Jangan Pernah Katakan Hal ini Pada Suami, Bisa Menghancurkannya

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 17 Apr 2020

Jangan Pernah Katakan Hal ini Pada Suami, Bisa Menghancurkannya

Ilustrasi Ayah Minder - Image from www.stimulant.sk

Bukannya malah membantu suami

Padahal hanya "Sekedar mengingatkan"

Perkataan ini malah menghancurkan suamimu, jangan pernah hal ini diucapkan pada suami. Bisa-bisa menghancurkan hati suami.

Tidak hanya perasaan Bunda yang harus dijaga dalam suatu hubungan. Perasaan Ayah/suami pun juga harus dijaga, meski mereka bukan mahkluk perasa, atau seemosional perempuan. 

Alangkah baiknya jika kita sama-sama saling menghargai dan menghormati pikiran dan perasaan orang lain. Inshaallah dengan begitu, hubungan bisa dipenuhi dengan kebahagiaan dan harmonis. 

Meski para kaum adam diidentikkan dengan membuat keputusan menggunakan otak, dan kecil potensinya menggunakan perasaan. Mereka tetap terganggu loh, jika ada komentar menghakimi dan meremehkan personalnya. 

Baca juga : Suami Bunda Suka Bohong, ini Penyebab dan Cara Mengatasinya

Peneliti Ungkap, Mayoritas Ayah Pernah Dikomentari Negatif

Sebuah survey nasional di Amerika yang dikutip New York Times mengungkapkan bahwa dua tahun belakangan, sebanyak 52% dari total Ayah yang memiliki anak berusia di bawah 13 tahun mengalami dad shaming (penghinaan pada ayah). 

Perilaku ini bisa berupa kritik, komentar negatif, celaan dan makian pada perilaku Ayah. Hal ini seringkali membuat ayah kurang percaya diri dan selalu takut membuat kesalahan. Bahkan parahnya bisa membuat ayah stres dan depresi. 

Pelaku dad shaming bisa dari orang tua, mertua, istri, tetangga, teman , dan lainnya. Baik disengaja maupun tidak. 

Penyebabnya bisa dari berbagai faktor, mulai dari pandangan pola asuh yang berbeda dan rasa keangkuhan yang tinggi pada pelaku. 

5 Hal yang Bisa Bunuh Kepercayaan Diri Suami

Nah tentu Bunda selalu ingin Ayah bahagia dan percaya diri. Oleh sebab itu Bunda harus hindari perilaku ini :

1. Memberikan Komentar Tanpa Diminta

Percaya atau tidak, fenomena “sekadar mengingatkan” yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia menjadi salah satu pemicu timbulnya konflik. 

Hal ini dikarenakan banyak orang memberikan saran saat tidak diminta dan di waktu yang tidak tepat, sehingga biasanya justru memperkeruh suasana.

Apalagi jika saran tak diminta itu berkaitan dengan pola asuh anak yang sudah jadi kesepakatan keluarga.

Misalnya, seseorang yang tidak tahu alasan dan latar belakang kondisi keluarga memberi saran pada Ayah, 

“Kok anaknya kurusan? Kasih susu aja biar kelihatan gemuk” atau “ASI ibunya dikit ya? Harusnya kamu sebagai Ayah bisa bahagiakan istri dan rajin ajak istri jalan-jalan biar ASInya melimpah.”

Tak bisa dimungkiri saran dan komentar yang dilontarkan orang lain seperti itu membuat Ayah jengkel dan merusak rasa kepercayaan diri Ayah. 

Komentar ini bisa berupa sindiran halus, bercandaan yang berlebihan, atau kritik to the point terlepas dari niat baik untuk memberi saran atau memang bertujuan untuk menyudutkan Ayah. 

Padahal, orang tersebut tidak tahu perjuangan apa yang telah Ayah dan Ibu lakukan agar anak tetap sehat dan kebutuhan keluarga tercukupi.

Memberikan saran dan komentar tanpa diminta juga bisa dikategorikan sebagai ikut campur dalam urusan rumah tangga orang lain. 

Bahkan meskipun saran dan komentar tersebut datangnya dari orang tua maupun kerabat dekat sendiri, bukan berarti itu tidak membuat Ayah kehilangan kepercayaan diri.

Sebaiknya perbanyak memahami kondisi orang lain, bukan menghakimi dan sok merasa benar. 

2. Tidak Memberikan Ayah Kesempatan untuk Belajar

Geoffry Brown, psikolog dari Universitas Georgia yang menggeluti bidang perkembangan manusia dan ilmu keluarga, melakukan riset dengan simpulan bahwa bentuk kedekatan anak dan ayah seberapa sering interaksinya dengan sang anak.

Geoffry Brown menyatakan bahwa Ibu memiliki andil besar dalam menentukan keterlibatan Ayah. Ibu bisa mendukung sekaligus menghambat peran Ayah dalam usahanya membangun kedekatan dengan anak. 

