Cara Mengganti Shalat yang Sudah Ditinggalkan dengan Sengaja Hingga Puluhan Tahun
Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 12 May 2020
Bisakah diganti dengan istighfar dan taubat?
Terkadang ada masanya kita tak menunaikan shalat hingga berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Lantas amalan apa yang perlu dilakukan untuk mengganti shalat wajib yang ditinggalkan tersebut?
Seorang Muslim dalam menjalani dinamika kehidupannya pasti ada pasang surut keimanan dan ketaatan dalam menjalankan kewajiban agama.
Terlebih bagi orang awam yang jauh dari bimbingan ulama atau lingkungan yang islami. Namun ada pula yang meskipun ada bimbingan ulama dan berada di lingkungan islami tapi tetap meninggalkan sholat.
Hal ini bisa jadi dikarenakan belum mendapatkan hidayah untuk taat melaksanakan kewajiban agama, hingga akhirnya dalam menjalani kesehariannya selama bertahun-tahun ia tidak melaksanakan shalat.
Seiring berjalannya waktu, ia mulai tersadar dan merasa menyesal tidak melaksanakan kewajiban shalat tersebut. Hingga akhirnya ia berinisiatif untuk melakukan amalan tersebut.
Baca juga : Sering Lupa Rakaat Sholat? Tak Usah Bingung, Lakukan Anjuran Rasulullah ini
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana dengan shalat yang ia tinggalkan selama puluhan tahun, apakah tetap wajib untuk diqadha seluruhnya? Mengingat jumlahnya yang begitu banyak dan amat sulit diketahui berapa jumlah pasti shalat yang telah ia tinggalkan.
Shalat adalah salah satu kewajiban bagi seorang muslim sejak ia akil baligh. Nah pada saat itulah, seseorang wajib menunaikan shalat dan mengqadha shalat yang pernah ditinggalkan, walaupun penyebab meninggalkan shalat ini dikarenakan adanya udzur, seperti yang dijelaskan dalam hadits:
مَنْ نَسِىَ صَلاَةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَكَفَّارَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا
“Barangsiapa lupa shalat atau tertidur hingga meninggalkan shalat maka tebusannya adalah melaksanakan shalat tersebut ketika ia ingat.” (HR. Muslim)
Jika meninggalkan shalat karena udzur saja wajib untuk mengqadha, maka shalat yang ditinggalkan dengan sengaja jelas lebih wajib untuk diqadha.
Bahkan mengqadha shalat ini sudah menjadi konsensus (ijma’) para ulama dari empat mazhab fiqih. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Fiqh al-Manhaji:
وقد اتفق جمهور العلماء من مختلف المذاهب على أن تارك الصلاة يكلف بقضائها، سواء تركها نسياناً أم عمداً، مع الفارق التالي: وهو أن التارك لها بعذر كنسيان أونوم لايأثم، ولا يجب عليه المبادرة إلى قضائها فوراً، أما التارك لها بغيرعذر- أي عمداً - فيجب عليه – مع حصول الإثم – المبادرة إلى قضائها
“Mayoritas ulama dari berbagai madzhab sepakat bahwa seseorang yang meninggalkan shalat dituntut untuk mengqadla-nya, baik meninggalkan shalat karena lupa ataupun sengaja, perbedaanya adalah: jika orang yang meninggalkan shalat karena udzur, seperti karena faktor lupa atau tertidur maka ia tidak berdosa, dan ia tidak diwajibkan mengqadla-nya sesegera mungkin, sedangkan bagi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka ia terkena dosa dan dituntut segera mengqadla-nya.” (Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhabi Imam al-Syafi’i [Surabaya: Al-Fithrah, 2000], juz I, hal. 110)
Bisakah Dibayar dengan Taubat kepada Allah
Adapula ulama yang memiliki pandangan berbeda, ia berpendapat bahwa mengqadha shalat bukanlah suatu kewajiban. Bahkan mengqadha shalat adalah ibadah yang tidak sah jika dilakukan. Pendapat demikian adalah pendapat Imam Ibnu Hazm.
Hal yang seharusnya dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat, menurutnya bukan dengan cara mengqadhanya, melainkan dengan cara memperbanyak melaksanakan amal kebaikan, bertobat dan beristighfar agar dosanya diampuni oleh Allah SWT.
Namun pendapat Imam Ibnu Hazm ini tidak bisa dibenarkan dan dalil yang menjadi pijakannya adalah keliru, sebab pandangan ini berbeda dengan konsensus ulama.
Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzzab:
فرع- أَجْمَعَ الَّذِيْنَ يُعْتَدُّبِهِمْ أَنَّ مَنْ تَرَكَ صَلاَةً عَمْدًا لَزِمَهُ قَضَاؤُهَا وَخَالَفَهُمْ أَبُوْ مُحَمَّدٍ عَلِيُّا بْنُ حَزْمٍ قَالَ: لاَ يُقَدَّرُعَلَى قَضَائِهَا أَبَدًا وَلاَ يَصِحُّ فِعْلُهَا أَبَدًا قَالَ بَلْ يُكْثِرُمِنْ فِعْلِ الْخَيْرِ وَالتَّطَوُّعِ لِيَثْقُلَ مِيْزَانُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَسْتَغْفِرُ اللهَ تَعَالَى وَيَتُوْبُ وَهَذَا الَّذِيْ قَالَهُ مَعَ أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِلْإِجْمَاعِ بَاطِلٌ مِنْ جِهَةِ الدَّلِيْلِ
“Para ulama yang kompeten telah sepakat bahwa seseorang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, maka ia harus meng-qadha shalatnya. Pendapat mereka ini berbeda dengan pendapat Abu Muhammad Ali bin Hazm yang berkata: bahwa ia tidak perlu meng-qadha selamanya dan tidak sah melakukan qadha shalat selamanya, ia sebaiknya memperbanyak melakukan kebaikan dan shalat sunah agar timbangan (amal baiknya) menjadi berat pada hari kiamat, serta beristighfar kepada Allah dan bertobat. Pendapat ini bertentangan dengan consensus (ijma’) dan bathil berdasarkan dalil.” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzzab, Juz 3 Hal. 31)
Maka dari itu, mengqadha shalat berapa pun banyaknya adalah hal yang wajib, meskipun shalat sudah ditinggalkan hingga puluhan tahun.
Jika seandainya seseorang tidak mengetahui jumlah shalat yang telah ia tinggalkan, maka ia dituntut untuk mengqadha shalat dengan jumlah yang ia yakini bahwa jumlah tersebut sebanyak bilangan shalat yang dulu telah ia tinggalkan.
Ketentuan ini berdasarkan kaidah al-akhdz bi al-mutayaqqan (berpijak pada sesuatu yang diyakini).
Wallahu a’lam.