Ilustrasi nikah siri - Image from hipwee.com
Dalam ikatan pernikahan ada hak dan kewajiban
Namun berbeda halnya pada pernikahan siri, sebab ada potensi hak dan kewajiban yang terhapus jika menikah siri. Begini penjelasan dari perwakilan PBNU dan juga keterangan dari MUI.
Nikah siri (nikah tanpa catatan hukum negara) perlu dibahas tak hanya mengenai syarat dan rukun akad nikahnya saja.
Lebih dari itu, nikah siri dalam fikih banyak dibahas mengenai aspek yang terkait dengannya, terutama perkara mudharat dan dampaknya bagi perempuan dan keturunannya.
Dalam buku Nikah Siri karya Vivi Kurniawati dijelaskan, akibat tidak tercatatnya pernikahan dalam hukum negara, maka baik istri maupun anak-anaknya kelak tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari suami.
Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatatkan sama saja seolah membiarkan hidup bersama di luar perkawinan.
Dan hal itu sangat merugikan bagi para pihak yang terlibat, khususnya pihak perempuan, apalagi jika sudah memiliki keturunan atau anak yang dilahirkan dari pernikahan siri tersebut.
Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang nikah siri ialah anak luar kawin yang hanya memiliki hubungan hukum dengan ibunya. Artinya, mereka berdua (anak dan istri) tidak memiliki hubungan hukum dengan sang ayah.
Tentu saja kerugian ini harus menjadi perhatian besar bagi setiap umat Islam.
Wakil Ketua Bidang Waqi’iyah Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU KH Faiz Syukron Ma’mun berpendapat, nikah siri menurutnya haram.
Sebab tidak ada catatan hukum dan juga perlindungan bagi anak dan istri yang dinikahi. Dan tindakan tersebut dinilai hanya akan menimbulkan mudharat yang lebih besar.
Sehingga beliau pun menganjurkan bagi umat Islam, terutama perempuan, untuk melakukan pernikahan secara sah di mata hukum.
Baik hukum Islam maupun hukum negara. Sebab perlindungan kepada pernikahan, diri, dan juga keturunan merupakan anjuran yang sangat ditekankan dalam Islam.
Pandangan MUI terhadap Nikah Siri
Pada tahun 2017 lalu sempat meledak mengenai praktik lelang perawan dalam situs nikahsirri.com. Menanggapi hal itu MUI menyatakan nikah siri seringkali menimbulkan kerugian bagi para perempuan dan anaknya.
"Perkawinan seperti itu dipandang tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan dan sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap istri dan anak yang dilahirkannya, terkait dengan hak-hak mereka seperti nafkah atau pun hak kewarisannya," kata Wakil Ketua Umum MUI Zainut Taufik Sa'adi dalam keterangan tertulis, Senin (25/9/2017).
Sebelumnya, MUI telah mengeluarkan fatwa melalui keputusan Ijtima Ulama Se-Indonesia ke-2 di Pondok Pesantren Moderen Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, pada tahun 2006.
Fatwa tersebut menegaskan bahwa nikah siri memang sah secara agama asalkan syarat dan rukun nikah terpenuhi. Rukun pernikahan dalam Islam antara lain ada pengantin laki-laki pengantin perempuan, wali, dua orang saksi laki-laki, mahar, serta ijab dan kabul.
"Tapi, pernikahan tersebut bisa menjadi haram jika menimbulkan mudarat atau dampak negatif," kata Zainut.
MUI : Pernikahan Perlu Dicatat Secara Hukum
Oleh sebab itu para ulama kemudian sepakat, pernikahan harus dicatatkan secara resmi ke administrasi negara.
Selain itu, pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dinas Dukcapil Kemendagri).
"MUI mengimbau masyarakat agar menikah secara resmi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Meskipun nikah siri sah secara agama, namun tak memiliki kekuatan hukum. Dengan tidak adanya kekuatan hukum, maka baik istri maupun anak berpotensi menderita kerugian akibat pernikahan tersebut," kata Zainut.
Jadi sebaiknya para wanita memilih pernikahan yang tak hanya sah secara agama, melainkan juga secara hukum. Agar kedua belah pihak sama-sama diuntungkan dan tidak ada mudharat.