Salah satunya adalah dengan meminta Ayah melakukan sesuatu tapi kemudian protes atau tidak menyukai bagaimana Ayah melakukannya.

Misalnya, memarahi ayah di depan anak. "Yah, kok mainnya gitu. Jangan main kasar-kasar dengan anak!", “sini biar aku aja, bukan begitu caranya”

Meski ini terkadang tidak disadari dan justru disepelekan oleh Ibu, hal ini ternyata bisa membatasi ruang Ayah untuk belajar dan membuat kepercayaan diri Ayah terkikis. Serta membuat ayah tidak dekat dengan anaknya. 

3. Mengukur Kesuksesan Ayah dari Materi 

Mayoritas masyarakat Indonesia yang meyakini bahwa kewajiban ayah bertugas mencari nafkah, tak jarang menggunakan ini sebagai alasan untuk menghina ayah.

Mengukur kesuksesan Ayah dari seberapa banyak dan seberapa mampu Ayah dalam mencukupi kebutuhan keluarganya bukanlah hal yang bijak. 

Sebab setiap keluarga memiliki medan perjuangan dan tantangannya sendiri dan orang lain tidak berhak menghakimi rumah tangga orang lain. 

Banyak Ayah yang merasa tertekan dan kehilangan kepercayaan diri hingga berujung pada depresi karena terus menerus diolok atas besaran gaji yang tidak besar.

Misalnya, mengatakan ayah tidak becus atau pengecut menjadi kepala keluarga karena belum mampu membeli rumah sendiri atau tidak punya mobil, dan lain sebagainya. 

Padahal, bisa jadi Ayah memutuskan tinggal di rumah orangtua karena tabungan belum cukup untuk membayar DP rumah atau kontrakan. Sehingga tidak ingin menambah beban utang di kemudian hari serta alasan lainnya yang tidak diketahui. 

4. Ayah Rumah Tangga vs Ayah Bekerja 

Bagi Ayah bekerja yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, penghinaan bisa muncul dengan mempermasalahkan seberapa banyak waktu yang Ayah luangkan untuk anak dan istri. 

Ayah yang harus lembur dan menyita waktu libur saat weekend tidak luput dari komentar miring yang menganggap bahwa Ayah tidak menjalankan peran sebagai kepala keluarga. Salah satunya adalah mendidik istri dan anak. 

Atau, saat Ayah dihadapkan pada keputusan untuk LDM (Long Distance Marriage) dengan keluarga, sindiran-sindiran seperti “couple rasa single” atau “lebih baik hidup sederhana apa adanya daripada harus berjauh-jauhan dengan anak-istri” terus menghantui pikiran Ayah. 

Begitu juga dengan Ayah yang memutuskan untuk bekerja secara remote dari rumah. Karena hal ini masih jarang ditemui di Indonesia, banyak orang yang masih menganggap hal tersebut tidak wajar dan aneh. Malah dianggap ketika di rumah sama dengan menganggur. 

Untuk kesekian kalinya, perlu ditekankan bahwa setiap keluarga memiliki medan perjuangannya masing-masing dan apa pun yang disepakati oleh tiap anggota keluarganya bukanlah ranah kita untuk berkomentar tanpa tahu latar belakang keputusan mereka. 

5. Berbeda Berarti Salah 

Pepatah mengatakan bahwa saat seorang anak terlahir ke dunia, di saat yang sama lahirlah sosok ayah dan ibunya. Dengan kata lain, menjadi ayah dan ibu adalah sebuah hal baru bagi setiap orang. Dan hal ini butuh proses belajar yang tak sebentar.

Namun, pada kenyataannya banyak sekali orang yang merasa sok tahu dan berhak mengintervensi dalam pola pengasuhan keluarga lain yang berbeda hanya karena sudah lebih dulu berpengalaman. 

Padahal, ilmu pengetahuan terus berkembang, masalah yang dihadapi juga kian kompleks, sehingga memunculkan beragam pola asuh yang berbeda-beda. 

Dalam hal ini, dad shaming biasanya dilakukan jika Ayah menerapkan metode belajar yang berbeda dan jarang dijumpai oleh masyarakat umumnya. Padahal tidak semua hal yang berbeda berarti salah. 

Nah itu dia 5 hal yang harus dihindari oleh Bunda dan siapapun, agar tidak menyakiti perasaan ayah dan membuatnya minder. 

Ketika Bunda mengetahui ada orang lain yang melakukan dad shaming kepada Ayah, sebaiknya Bunda terus berada di sisi Ayah. Beri dukungan serta kepercayaan kepadanya. 

Bunda bisa jadi pihak yang mendinginkan emosi ayah atau kekalutan batin yang dialami Ayah ketika diberi komentar negatif oleh orang lain. Selain itu bangun semangatnya untuk terus berjuang menjadi ayah yang lebih baik lagi.

SHARE ARTIKEL