7 Hoax dan Fakta Omnibus Law UU Cipta Kerja yang Diungkap Kominfo

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 09 Oct 2020

7 Hoax dan Fakta Omnibus Law UU Cipta Kerja yang Diungkap Kominfo

Hoax dan Fakta Omnibus Law UU Cipta Kerja - Image from fajar.co.id

Jangan asal percaya... 

Di era teknologi seperti saat ini, penting untuk mengecek sumber dari informasi yang didapat. Dalam riuhnya demo Omnibus Law, ternyata terungkap banyak hoax yang disebar terkait pasal-pasal didalamnya. Berikut penjelasan hoax dan fakta dalam UU Cipta Kerja.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membeberkan tujuh hoax yang beredar di masyarakat terkait UU Cipta Kerja berikut penjelasan dan pasal-pasalnya. 

Sebelumnya diketahui, kesepakatan soal UU ini diambil dalam rapat paripurna yang digelar di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (5/10/2020). UU ini disahkan dengan dihiasi dengan berbagai penolakan Fraksi Partai Demokrat dan PKS.

Meskipun UU Cipta Kerja telah disahkan, sejumlah protes yang menolak undang-undang masih terus berlangsung. Bahkan, beberapa protes berujung pada kericuhan dan tindakan anarkis.

Namun, sayangnya, banyak yang termakan hoax terkait pasal-pasal UU Ciptaker. Berikut ini sejumlah fakta sesungguhnya dalam UU Ciptaker yang diungkapkan oleh Kominfo:

1. UU Cipta Kerja Tidak Memudahkan Tenaga Kerja Asing

Berkembang hoax yang mengabarkan bahwa UU Cipta kerja mempermudah masuknya Tenaga Kerja Asing ke dalam negeri. 

Fakta:

Padahal faktanya, Pasal 42 menjelaskan bahwa bahwa peraturan soal TKA tetap sama ketatnya. Harus disertai dengan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), dan tidak boleh perseorangan.

Tenaga kerja asing hanya diperbolehkan bekerja untuk jabatan dan dalam waktu tertentu serta tidak boleh menduduki jabatan personalia.

Pasal: 

Cek Bab IV Ketenagakerjaan
Pasal 89 Tentang perubahan terhadap pasal 42 ayat 1 UU 13 tahun 2003:
Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari Pemerintah Pusat. 

2. Nilai Pesangon Tidak Dikurangi 

Berkembang hoax bahwa nilai pesangon penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak dikurangi.

Fakta:

Fakta: Pasal 46A dan Pasal 46D menjelaskan bahwa pesangon tidak berkurang dan nilainya justru bertambah. Nilai manfaat yang diterima ditambah dari pihak pemerintah Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) berupa uang tunai, peningkatan keterampilan dan penyaluran pada pekerjaan baru.

Pasal:

Cek pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa krja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. 

Cek pasal 46 D
(1) Manfaat Jaminan Kehilangan Pekerjaan berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja dan pelatihan kerja.
(2) Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh peserta setelah mempunyai masa kepesertaan tertentu. 

Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) adalah skema baru terkait dengan jaminan sosial ketenagakerjaan yang tidak mengurangi manfaat jaminan sosial lainnya. 

Seperti halnya jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan kematian (JKM), jaminan hari tua (JHT) dan jaminan pensiun (JP)

3. Status Pekerja Kontrak Tidak Seumur Hidup

Berkembang hoax bahwa status pekerja kontrak seumur hidup dan tidak ada batas waktu kontrak.

Fakta:

Padahal faktanya, Pasal 59 ayat (3) justru bisa memaksa pemberi kerja mengangkat karyawan kontrak menjadi karyawan tetap. Sedangkan Pasal 61A menyatakan ada uang kompensasi saat kontrak berakhir (sebelumnya tidak ada/tidak diatur).

Pasal:
Cek Bab IV Ketenagakerjaan
Pasal 89 Tentang perubahan terhadap
Pasal 66 ayat 1 UU 13 Tahun 2003

Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu. 

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PWKT) atau pekerja kontrak hanya untuk pekerjaan yang memenuhi syarat saja. Pekerja kontrak dilindungi haknya hingga pekerjaan selesai. 

