Hukumannya Berat! Jangan Sampai Seperti ini Jika Ada Keluarga Meninggal
Penulis Isfatu Fadhilatul | Ditayangkan 22 Apr 2020Ilustrasi meratapi mayit - Image from m.solopos.com
Sedih boleh, tapi jangan sampai keluarkan kata-kata ini
Dalam hadist dijelaskan kebanyakan yang mendapat hukuman berat ini adalah para wanita, karena mereka yang lebih sering melakukannya. Memang ditinggal orang yang disayang sungguh berat namun hanya boleh bersedih tanpa harus melakukan seperti hal yang dilarang ini.
Kematian telah menjadi ketentuan Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk semua hamba-Nya. Kehilangan memang merupakan hal yang sangat menyedihkan, terlebih jika kehilangan orang-orang tersayang di sekeliling kita.
Tak dapat dipungkiri, hal yang pasti kita lakukan adalah meratapi kesedihan yang mendalam, menangis atau bahkan ada yang marah, belum mengikhlaskan kepergian keluarga kita dengan menampar wajah, mengamuk, berteriak-teriak, menjambak rambut dan lain sebagainya.
Dalam hal tersebut, Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
Artinya: “Bukanlah bagian dari umatku yang menampari pipi (ketika ditimpa kematian), merobek-robek baju dan meratapi mayat sebagaimana ratapannya orang-orang jahiliyah" (HR. Muttafaq ‘Alayh).
Berdasarkan Hadits diatas, dapat kita ketahui bahwasanya sangat tidak dianjurkan bagi umat Muslim untuk terlalu meratapi kesedihan saat sanak keluarga atau kerabatnya meninggal dunia.
Kita semua, langit, bumi dan seisinya adalah milik Allah Ta'ala. Kapan pun dan bagaimana pun, Allah Ta'ala berhak mengambil kembali dan melakukan apa saja.
Manusia, sebagai hamba Allah Subhanahu Wa Ta'ala yang dikaruniai hati dan akal pikiran, hendaklah bisa ikhlas dan sabar dengan segala ujian dari Allah SWT, seperti ditinggalkan oleh orang-orang yang kita sayangi, orang-orang yang telah memberikan pengaruh besar dalam hidup kita.
Diriwayatkan dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
أَخَذَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ البَيْعَةِ أَنْ لاَ نَنُوحَ ، فَمَا وَفَتْ مِنَّا امْرَأَةٌ غَيْرَ خَمْسِ نِسْوَةٍ: أُمِّ سُلَيْمٍ، وَأُمِّ العَلاَءِ، وَابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ امْرَأَةِ مُعَاذٍ، وَامْرَأَتَيْنِ – أَوِ ابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ، وَامْرَأَةِ مُعَاذٍ وَامْرَأَةٍ أُخْرَى
Artinya: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil sumpah setia dari kami ketika kami berbai’at, yaitu kami dilarang meratap. Dan tidak ada yang bisa menepatinya di antara kami, kecuali hanya lima perempuan saja, yaitu Ummu Sulaim; Ummul ‘Alaa; anak perempuan Abu Sabrah, yang merupakan istri dari Mu’adz; dan dua perempuan lainnya; atau anak perempuan Abu Sabrah; istri Mu’adz; dan satu perempuan lainnya.” (HR. Bukhari no. 1306 dan Muslim no. 936)
Lalu, seperti apa ratapan yang dilarang? Jenis ratapan yang tidak diperbolehkan yaitu seperti menangis dalam bentuk berteriak-teriak, sambil menjambaki rambut dan merobeki baju, kemudian menampari wajah sambil berkata tidak baik seperti mencela dan bersumpah-sumpah, mengatakan sesuatu yang tidak diridhai Allah SWT.
Para ulama sepakat untuk melarang dan menghukumi haram, sebab hal tersebut sangat tidak mencerminkan akhlak umat muslim ketika ditimpa musibah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda “Dua hal yang ada pada manusia, dan keduanya dapat menyebabkan manusia menjadi kafir, yaitu melaknat atau mengingkari keturunan dan meratapi kematian (niyahah)”
Baca Juga: Meninggal Dunia Menurut Pandangan Islam
Jika demikian, maka bolehkah jika menangis tanpa disertai ratapan yang berlebihan?
Meratapi mayit, di antaranya dalam bentuk berteriak-teriak, menangis histeris karena kematian sanak keluarga, adalah perbuatan yang terlarang. Perbuatan semacam ini sangat berat untuk ditinggalkan, kecuali mereka yang dirahmati oleh Allah Ta’ala. Terutama sangat berat bagi para wanita.
Oleh karena itu, dari sejumlah shahabiyyah yang berjanji di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya tersisa lima orang saja yang bisa melaksanakannya. Hal ini karena memang individu atau sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak terjaga (maksum) dari berbuat dosa. Meskipun jika mereka berbuat dosa, maka mereka adalah orang-orang yang dimudahkan untuk segera bertaubat.
Terdapat ancaman berupa hukuman khusus di akhirat bagi orang yang gemar meratapi mayit. Diriwayatkan dari Abu Malik Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْبَعٌ فِي أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، لَا يَتْرُكُونَهُنَّ: الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَالْاسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُومِ، وَالنِّيَاحَةُ وَقَالَ: النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا، تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ، وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ
Artinya: “Ada empat perkara khas jahiliyah yang masih melekat pada umatku dan mereka belum meninggalkannya: (1) membanggakan jasa (kelebihan atau kehebatan) nenek moyang; (2) mencela nasab (garis keturunan) ; (3) menisbatkan hujan disebabkan oleh bintang tertentu; dan (4) dan niyahah (meratapi mayit).”
