Bagaimana Proses Bertambahnya Manusia dari Nabi Adam?
Penulis Isfatu Fadhilatul | Ditayangkan 02 May 2020Ilustrasi gambar keturunan - Image from sowthy.com
Di masa awal peradaban manusia, jumlah manusia sangatlah sedikit.
Hanya ada Nabi Adam dan Hawa beserta anak-anaknya yang kembar. Lalu, bagaimana ceritanya hingga akhirnya jumlah manusia bertambah banyak? Bahkan menyebar hingga seluruh dunia.
Kita pasti bertanya-tanya, bagaimana proses bertambahnya manusia dari Nabi Adam? Bukankah pernikahan sedarah akan menghasilkan keturunan yang cacat? terlebih Nabi Adam memiliki anak yang kembar.
Proses reproduksi manusia yang akhirnya menghasilkan banyak keturunan, tidak dapat dilakukan dengan sembarangan.
Hubungan antara dua manusia perlu diatur sedemikian rupa agar bisa meneruskan keturunan yang lebih baik. Pengaturannya adalah melalui pernikahan.
Pertanyaannya, bagaimana Nabi Adam Alaihissalam mengatur pernikahan bagi putra-putranya?
At-Thaba'thaba'i, penulis Tafsir al-Mizan, menuliskan bahwa pada waktu itu karena hukum larangan pernikahan saudara sedarah atau saudara kandung belum diturunkan, maka mau tak mau pernikahan dilakukan sesama saudara.
“Generasi manusia tidak dapat dipertahankan dan lestari kecuali melalui jalan ini,” ungkapnya.
Ibnu Katsir mengemukakan dalam Qashah al-Anbiyaa' bahwa setiap kali mengandung, Hawa melahirkan dua anak kembar, laki-laki dan perempuan.
Pada kelahiran pertama, anak mereka bernama Qabil dan Iklima, kemudian kelahiran kedua bernama Habil dan Labuda.
Qabil memiliki sifat yang kasar dan Habil memiliki sikap lebih santun. Iklima menjadi remaja wanita yang cantik dan Labuda biasa-biasa saja.
Keempat anak Nabi Adam ini memiliki tugas masing-masing untuk membantu urusan rumah tangga dan pekerjaan. Seiring dengan bertambahnya kedewasaan keempat anak tersebut, mereka pun mulai memiliki ketertarikan dengan lawan jenis.
Allah Ta'ala kemudian memberikan petunjuk kepada Nabi Adam bahwa anak mereka harus segera dinikahkan dengan aturan mereka tidak boleh dinikahkan dengan saudara kembarnya sendiri. Artinya Qabil akan menikahi Labuda dan Habil akan menikahi Iklima.
“Adam diperintahkan untuk menikahkan anak laki-lakinya dengan putri dari kembaran anak laki-laki yang lain, dan seterusnya,” tulis Ibnu Katsir.
Ini berarti Allah Ta'ala telah memberikan petunjuk agar manusia terus melanjutkan keturunannya.
Baca Juga: Non Islam Amalannya Banyak, Patuhi Syariat Islam, Kenapa Bisa Masuk Neraka?
Akan tetapi, dalam kasus Nabi Adam ini, yang diperbolehkan adalah pernikahan silang, bukan dengan saudara kembar yang lahirnya bersamaan dengannya. “Tidak dihalalkan menikah dengan saudara kembarnya sendiri,” lanjutnya.
Semakin bertambahnya jumlah manusia, maka pilihan antara laki-laki dan perempuan semakin banyak. Hingga kemudian pernikahan sesama saudara pun tidak lagi dibenarkan, bahkan pernikahan sesama saudara sepersusuan.
Sejak zaman Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam, hukum ini mulai dijalankan, apalagi diperkuat dengan turunnya Al-Qur'an surat an-Nisa ayat 23.
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالَاتُكُمْ وَبَنَاتُ الْأَخِ وَبَنَاتُ الْأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلَائِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلَابِكُمْ وَأَنْ تَجْمَعُوا بَيْنَ الْأُخْتَيْنِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: "Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Baca Juga: Pandangan Islam Tentang Kematian
Jadi dari sini dapat kita ambil kesimpulan, bahwa pada waktu itu (zaman Nabi Adam Alaihis salam), karena hukum keharaman pernikahan antara saudara dan saudari belum lagi diturunkan dari sisi Allah, pun karena generasi manusia tidak dapat dipertahankan dan lestari kecuali melalui jalan ini, maka pernikahan berlangsung di antara saudara dan saudari, putra dan putri Nabi Adam.
Sebab yang berhak menetapkan aturan dan hukum adalah Allah Ta'ala. Sebagaimana hal ini termaktub dalam Al-Qur'an, "Inilhukuma illa Allah" (Tiada hukum kecuali hukum Allah Subhanahu Wa Ta'ala, QS. Yusuf:40)
Jadi, syariat menikah dengan saudara kandung itu diperbolehkan sebelum datangnya risalah Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam. Dan sejak Rasulullah diutus, maka ketentuan menikah saudara sedarah itu dihapuskan secara mutlak.