Setelah kontrak selesai, pekerja berhak mendapatkan uang kompensasi. (Pasal 61A)

4. Outsourcing Terbatas pada Pekerjaan Tertentu 

Berkembang hoax bahwa outsourcing bisa diterapkan untuk semua pekerjaan.

Fakta:

Padahal faktanya, Pasal 66 ayat (6), perusahaan alih daya (outsourcing) tetap mengikuti Permenaker 19/2012 yang dibatasi hanya untuk 5 jenis pekerjaan saja

Pasal:
Penjelasan UU Ciptaker angka 20, pasal 66 ayat 2:

Pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan alih daya memperoleh hak (yang sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerjasama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya di perusahaan pemberi. 

Sehingga dari pasal tersebut diketahui bahwa UU Cipta kerja mengharuskan perjanjian kerja outsourcing/alih daya mencantumkan perlindungan hak-hak pekerja. Buruh di perusahaan alih daya tetap berhak mendapatkan jaminan kesehatan, kecelakaan, kematian sama dengan pekerja tetap. 

Jika terjadi pengalihan kerja, perlindungan hak dan jaminan sosial pekerja tetap berlaku dan tidak boleh dikurangi.

5. Waktu Kerja Tidak Eksploitatif

Berdar hoax bahwa waktu kerjadalam UU Cipta Kerja terlalu eksploitatif, sehingga cenderung membebani dan memberatkan pekerja. 

Fakta:

Padahal faktannya, Pasal 77, waktu kerja tetap sama. Sedangkan Pasal 78 menyatakan pekerja bisa mendapatkan tambahan penghasilan dengan jam lembur sampai 18 jam dalam 1 minggu.

Pasal:
Cek pasal 77
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1 meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu. 

Jadi dari pasal tersebut bisa diketahui bahwa waktu kerja tetap sesuai dengan ketentuan terdahulu, yakni 40 jam per minggu. Yakni 8 jam per hari untuk 5 hari kerja dan 7 jam per hari untuk 6 hari kerja. 

Batas maksimal lembur ditambah dari 14 jam per minggu jadi 18 jam per minggu, dengan upah lembur harus tetap diberikan pada pekerja. 

6. Soal Hak Cuti

Beredar narasi bahwa hak cuti haid, melahirkan dan lainnya akan hilang.

Fakta: 

Padahal faktanya, Pasal 79 menyatakan bahwa waktu istirahat dan cuti masih diatur dan tetap mendapat upah penuh. Cuti haid, cuti melahirkan juga tetap menerima upah penuh (tidak diutak-atik).

Pasal: 

Bab IV: Ketenagakerjaan pasal 89 tentang perubahan terhadap pasal 79 UU 13 Tahun 2003
(Ayat 1) Pengusaha wajib memberi:
a. Waktu istirahat, dan
b. Cuti 

(Ayat 3) Cuti yang wajib diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus. 

Sementara itu cuti haid dan cuti melahirkan diatur pada pasal 81 dan pasal 82 UU 13/2003. Hak menerima upah penuh saat cuti dan istirahat diatur pada pasal 84 UU 13/2003, tidak ada perubahan di ketiga pasal. 

7. Soal Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK)

Beredar hoaks bahwa UMK akan dihapuskan. 

Fakta: 

Padahal faktanya, Pasal 88C justru menyatakan bahwa Gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan dapat menetapkan UMK.

Pasal:

Cek pasal:
Cek Bab IV: KETENAGAKERJAAN
Pasal 89 tentang perubahan terhadap pasal 88C UU 13 Tahun 2003:
1. Gubernur wajib menetapkan UMP dan dapat menetapkan UMKabupaten/Kota.
2. Upah minimum ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan, serta mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi dan inflasi daerah terkait.
3. Upah minimum Kabupaten/Kota harus lebih tinggi dari UMP. 

Sehingga jelas bahwa Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tetap ada dan tetap berlaku.

Jadi sebaiknya sebelum mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap pasal ini, penting bagi kita untuk mempelajari terlebih dahulu mengenai isi pasal dan juga memvalidasi sumbernya. 

Hal ini agar kita tak terjebak pada hoax dan justru secara tidak sadar menyebarkan hoaks tersebut. 

SHARE ARTIKEL