Cerita Sedih Mahasiswa Rantau, Sehari Hanya Makan Sekali 

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 06 Apr 2020

Cerita Sedih Mahasiswa Rantau, Sehari Hanya Makan Sekali 

Gara-gara corona beberapa mahasiswa mengaku kesulitan karena tidak ada pemasukan - Image from wajibbaca.com

Mahasiswa rantau juga menderita karena corona. 

Di masa pandemi corona ini, mahasiswa rantau dituntut untuk lebih ketat dalam mengatur keuangannya. Sebab kebutuhan makan dan juga data internet jauh lebih besar daripada biasanya. Untuk mengurangi biaya yang keluar, tak jarang mereka rela hanya makan sehari sekali. 

Selama kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), sebagian mahasiswa rantau di Jakarta dan sekitarnya kesulitan mencari makan dan bahkan kuota internet.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperpanjang masa kuliah selama satu semester untuk mencegah mahasiswa di drop out (DO) dari kampus.

Baca juga : ODP yang Tak Taati Peraturan Terancam Pidana dan Karantina Paksa

Dicky Hasby merupakan mahasiswa angkatan 2015 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat, Banten. Ia sudah membulatkan tekad untuk pulang ke kampung halaman di Cirebon, Jawa Barat.

Mahasiswa yang sedang mengurus proposal skripsi, merasa aman pulang kampung karena sudah berbekal nomor kontak petugas puskesmas daerahnya. Harapannya, kesehatan akan diperiksa sebelum berkumpul dengan keluarga. 

"Maksudnya yang khusus buat petugas penyakit ini. Jadi saya kira nggak terlalu waswas. Jadi sebelum masuk itu sudah ada pengamanan dari perangkat desa," katanya pada Kamis (02/04).

Selain itu, kalau di kampung, Dicky juga tak perlu repot memikirkan kebutuhan makan sehari-hari. Sebab, di sekitar asrama kampus, toko-toko mulai banyak yang tutup. 

"Kita ngerasa aman untuk logistik. Ya, toh di kampung sendiri, beda sama di kampung orang," katanya.

Sejak kampus mengeluarkan kebijakan pembelajaran jarak jauh, pertengahan Maret lalu, Dicky mengaku mulai kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Sebelum wabah corona, ia masih bisa mengajar private komputer untuk menambah pemasukan. Namun kini, sudah tidak lagi setelah kebijakan pembatasan sosial berlaku. Sementara kiriman uang dari orang tua sudah tidak ada lagi sejak tahun lalu. 

"Udah jarang makan tiga hari sekali. Paling dua kali sehari. Kondisi belakangan ini ya, makin teratur. Makin teratur (makan) sehari sekali," katanya sambil tertawa miris

Bantuan untuk Mahasiswa Rantau 

Mahasiswa seperti Dicky saat ini dibantu oleh Lembaga Sosial Kemanusiaan, Social Trust Fund (STF). Lembaga STF ini menyediakan makanan siap saji kepada mahasiswa UIN yang terdampak pandemi Covid-19 dan kesulitan memenuhi kebutuhan makan sehari-harinya. 

Direktur STF, Amelia Fauzia mengatakan, lembaganya saat ini menyediakan nasi bungkus dengan lauk, sayur, buah dan vitamin, untuk siang dan sore bagi mahasiswa yang kekurangan. 

Untuk mendapatkan fasilitas tersebut, mahasiswa akan didata melalui formulir online. Kemudian mereka bisa mengambil makanan tersebut ke warteg-warteg yang telah bekerja sama dan absen serta tanda tangan disana.

Sejak formulir online pengaduan dibagikan 27 Maret lalu, mahasiswa yang mendaftar untuk menerima bantuan ini terus meningkat. 

"Sementara kita tutup di angka 615 (mahasiswa) kemarin karena, dana kita juga masih terbatas, permohonan bantuan yang lain-lain, misalnya ada yang dana untuk berobat," kata Amelia kepada BBC News Indonesia.

Amelia juga menyampaikan, mayoritas yang perlu dibantu merupakan mahasiswa rantau, seperti yang tinggal di kosan atau di asrama.

Amelia juga menambahkan, selain kebutuhan makanan, mahasiswa rantau juga memerlukan pulsa internet untuk menunjang pembelajaran jarak jauh. 

"Biasanya mereka nebeng di kampus, ada wifi kampus itu yang tak disadari. Ada wifi kampus, ada wifi cafe-cafe. Nah, mereka dulu hidupnya dari situ. Nah, ketika warung tutup, kampus tutup, nah mereka bagaimana?" katanya.

Selain itu, fakultas juga memberikan bantuan sembako kepada mahasiswanya, terutama yang merupakan anak rantau. Dananya berasal dari sumbangan perorangan maupun lembaga sosial. 

Dibantu Teman Kosan hingga Saudara 

Untuk meminimalisir pengeluaran yang besar lantaran kebijakan pembelajaran jarak jauh, mahasiswa rantau juga memilih tinggal bersama saudara. Aribah Nur Hakim, salah satunya. 

Mahasiswi UIN Syarif Hidayatullah sudah seminggu menumpang di rumah bibi-nya di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. "Jadi kondisi saya di sini baik semua, masih tercukupi," katanya, Kamis (02/04).

Sebelum tinggal di rumah bibinya, Aribah tinggal di asrama kampus. Ia memutuskan tidak kembali ke kampungnya di Cirebon, Jawa Barat, karena khawatir akan terpapar virus selama di perjalanan.

"Kata ibu saya, kamu baik-baik saja di rumah bibi. Tapi siapa tahu di jalan kamu kena, terus kebawa ke rumah, terus nggak ada yang tahu. Jadi ya, keputusan dari ibu saya, sebaiknya agar di rumah bibi dulu," katanya.

Aribah juga bercerita saat ini uang saku yang dikirim dari kampung sudah mulai seringkali terlambat datang. 

"Saya sudah minta dari tanggal berapa, tapi sampai sekarang belum juga dikasih. Biasanya itu nominal sama. Lebih ke waktu saja telat," katanya.

Di kampus lainnya, mahasiswi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Juju Junengsih juga memutuskan untuk tidak pulang kampung ke Kuningan, Jawa Barat. 

"Kalau di Kuningan sudah ditutup juga jalurnya. Wilayahnya ditutup. Jadi saya benar-benar tak bisa pulang," katanya, Kamis (02/04).

Juju biasanya dapat kiriman beras dari kampung asalnya. Namun sejak kebijakan pembatasan sosial berlaku, pengiriman beras terhambat, pengeluaran makan harian jadi naik dua kali lipat. 

Sebagai gambaran, Juju biasa hanya membeli lauk Rp10 ribu untuk makan tiga kali sehari. Sedangkan nasinya, ia masak sendiri di kosan. 

Kini ia harus membeli nasi tiga bungkus sehari dengan total harganya sebanyak Rp12 ribu. "Nah, nasinya kan harus beli lagi, beli lagi," katanya.

Kadang, teman kos yang sudah bekerja berbaik hati untuk berbagi makanan. "Kalau kita tidak punya makanan, dikasih gitu sama kakak-kakaknya," kata Juju.

SHARE ARTIKEL