Penyebab Utama Pesawat Terbang di Indonesia Sering Jatuh
Penulis Dian Editor | Ditayangkan 12 Jan 2021Ilustrasi pesaawat jatuh dan kecelakaan - Image from makassar.terkini.id
Ada 3 faktor utama yang diungkap.
Media asing mengungkap berbagai penyebab dan faktor yang memengaruhi pesawat terbang di Indonesia kerap jatuh dan mengalami kecelakaan. Salah satunya adalah faktor geografis Indonesia.
Jatuhnya pesaawat Sriwijaya Air SJ 182 kembali membuka memori pahit tentang berbagai insiden kecelakaan pesawat di Indonesia.
Pesawat yang jatuh di Kepulauan Seribu, tepatnya di sekitar Pulau Lancang dan Pulau Laki pada Sabtu (9/1/2021) itu membawa total 62 penumpang.
Pesawat yang jatuh ini adalah tipe pesawat Boeing 737-500 dengan kode registrasi PK-CLC, dan sempat hilang kontak beberapa menit setelah lepas landas.
Sebelumnya, kecelakaan besar juga terjadi saat Lion Air JT 610 rute Jakarta-Pangkal Pinang yang jatuh pada 29 Oktober 2018.
Menurut data dari Aviation Safety Network, sebelum jatuhnya Sriwijaya Air SJ 182, sudah ada 697 korban kecelakaan pesawat di Indonesia dalam 10 tahun terakhir.
Baik pesawat militer maupun pesawat pribadi.
Cuaca Buruk dan Komunikasi
Menurut media Amerika Serikat (AS) Bloomberg dalam artikel berjudul "Jet Crash Adds to Long List of Aviation Disasters in Indonesia", ada dua faktor utama yang menyebabkan terjadinya insiden tersebut.
Pertama, faktor cuaca buruk yang terjadi di wilayah Indonesia.
"Indonesia, salah satu negara kepulauan terluas di Bumi, dengan pulau-pulau yang berjajar sepanjang London hingga New York, memiliki salah satu insiden badai petir dan sambaran petir terbanyak," tulis Bloomberg.
Media tersebut juga menyebutkan, kota Bogor pernah mengalami badai petir selama 322 hari selama satu tahun pada 1988.
"Ada juga letusan gunung berapi, yang memuntahkan gumpalan abu ke udara yang bisa tersedot mesin jet, menyebabkan kerusakan," lanjut Bloomberg di artikelnya pada Minggu (10/1/2021).
Media New York itu mencontohkan letusan Gunung Agung di Bali pada 2019, yang membuat sejumlah penerbangan dialihkan bahkan dibatalkan.
Faktor cuaca sendiri juga berdampak pada tertundanya penerbangan Sriwijaya Air SJ 182 selama 1 jam, sebelum kejadian kecelakaan.
Kedua, faktor komunikasi sebagai penyebab pesaawat Indonesia sering jatuh, ujar Bloomberg.
Contohnya insiden jatuhnya pesawat AirAsia pada Desember 2014 yang berangkat dari Surabaya.
Pilot Indonesia dan kopilot dari Perancis gagal menangani kendala di auto-pilot, sehingga pesawat terjun dan jatuh ke laut.
Bloomberg menutup pemberitaannya dengan data pesawat Boeing 737-500 yang mengalami 8 kecelakaan dengan total 220 korban tewas, berdasarkan data dari Aviation Safety Network.
Dampak Pandemi Mempengaruhi Mental Kru Pesawat
Channel News Asia (CNA) dan New York Times turut menerka-nerka penyebab pesawat Indonesia kerap jatuh.
Keduanya mempertanyakan kondisi pesawat dan kru yang baru kembali setelah "libur panjang" selama pandemi corona terjadi.
"Maskapai ini (Sriwijaya Air) pada akhir 2019 mengakhiri kemitraan selama setahun dengan maskapai nasional Garuda Indonesia, dan beroperasi secara independen," ujar CNA pada Minggu (10/1/2021).
Dalam artikel berjudul "Sriwijaya Air crash places Indonesia's aviation safety under fresh spotlight", CNA juga menyebutkan separuh lebih armada Sriwijaya Air sempat dikandangankan oleh Kementerian Perhubungan karena faktor kelayakan terbang.
Namun, pimpinan maskapai Sriwijaya Air pada Sabtu (9/1/2021) menyebut pesawat SJ 182 beroperasi dalam kondisi yang baik dan aman.
Dikandangkannya pesawat-pesawat selama awal pandemi virus corona lalu juga disorot oleh New York Times.
Dikatakan bahwa para pilot merasa mulai dari awal lagi setelah libur selama sebulan, ujar Captain Rama Noya, Ketua Asosiasi Pilot Indonesia yang juga merupakan penerbang Sriwijaya Air.
Kesulitan untuk mendapatkan kinerja yang baik, meski Sriwijaya Air memiliki dua simulator penerbangan untuk model 737 yang lebih tua, tulis NYT.
"Mental kru terpukul karena pemotongan gaji akibat pandemi, dan dengan jam terbang bulanan rendah, kinerja kru harus diperhatikan," ujar pakar aviasi indepen Indonesia, Gerry Soejatman, dikutip dari New York Times.
"Sebelum pandemi, para pilot Indonesia, terutama di maskapai LCC seperti Lion Air, mengatakan mereka dipaksa menerbangkan pesawat yang mereka rasa tidak aman," ujar media tersebut dalam artikel berjudul "Indonesia Crash Thwarts Push to Rehabilitate Country’s Airlines".
Semoga analisa-analisa ini bisa memberikan pandangan kepada ahli dan juga membuat rancangan solusi agar korban kecelakaan pesawat bisa diminimalisir.