Ketuban Pecah Keluar Darah, Ibu Hamil ini Tak Ditangani Karena Belum Rapid Test
Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 21 Aug 2020I Gusti Ayu Arianti - Image from kompas.com
Miris, bayi laki-lakinya meninggal dalam kandungan
Meski ketuban sudah pecah dan perut sakit tak tertahankan, ibu hamil ini tetap diminta untuk menjalani rapid test. Bahkan sempat berpindah ke puskesmas dan juga antre lama. Sudah meminta diperiksa tapi tak kunjung diperiksa oleh petugas medis.
Gusti Ayu Arianti (23) tak pernah menyangka akan kehilangan bayi yang dikandungnya karena telat mendapat pertolongan medis. Warga Pejanggik, Kota Mataram, itu berencana akan bersalin di Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD) Wira Bhakti Mataram.
Tiba di rumah sakit, petugas memintanya melakukan rapid test Covid-19 terlebih dulu. Padahal air ketubannya telah pecah dan mengeluarkan darah.
"Ketuban saya sudah pecah, darah saya sudah banyak yang keluar dari rumah, tapi saya tidak ditangani, kata petugas saya harus rapid test dulu," kata Arianti dikutip dari Kompas.com, Rabu (19/8/2020) malam.
Aturan Rapid Test Tak Diberitahu Jauh-jauh Hari
Arianti dan suaminya, Yudi Prasetya Jaya (24) sangat kecewa dengan kondisi itu. Sebab, aturan terkait rapid test Covid-19 sebelum melahirkan tak diberi tahu sejak pemeriksaan kandungan.
"Saya itu kecewa, kenapa prosedur atau aturan ketika kami akan melahirkan tidak diberitahu bahwa wajib membawa hasil rapid test," kata Arianti.
Menurutnya, tak semua ibu hamil yang akan melahirkan mengetahui aturan tersebut.
"Ibu-ibu yang akan melahirkan kan tidak akan tahu ini, karena tidak pernah ada pemberitahuan ketika kami memeriksakan kandungan menjelang melahirkan, " kata Arianti.
Menurut Arianti, aturan itu tak akan memberatkan jika diberitahu sejak awal. Dirinya pun akan menyiapkan dokumen hasil rapid test beberapa hari sebelum anaknya lahir.
Kronologis Kejadian
Awalnya, Arianti merasa sakit perut pada Selasa (18/8/2020) pagi. Ia menduga ketubannya sudah pecah karena cairan yang keluar disertai darah.
Arianti bersama suami dan ibunya, Jero Fatmawati, lalu berangkat menuju RSAD Wira Bhakti Mataram. Mereka memilih rumah sakit itu karena putri pertamanya juga lahir di RS tersebut.
Tiba di rumah sakit, perut Arianti semakin sakit. Ia meminta petugas jaga di RSAD untuk segera menanganinya. "Saya juga lapor kalau ketuban saya pecah dan ada banyak darah," katanya.
Namun, karena tak ada fasilitas tes cepat, petugas memintanya untuk melakukan rapid test di luar rumah sakit.
"Mereka bilang tidak ada fasilitas rapid test, tapi tidak menyarankan saya rapid test di laboraturium karena akan lama keluar hasilnya," kata Arianti.
Petugas jaga itu, kata Arianti, menyarankan dirinya melakukan rapid test di puskesmas terdekat.
"Mereka minta saya ke puskesmas terdekat dengan tempat tinggal saya, padahal saya sudah memohon agar dilihat kondisi kandungan saya, bukan berapa menuju proses kelahiran, mereka tidak mau, katanya harus ada hasil rapid test dulu," kata Arianti sedih.
Petugas Tak Mau Memeriksa Sedikitpun
Arianti menyayangkan sikap petugas yang sama sekali tak bersedia memeriksanya. Petugas, kata dia, bisa mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap jika khawatir akan terkena Covid-19.
Apalagi, dirinya tak memiliki gejala sakit sebagaimana pasien Covid-19. Setelah itu, Arianti menuju Puskesmas Pagesangan untuk melakukan rapid test Covid-19. Di puskesmas, Arianti sempat masuk ke ruang bersalin puskesmas dan memohon agar kandungannya segera diperiksa terlebih dahulu.
Ia juga menjelaskan ada cairan dan darah yang telah keluar. Namun, petugas puskesmas memintanya sabar dan harus melakukan rapid test dulu. Arianti diminta mengikuti antrean untuk melaksanakan tes.
