Berteriak Sama Buruknya dengan Memukul Anak, Tak Akan Hilang di Ingatan

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 03 Jun 2020

Ilustrasi - Image from www.klikriau.com

Begini akibatnya jika sering teriaki anak...

Ayah dan Bunda pernah berteriak pada anak. Jika pernah atau bahkan sering maka sebaiknya luangkan waktu untuk baca dan bagikan artikel ini. Simak 5 cara jitu agar tak lagi berteriak pada anak. 

Memukul anak memang bukan cara memarahi atau mendisiplinkan anak yang tepat karena justru akan berdampak negatif pada mental anak. 

Kebanyakan orangtua pun sudah meninggalkan cara purba ini. Namun, bagaimana dengan berteriak pada anak saat mereka tidak mendengarkan permintaan orang tua. 

Sama halnya dengan memukul, berteriak pada anak ternyata sama buruknya.

American Academy of Paediatrics mengatakan, berteriak dapat meningkatkan hormon stres anak-anak dan bisa menyebabkan perubahan di otak kecil mereka. 

Lagi pula, berteriak tak selalu berhasil untuk membuat anak lebih disiplin bukan? 

Lalu bagaimana cara kita selaku orangtua untuk menahan diri agar tidak berteriak, terutama jika sudah jadi kebiasaan sehari-hari?

Dan apa yang dapat dilakukan agar anak benar-benar mendengarkan apa yang kita ucapkan? 

5 Tips Agar Berhenti Meneriaki Anak 

1. Ketahui Perbedaan Berteriak untuk Melindungi dan Memarahi 

Berteriak ada dua macam, yakni bertujuan untuk melindungi dan memarahi anak. 

"Kemarahan itu sendiri adalah emosi yang dirancang untuk mengubah perilaku," kata Dr. Joseph Shrand, seorang psikiater dari Riverside Community Care di Massachusetts, AS. 

"Terkadang kita berteriak untuk melindungi anak-anak, itu adalah jenis teriakan yang berbeda. Itu alarm. Anda meninggikan suara untuk memberi tahu anak Anda bahwa ada bahaya.” 

“Contoh, jika Anda meneriaki anak karena dia akan menyeberang jalan tanpa melihat atau dia akan menyentuh sesuatu yang panas. Tugas orangtua adalah menjaga keamanan anak. Terkadang berteriak membantu Anda melakukan itu,” lanjutnya.

Jadi berteriak untyk melindungi anak tidak masalah, karena hal itu merupakan alamiah sebagai upaya agar lebih didengar oleh anak. Dan anak bisa segera menghindari adanya bahaya di sekitarnya.

2. Jika ingin berteriak marah, ketuk dahi Anda

Memang solusi ini terdengar aneh dan tak masuk akal, namun perlu untuk dicoba. 

"Kemarahan berasal dari sistem limbik, yang merupakan bagian kuno, bagian emosional dari otak," kata Shrand. 

Bagian otak yang lebih berpikir dan rasional adalah korteks prefrontal yang membantu pengambilan keputusan serta mengatur bagaimana kita berperilaku secara sosial. 

“Kebetulan bagian tersebut terletak tepat di belakang dahi Anda,” ucap Shrand. 

Untuk menghilangkan keinginan berteriak marah, dia menyarankan untuk meletakkan tangan di dahi. Cukup 1 hingga 2 detik kemudian tarik napas dalam-dalam ketika merasakan dorongan untuk berteriak. 

“Tanyakan pada dirimu sendiri,‘Apa yang sebenarnya ingin aku lakukan dan lihat selanjutnya? Kenapa saya marah?’,” lanjutnya. 

Ketika sadar, maka orang tua mampu sedikit mengerem perilakunya atau bahkan membatalkan teriakannya. Dan mulai merancang komunikasi yang lebih baik untuk menegur anak. 

3. Berkokok seperti ayam 

Carla Naumburg, penulis "How To Stop Losing Your Shit With Your Kids" memilih cara ini sebagai pengganti berteriak: berhenti dan lakukan apa pun yang lain. 

Misalnya ambil napas, tetap diam, melompat-lompat, atau letakkan tangan Anda rata di atas meja untuk mencoba dan merasa membumi. 

"Saya pernah berkokok seperti ayam,” kata Naumburg kepada HuffPost, 

"karena membantu mengeluarkan energi dan karena sangat konyol sehingga membuat kita semua tersentak." 

Pilihan lain? Jika Anda merasa harus berteriak, paling tidak jangan sampai mengatakan hal-hal buruk yang menyakitkan hati anak. 

"Anda bisa berteriak tanpa mengatakan sesuatu yang buruk," kata Jennifer Kolari, seorang terapis anak dan keluarga serta penulis "Connected Parenting: Cara Meningkatkan Anak yang Hebat".

4. Berbicara seperti seorang guru 

Tidak berteriak bukan berarti membiarkan anak-anak dari perilaku yang tidak Bunda suka.

Bunda tetap perlu berbicara tentang perilakunya, tetapi dengan tenang dan tetap tegas. 

Kolari sering menyamakannya dengan kejadian di pesawat saat turbulensi. 

Jika pilot berjalan berkeliling untuk bertanya apakah semua orang mengenakan sabuk pengaman dengan suara yang sangat manis dan lembut, kamu mungkin bingung tentang apa yang sedang terjadi dan apa yang pilot ini inginkan darimu.

Sebaliknya, ketika pilot berteriak, kamu mungkin akan panik dan gelisah. Jika pilot berbicara dengan tenang tetapi tegas dan menjelaskan perlunya mengenakan sabuk pengaman sekarang, pasti kamu akan melakukannya. 

Begitu pula jika berteriak pada anak, mereka akan lebih fokus pada kemarahanmu daripada pesan yang Anda coba sampaikan. 

“Temukan suara berwibawa itu – suara yang akan digunakan guru di kelas. Ini jauh lebih efektif."

5. Jika anak tetap tak disiplin, bukan berarti gagal

Hal itu pertanda bahwa Bunda harus tetap menjalankan tanggung jawab dan kewajiban mendidik anak. 

“Dalam banyak hal, peran orangtua adalah bertindak seperti lobus frontal anak mereka yang tidak berkembang sepenuhnya sampai berusia 20 tahunan. Anak perlu mendengar beberapa hal berulang-ulang sampai mereka memahaminya,” kata Kolari. 

Jadi, pengulangan tidak selalu pertanda gagal atau anak tidak disiplin. 

Hal ini menunjukkan, Bunda melakukan pekerjaan sebagai orangtua dan mengulang pelajaran yang perlu anak-anak dengar saat mereka sedang tumbuh dan berkembang. 

Namun, sesekali bereriak pada anak pun diperlukan. "Jika Anda membesarkan anak yang tidak pernah dimarahi, Anda tetap akan mengacaukannya," Kolari tertawa. 

Sebab, bisa jadi mereka akan gampang hancur ketika dimarahi oleh teman, atau pelatih atau bos di kantor. 

Jadi, jika Bunda berteriak pada anak cobalah minta maaf. Tapi jangan menyalahkan diri sendiri atas perilaku tersebut. Sebab sangat penting untuk menyayangi anak dan juga diri Anda sendiri.

viral minggu ini

BAGIKAN !

Jika kontent kami bermanfaat