Sedang Haid, Tapi Ingin Sekali Ikut Pengajian di Masjid, Bagaimana Hukumnya?

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 10 Sep 2020

Sedang Haid, Tapi Ingin Sekali Ikut Pengajian di Masjid, Bagaimana Hukumnya?

Ilustrasi muslimah - Image from guebanget.com

Bagaimana penjelasan hukumnya?

Haid pada perempuan terkadang mengganggu beberapa aktivitas. Tidak hanya karena kram perut saja, melainkan juga terhalang adanya pendapat bahwa wanita tidak boleh masuk masjid. Lantas bagaimana jika sedang butuh ikut pengajian di masjid saat haid?

Ada perbedaan pendapat mengenai hukum perempuan haid berdiam di masjid, ada yang membolehkan tapi ada juga yang melarangnya. Lalu, bagaimana hukum perempuan haid yang ingin mengikuti pengajian di masjid.

Mahasantri Ma’had Aly Sukorejo, Muhammad Muhsin, menjelaskan dalam buletin Tanwirul Afkar (TA) bahwa para ulama masih berbeda pendapat mengenai hukum boleh tidaknya perempuan haid berdiam diri atau sekadar masuk ke masjid.

Diantara perbedaan tersebut, mereka terbagi menjadi tiga kelompok yakni:

Pertama, Mazhab Maliki dan Hanafi

Menurut pandangan Mazhab Maliki dan Hanafi, perempuan yang sedang haid tidak boleh berdiam diri atau sekadar melewati bagian dalam masjid. Hal ini berpijak pada hadist berikut ini:

“Diriwayatkan dari Ummi Salamah, beliau berkata: “Rasulluah SAW pernah masuk ke halaman masjid, kemudian beliau bekata dengan sangat keras: “Sesungguhnya masjid tidak halal bagi orang yang haid dan orang yang junub.” (HR Ibnu Majah)

Penjelasan bahwa hadist ini shahih sempat dibantah Ibnu Hazm dengan argumen sebaliknya. Menurutnya, hadits ini tidak termasuk hadits sahih karena ada rawi yang tak diketahui yakni Abu al Khatab al Hajar.

Kedua, Mazhab Syafii dan Hanbali

Menurut Mazhab Syafii dan Hanbali wanita yang sedang haid dan nifas boleh melewati tapi masjid jika memang darahnya tak mengotori area masjid. Namun dengan tegas tidak boleh berdiam diri di dalamnya.

Bahkan, ulama Hanbali memperbolehkan wanita haid yang darahnya sudah berhenti untuk berdiam diri dalam masjid. Asalkan memenuhi syarat tetap berwudu, karena alasan keharaman mengotori masjid sudah tidak ada. 

Dalil yang digunakan kelompok kedua ini adalah qiyas, yakni menyamakan keharaman orang yang sedang haid dengan orang junub untuk berada di masjid. Karena haid dianggap lebih berat dibandingkan junub, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 43: 

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS An-Nisa’: 43)

Namun, argumen kelompok kedua ini disanggah Imam al-Mahalliy. Menurut beliau, yang dimaksud ayat tersebut adalah larangan sholat kepada orang junub, bukan perkara mendatangi masjid. Sanggahan ini didukung dengan beberapa riwayat hadits dan atsar para Sahabat.

Ketiga, pendapat Imam Dawud al-Dzahiri dan al-Muzani

Pendapat ini memperbolehkan perempuan yang haid masuk , baik melewati atau berdiam diri di dalam masjid secara mutlak. 

Pendapat ini berpijak pada hadis yang diriwayatkan dari Sayidah Aisyah, bahwa ada seorang perempuan yang berkulit hitam pernah jadi budak sekelompok orang arab, kemudian mereka memerdekakannya. 

Wanita tersebut kemudian datang kepada Rasulullah SAW dan masuk Islam. 

Kemudian, dia memiliki tenda atau rumah kecil yang berada di masjid. Dan seperti halnya wanita normal lainnya, pasti mengeluarkan haid dan Rasulullah tetap membiarkan perempuan tersebut bertempat tinggal rumahnya yang berada di dalam masjid tersebut. 

Namun, dalil ini juga dianggap sebagai dalil yang lemah, sebab menurut sebagian ulama, bisa jadi perempuan tersebut memang sudah tidak haid atau ketika haid dia akan pergi dari masjid.

Alhasil, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa persoalan ini masih menjadi perbincangan di kalangan ulama fiqih. Ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang merinci, dan adapula yang membolehkannya secara mutlak. 

Meski begitu, seluruh ulama sepakat bahwa keharaman masuk masjid bagi perempuan yang haid masih bergantung pada alasan rasionalnya (illah), yaitu khawatir mengotori dan tidak menghormati masjid. 

Lagipula, ada pendapat dari Syekh Ali Muhammad Farkhus (Ulama Aljazair) menguatkan tak ada larangan wanita haid masuk masjid, sebagaimana berikut ini “Tidak ada dalil shahih dan tegas yang melarang wanita haid masuk masjid. Dan hukum asal seorang hamba itu tidak dibebani larangan.”

Oleh sebab itu, jika perempuan yang sedang haid bisa menjamin darah haidnya tidak keluar (tembus dan mengotori) ke area masjid. Maka ia tetap dinilai orang yang menghormati masjid dan boleh beraktivitas di dalamnya. 

Apalagi di zaman sekarang hampir seluruh pembalut yang dikenakan perempuan bisa menjamin keamanannya. Lalu, masihkah perempuan yang haid dilarang untuk belajar agama di dalam masjid dengan alasan mengotori masjid?

Bukankah orang yang menjauhkan dirinya dari masjid lebih tidak menghormati masjid dibandingkan seorang perempuan haid yang ingin belajar agama di dalam masjid? 

Oleh sebab itu, wanita yang sedang haid boleh menghadiri pengajian di masjid. Dan ingat serta menjaga betul agar darah haid tidak sampai mengotori area masjid. 

Wallahu 'alam bishowab. 

SHARE ARTIKEL