Bagaimana Jika Hari Raya Corona Masih Ada? Ini Penjelasan Ulama

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 09 May 2020

Bagaimana Jika Hari Raya Corona Masih Ada? Ini Penjelasan Ulama

Ilustrasi halal bihalal - Image from palembang.tribunnews.com

Corona mendesak kita jaga jarak, lalu bagaimana jika hari raya...

Hari Raya Idul Fitri identik dengan aktivitas berkumpul bersama-sama dengan keluarga, tetangga dan lainnya. Sangat sulit rasanya untuk menjaga jarak dalam tradisi halal bihalal dan silahturahim dengan banyak orang. Lantas gimana jika masih ada corona? 

Amalan di Hari Raya Idul Fitri Jika Masih Corona 

Tentu akan berbeda amalan yang kita lakukan saat Idul Fitri jika corona masih mewabah di Indonesia. Hal ini berpijak, saat ini saja telah berlaku beberapa perbedaan saat menjalankan ibadah.

Diantaranya menganjurkan shalat Jumat ditiadakan dan juga menganjurkan untuk beribadah di rumah saja. Apalagi pada saat hari Raya Idul Fitri yang rentan munculnya kegiatan kumpul-kumpul yang melibatkan banyak orang. 

Berikut penjelasan Syaikh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih terkait amalan hari raya idul fitri jika tak sholat id, “Hukum yang berhubungan dengan hari Id seperti mandi pada hari raya, memakai pakaian terbaik, memakai wewangian, mengucapkan selamat hari raya, bertakbir, sunnah-sunnah ini masih tetap dilaksanakan. Hukum asalnya syariat tadi masih ada walaupun shalat Id tidak dilakukan.” (Al-Ahkam Al-Fiqhiyyah Al-Muta’alliqah bi Waba’ Kuruna, hlm. 19)

Baca juga : Jangan Lewatkan, Begini Tanda Malam Lailatul Qodar, Doa dan Amalannya

Mengumandangkan Takbir 

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah: 185).

Ayat di atas memerintahkan umat Islam untuk banyak mengumandangkan takbir pada hari id (Idul Fitri dan Idul Adha), di dalamnya perintah untuk menjalankan shalat. Di dalam shalat id tada takbir yang rutin dilakukan dan juga ada takbir tambahan. (Majmu’ah Al-Fatawa, 24:183).

Takbir yang dimaksud adalah bacaan “Allahu Akbar”. Mayoritas ulama mengatakan bahwa ayat ini adalah dorongan untuk bertakbir pada akhir Ramadhan. 

Sedangkan penetapan waktu terakhir, para ulama berbeda pendapat. Ada pendapat yang menyatakan dari melihat hilal Syawal hingga saat khutbah Idulfitri. Berarti sejak malam Id dianjur terus bertakbir hingga pagi. 

Takbir yang diucapkan yakni seperti yang dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur dan Ibnu Abi Syaibah, bahwasanya Ibnu Mas’ud bertakbir,

Allahu akbar, Allahu akbar, laa ilaaha illallah wallahu akbar. Allahu akbar walillahil hamd. 

Artinya: Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Allah Maha Besar. Allah Maha Besar, segala puji bagi-Nya. 

Saling Mengucapkan Selamat pada Hari Raya Idul Fitri

Mengucapkan selamat pada hari raya Idul Fitri kepada umat Islam lainnya merupakan syariat Islam, sebagaimana yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Dari Al-Bara’ bin ‘Azib, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda,

“Tidaklah dua muslim itu bertemu lantas berjabat tangan melainkan akan diampuni dosa di antara keduanya sebelum berpisah.” (HR. Abu Daud, no. 5212; Ibnu Majah, no. 3703; Tirmidzi, no. 2727. Al-Hafizh Abu Thahir menyatakan bahwa sanad hadits ini dhaif. Adapun Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini sahih).

Dari Qatadah, ia berkata pada Anas bin Malik,

“Apakah berjabat tangan dilakukan di tengah-tengah sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Anas menjawab, “Iya.” (HR. Bukhari, no. 6263).

Syaikh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih menyatakan, “Mengucapkan selamat saat hari id adalah sunnah. Amalan seperti ini ada contoh yang dilakukan para sahabat. 

Namun, jika dengan berkumpul untuk mengucapkan selamat atau bersalaman ada mudarat karena tersebarnya penyakit menular dan tersebarnya penyakit yakni Covid-19 pada konteks ini, berlakulah kaedah:

“Tidak boleh memberikan mudarat tanpa disengaja maupun disengaja.” 

