allah akan menutupimu, jika saja engkau menutupi dirimu sendiri."
Ibnu Masud berkata, "Akan tetapi Nabi saw tidak membalas ucapannya sedikit pun."
Orang itu pun berdiri kemudian pergi. Maka Nabi saw menyuruh seseorang untuk menyusulnya, dan membacakan kepadanya surah Hud [11] ayat 114, yang berarti.
"Dan dirikanlah salat pada kedua tepi siang dan pada bagian dari permulaan dari pada malam. Sesungguhnya kebaikan menghapuskan perbuatan buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang mengingat Allah."
Seseorang yang hadir bertanya, "Wahai Nabi Allah, apakah ini khusus baginya?"
Nabi saw menjawab, "Tidak, bahkan untuk manusia seluruhnya."
Dari kisah diatas bisa menjadi pelajaran bagi kita. Jika kita telah melakukan perbuatan maksiat ataupun dosa, dan tidak ada yang tahu. Hendaklah kita tetap menutupinya, sebab Allah telah menutup aib tersebut.
Namun meski dalam ayat tersebut, disebutkan bahwa kebaikan menghapus perbuatan buruk. Semestinya tidak menjadi pembenaran atas perbuatan buruk kita.
Sebab kita tidak akan tahu, apakah setelah kita berbuat dosa, kita masih diberikan usia sehingga bisa bertobat dan berbuat kebaikan.
Oleh sebab itu, tetaplah terus berusaha untuk menghindari berbuat buruk termasuk perbuatan maksiat.
Walāhu a’lam.