Suami Sempat Protes
Melihat kondisi istrinya yang melemah, suaminya protes kepada petugas puskesmas. Akhirnya, petugas mengizinkan Arianti mendaftar tanpa mengantre.
Setelah menjalani rapid test, hasil diperkirakan keluar setelah 30 menit. Karena kesakitan, Arianti kembali berusaha meminta dokter di ruang bersalin puskesmas untuk mengecek kandungannya terlebih dahulu.
"Saya bilang waktu itu, dokter bisa tidak minta tolong, bisa tidak saya diperiksa, kira-kira sudah bukaan berapa, apakah saya akan segera melahirkan soalnya sakit, saya bilang begitu. Dokternya tanya, tadi sudah keluar air dan darah, dia bilang belum waktunya tanpa memeriksa saya, saya diminta tunggu hasil rapid test dulu," kata Arianti.
Meski sudah memohon, tim medis di puskesmas tak bersedia menangananinya karena hasil rapid test belum keluar.
Ia pun pasrah jika sampai melahirkan di puskesmas. Karena tidak tahan, Arianti pulang mengganti pembalut dan meminta ibunya untuk menunggu hasil rapid test.
Keluarganya pun meminta surat rujukan agar bisa ditangani di RSAD Mataram. Tapi, petugas tak bisa mengeluarkan surat rujukan karena Arianti yang sedang mengganti pembalut tidak berada di puskesmas.
Memilih ke RS Permata Hati
Setelah mendapatkan hasil rapid test Covid-19 dari puskesmas, keluarga membawa Arianti ke Rumah Sakit Permata Hati. Tiba di RS Permata Hati, surat keterangan rapid test Covid-19 tak diakui karena tak melampirkan jenis alat rapid.
Arianti terpaksa melakukan tes ulang. Tim medis RS Permata Hati memeriksa kandungan Arianti. Mulanya, detak jantung janinnya lemah. Tapi, dokter menyebutkan, kandungannya mulai normal kembali.
Arianti lega. Ia mempersiapkan diri menjalani operasi sesar untuk melahirkan anaknya.Namun nasib berkata lain, setelah perjuangan yang dilakukannya, bayi laki-laki yang hendak diberi nama I Made Arsya Prasetya Jaya itu dinyatakan meninggal dunia saat di kandungan.
Keluarga Tak Bisa Terima
Arianti awalnya tak bisa menerima kabar buruk itu. Ia sempat menanyakan kondisi bayinya setelah operasi kepada dokter. Dokter, kata dia, menyebutkan bayinya sedang dipanaskan di inkubator.
Arianti yang masih tak percaya menghubungi suaminya yang membawa bayinya ke rumah duka. Ternyata betul, bayinya memang telah tiada.
Saat melakukan video call dengan suaminya, tangis Arianti pecah. Kesedihan tak terbendung. "Saya tak sanggup, saya tidak bisa lagi mengatakan apa-apa, saya hanya membesarkan hati istri saya," kata suami Arianti, Yudi.
Pihak keluarga tak terima jika bayi itu dinyatakan meninggal sejak dalam kandungan.
"Kalau memang meninggal tujuh hari lalu, kan akan berbahaya bagi ibunya, anak saya, akan ada pembusukan, tapi ini tidak demikian, bayi itu sama sekali tak berbau busuk, masih segar, seperti layaknya bayi baru lahir, diagnosa dokter inilah yang kami pertanyakan," kata Ketut Mahajaya, ayah kandung Arianti.
Mahajaya ingin masalah ini ditanggapi dengan serius, agar tak ada korban lain yang serupa. Pihak keluarga, kata Mahajaya, tak akan menuntut terkait kasus ini. Ia mengaku telah ikhlas.
"Tapi kami hanya ingin ada perbaikan ke depannya, tangani dulu pasien, utamakan kemanusiaan, jangan mengutamakan rapid test dulu baru tangani pasien," jelas Mahajaya.
Semoga kejadian serupa tak terulang kembali. Dan buat ibu-ibu yang sedang hamil di masa pandemi, sering-seringlah cari info dan tanya ke dokter terkait proses persalinan. Sehingga bisa segera disiapkan segala yang dibutuhkan.
Untuk meminimalisir kejadian serupa, meninggalnya anak dalam kandungan. Dan kalau perlu H-1 kelahiran sudah berada di rumah sakit. Agar tidak terjadi hal-hal yang tak diinginkan.