Dan beliau bersabda, “Wanita yang meratapi mayit, jika dia belum bertaubat sebelum ajalnya tiba, maka pada hari kiamat dia akan dibangkitkan dengan memakai kain (baju) yang terbuat dari timah cair [4] dan memakai pakaian dari kudis.” (HR. Muslim no. 934)
Disebutkannya “wanita” pada hadits di atas adalah karena mayoritas pelakunya adalah para wanita. Sehingga apabila laki-laki juga meratap dan belum bertaubat hingga meninggal dunia, maka dia pun berhak terkena ancaman hukuman sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas.
Perkara ini juga sangat mendapatkan perhatian dari para sahabat, sampai-sampai mereka pun mengingatkannya saat mereka sakit parah.
Abu Musa (‘Abdullah bin Qais) radhiyallahu ‘anhu merasakan sakit hingga jatuh pingsan sementara kepalanya menyandar dalam pangkuan salah seorang istrinya. Istrinya pun berteriak histeris sementara dia (Abu Musa) tidak dapat mencegah perbuatan istrinya sedikit pun (karena pingsan, meskipun masih bisa mendengar suara ratapan istrinya, red.).
Ketika sadar, maka Abu Musa radhiyallahu ‘anhu pun berkata,
أَنَا بَرِيءٌ مِمَّا بَرِئَ مِنْهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَرِئَ مِنَ الصَّالِقَةِ، وَالْحَالِقَةِ، وَالشَّاقَّةِ
Artinya: “Saya berlepas diri dari tindakan yang mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Rasulullah berlepas diri dari wanita yang meratap (menangis histeris), yang memotong-motong (mencukur atau menggundul) rambut kepala, serta menyobek-nyobek baju.” (HR. Bukhari no. 1296 dan Muslim no. 104)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari umatnya yang meratapi mayit. Diriwayatkan dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ ضَرَبَ الْخُدُودَ، أَوْ شَقَّ الْجُيُوبَ، أَوْ دَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
Artinya: “Bukan dari golongan kami siapa yang menampar-nampar pipi, merobek-robek kerah baju, dan menyeru dengan seruan jahiliyyah (meratap).” (HR. Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103)
Baca Juga: Bacaan Lengkap Assalamualaikum Ya Ahli Kubur
Tindakan-tindakan di atas merupakan bentuk ratapan yang dikenal pada zaman itu. Maksud “menyeru dengan seruan jahiliyyah” dicontohkan para ulama dengan mengatakan, “Wahai sandaran hidupku, mengapa Engkau meninggalkan aku?” Atau ungkapan, “Wahai pelindungku, mengapa Engkau pergi meninggalkanku sendiri?”
Kalimat-kalimat seperti itu, yang diucapkan saat seseorang mendapatkan musibah, termasuk dalam ucapan ratapan yang terlarang. Penjelasan lain dari “seruan jahiliyyah” adalah seruan untuk fanatisme kekelompokan (fanatisme golongan).
Meratapi mayit yang diperbolehkan
Yang diperbolehkan disini adalah (hanya) menangis dengan meneteskan air mata, tanpa mengucapkan sepatah pun kalimat-kalimat terlarang di atas. Jika mulut ikut berteriak histeris, maka ini termasuk bentuk meratap yang terlarang.
Sebagaimana dulu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis saat anak beliau, Ibrahim, meninggal dunia. Akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah meratapi Ibrahim dengan ucapan-ucapan kalimat yang menunjukkan ekspresi kesedihan.
Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan, “Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Abu Saif Al-Qaiyn yang (isterinya) telah mengasuh dan menyusui Ibrahim (putra Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil Ibrahim dan menciumnya. Kemudian setelah itu pada kesempatan yang lain, kami mengunjunginya sedangkan Ibrahim telah meninggal.
Hal ini menyebabkan kedua mata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlinang air mata. Lalu berkatalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu kepada beliau, “Mengapa Anda menangis, wahai Rasulullah?”
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
يَا ابْنَ عَوْفٍ إِنَّهَا رَحْمَةٌ
Artinya: “Wahai Ibnu ‘Auf, sesungguhnya ini adalah rahmat (tangisan kasih sayang).”
Beliau lalu melanjutkan dengan kalimat yang lain dan bersabda,
إِنَّ العَيْنَ تَدْمَعُ، وَالقَلْبَ يَحْزَنُ، وَلاَ نَقُولُ إِلَّا مَا يَرْضَى رَبُّنَا، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ
Artinya: “Kedua mata boleh mencucurkan air mata, hati boleh bersedih, hanya kita tidaklah mengatakan kecuali apa yang diridhai oleh Rabb kita. Dan kami dengan perpisahan ini wahai Ibrahim, pastilah bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 62)
Baca Juga: Begini Ngerinya Siksa Kubur Menurut Al Quran
Ingat, menangis dan meneteskan air mata merupakan hal yang wajar karena menunjukkan kasih sayang kita kepada saudara atau kerabat yang meninggal. Namun perlu digaris bawahi, tangisan air mata tersebut tidak boleh diiringi dengan ratapan berupa ucapan-ucapan yang terlarang.
Wallahu a'lam bishawab