Oleh sebab itu, amalan ini bisa dilakukan dengan tetap saling mengucapkan selamat dengan saling memandang saja (tanpa bersalaman) atau cukup dengan berbagai media komunikasi seperti telepon."

Bentuk Ucapan Selamat Hari Raya

Berikut adalah beberapa dalil yang menjelaskan mengenai bentuk ucapan selamat hari raya di masa para sahabat.

Dari Jubair bin Nufair, ia berkata bahwa jika para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumpa dengan hari Id (Idulfitri atau Iduladha), satu sama lain saling mengucapkan, “Taqobalallahu Minna Wa Minka yang berarti semoga Allah menerima amalku dan amal kalian.” Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. (Fath Al-Bari, 2:446)

Berbeda halnya dengan Imam Ahmad, ia mengatakan, ‘Aku tidak mau mendahului mengucapkan selamat hari raya pada seorang pun. Namun kalau ada yang mengucapkan selamat padaku, aku akan membalas ucapannya.’ 

Imam Ahmad memilih hal tersebut karena mengetahui bahwa menjawab ucapan selamat adalah wajib, sedangkan memulai salam bukanlah sesuatu yang dianjurkan. 

Intinya, jika ada yang ingin mengucapkan selamat, maka ia memiliki qudwah (contoh). Dan jika ingin meninggalkannya, ia pun memiliki qudwah (contoh). (Majmu’ah Al-Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 24:253).

Kesimpulannya, bentuk ucapan selamat hari raya bisa dengan kalimat apa pun, asalkan mengandung doa dan makna yang benar dan sesuai. 

Adakah Shalat Id di Rumah?

Perintah pelaksanaan shalat Id, 

“Dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berqurbanlah.” (QS. Al-Kautsar: 2). Dalam Zaad Al-Masiir (9:249), Ibnul Jauzi menyebutkan ada tiga pendapat mengenai shalat. Salah satu tafsirannya adalah perintah untuk shalat id.

Pandangan 1 : Shalat Id Tidak Sah Jika Dilaksanakan di Rumah

Syaikh Prof. Dr. Khalid Al-Musyaiqih menjelaskan, 

“Jika kita mengatakan bahwa shalat berjamaah dan shalat Jumat ditiadakan dan beralih shalat di rumah saat pandemi. Begitu pula untuk shalat id tidak dilakukan di berbagai tempat shalat dan masjid jami karena dikhawatirkan adanya mudarat jika banyak orang berkumpul. 

Shalat id tidak sah dilakukan di rumah seperti halnya shalat Jumat tidak sah dilakukan di rumah. Demikianlah kesimpulan yang bisa ditarik dari pendapat Ibnu Taimiyah, jika tidak menunaikan shalat id, tidak ada qadha. Karena shalat id itu disyaratkan dilakukan dengan ijtimak atau kumpulan orang banyak.”

Pandangan 2 : Shalat Id Bisa Diqadha 

Ada perkataan Ibnu Qudamah tentang mengqadha shalat id. Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah berkata, 

“Siapa saja yang tidak melaksanakan shalat id, maka tidak ada qadha baginya. Karena hukumnya adalah fardhu kifayah. Jika sudah mencapai kadar kifayah, sudah dikatakan cukup. Jika ia mau mengqadha shalat tersebut, tergantung keputusannya. Jika ia ingin mengqadhanya, maka diganti menjadi 4 rakaat. Empat rakaat tersebut boleh dilakukan dengan sekali salam atau dua kali salam."

Perihal di atas diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan menjadi pendapat Ats Tsauri. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata,

“Barangsiapa yang luput shalat ‘ied, maka hendaklah ia menggantinya dengan shalat empat rakaat. Barangsiapa yang luput shalat Jum’at, maka hendaklah ia menggantinya dengan shalat empat rakaat.” (Al-Mughni, 3:284)

Kesimpulannya, ada dua pendapat dalam masalah ini. Silakan memilih shalat id di rumah jika tidak melaksanakannya di lapangan, atau memilih tidak shalat id sama sekali dan tidak ada qadha sama sekali.

Yang jelas pilihan tetap shalat id dan berkumpul dengan orang banyak sangat rentan untuk menimbulkan mudharat. 

Wallahu a’lam bis showab.

SHARE ARTIKEL