Kisah Ulama Ditegur Malaikat karena Ghibah dalam Hati

Penulis Dian Editor | Ditayangkan 23 Nov 2020

Kisah Ulama Ditegur Malaikat karena Ghibah dalam Hati

Ilustrasi seorang ulama - Image from www.ngopibareng.id

Ghibah dalam hati saja dilarang, apalagi terucap dengan lisan 

Jangan asal membicarakan orang lain, sebab kalau tidak ghibah malah jadi lebih parah yakni fitnah. Berikut kisah seorang ulama yang ditegur malaikat karena menggunjing dalam hati seorang pria.

Dikisahkan suatu ketika seorang ulama bernama Ibrahim al-Ajiri sedang duduk-duduk santai di pintu sebuah masjid.

Selang beberapa saat, lewat seorang lelaki (sebut saja Fulan) yang membawa dua buah kain lap. Ibrahim kemudian menduga, orang yang lewat di dekatnya itu adalah seorang pengemis. 

“Andai saja ia mau bekerja, pasti ia tak akan menjadi pengemis seperti ini,” kata Ibrahim membatin.

Mimpi Didatangi Dua Orang Malaikat 

Kemudian, malam harinya Ibrahim bermimpi didatangi oleh dua orang malaikat. Mereka (dua malaikat) mengajak Ibrahim untuk masuk ke dalam masjid tempat ia duduk-duduk santai saat siang hari tadi. 

Saat memasuki masjid ia melihat ada seorang yang tidur, dengan dua kain lap menutupi wajahnya. Dua malaikat yang datang bersama Ibrahim itu membuka kain dan ternyata yang sedang tidur adalah Fulan.

“Makan dagingnya!” perintah kedua malaikat tersebut pada Ibrahim.

Ibrahim menolak karena memang ia tidak suka dan tidak mau memakannya. Kedua malaikat itu lantas berkata, 

“Tapi kamu telah menggunjingnya. Tak ada orang suka digunjingi.” 

Sontak, kalimat tersebut membuat Ibrahim terkejut dan membuatnya terbangun dari tidur.

Ulama Minta Maaf pada Si Fulan 

Setelah kejadian tersebut, Ibrahim benar-benar menyesal sebab telah menggunjing Fulan. Ia kemudian berniat untuk meminta maaf pada si Fulan. 

Lalu ia datang ke masjid dan menunggu si Fulan dengan duduk-duduk di pintu masjid. 

Dengan penuh kesabaran, ia selalu menunggunya dengan harapan semoga orang yang ia anggap pengemis itu lewat lagi agar dia bisa menyampaikan permohonan maafnya. 

Tak sedetik pun ia beranjak dari tempat duduknya meski sedikit kecuali untuk melakukan shalat fardlu saja.

Hari pertama, Ibrahim tidak bertemu dengan Fulan. Begitu pula di hari lainnya hingga akhirnya hari ke dua puluh sembilan. Namun di hari ketigapuluh, Fulan yang ditunggu-tunggu akhirnya lewat. 

Kemudian, Ibrahim pun segera bergegas menyusulnya. Setelah berhasil mendekatinya, Ibrahim berkata, “Aku ingin berbicara dengan Anda.”

Fulan pun menoleh dan berkata, “Wahai Ibrahim, kamu adalah salah satu dari sekian banyak orang mukmin yang menggunjing (ghibah) dengan hati.”

Mendengar ucapan tersebut, Ibrahim terkejut dan langsung jatuh pingsan selama beberapa saat.

Ketika Ibrahim siuman, Fulan berdiri tepat di dekat kepalanya. Lalu ia berkata, “Apakah kamu akan mengulangi lagi untuk menggunjing?”

“Tidak,” jawab Ibrahim.

Lelaki itu pun lantas pergi entah kemana dan Ibrahim tidak pernah lagi bertemu dengan Fulan untuk selama-lamanya. 

Jangan Menggunjing Meski dalam Hati 

Kisah di atas ditulis dalam Kitab Tarikh Baghad karya al-Khatib al-Baghdadi. Hikmah penting dalam kisah ini adalah tentang betapa terlarangnya perbuatan ghibah (menggunjing) orang lain. 

Bahkan, meski hanya diucapkan di dalam hati. Al-Jurjani mengungkapkan bahwa ghibah adalah membahas/menyebut orang lain dengan hal-hal yang tidak ia sukai. 

Apabila yang dikatakan adalah sebuah fakta atau benar maka disebut ghibah. Namun apabila salah (tidak ada pada diri yang dighibahi), maka hal itu namanya berbohong dan pada derajat tertentu bisa menjadi fitnah. 

Hal itu sebagaimana yang tertulis dalam hadist berikut ini: 

Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW pernah bertanya, “Tahukah kamu, apa itu ghibah?” 

Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.” 

Seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu tentang dirinya, maka berarti kamu telah menggibahnya (menggunjingnya). Namun apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah menfitnahnya (menuduh tanpa bukti).” (HR. Muslim no. 2589)

Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12)

Oleh sebab itu, kita perlu menghindari perilaku Ghibah agar terhindar dari dosa dan juga kemudharatan. Jika suatu saat kamu ingin melakukannya, ingatlah kalimat ini. "Apakah ada diantara kamu yang suka memakan bangkai saudaranya?" 

Ghibah yang Diperbolehkan 

Niscaya kita akan jijik dan serasa ingin muntah saat hendak melakukannya. Lantas bagaimana jika ghibah untuk tujuan yang baik? 

Berikut adalah 6 kondisi yang dibolehkan untuk menyebutkan aib orang lain, yakni: 

1. Melaporkan tindak kezaliman kepada penguasa atau pihak yang berwenang. Misalnya “Si Ahmad telah mencuri atau menzalimi orang.”

2. Meminta tolong kepada orang lain agar dihilangkan dari suatu perbuatan mungkar. Dan ingin membuat orang yang berbuat kemungkaran tersebut kembali pada jalan yang benar. 

Misalnya, meminta pada orang yang mampu menghilangkan suatu kemungkaran, “Si Rahmat telah melakukan tindakan kemungkaran semacam ini, tolonglah kami agar lepas dari tindakannya.”

3. Meminta fatwa pada seorang mufti seperti seorang bertanya mufti, “Saudara kandungku telah menzalimiku demikian dan demikian. Bagaimana caranya bisa lepas dari kezaliman yang ia lakukan.”

4 Mengingatkan kaum muslimin pada suatu kejelekan seperti halnya mengungkap jeleknya hafalan seorang perowi hadits.

5 Membicarakan orang yang terang-terangan berbuat maksiat dan bid’ah terhadap maksiat atau bid’ah yang dilakukannya, bukan pada masalah lainnya.

6 Menyebut orang lain dengan sebutan yang ia sudah ma’ruf dengannya seperti halnya menyebut si buta. Namun jika ada ucapan yang bagus, itu lebih baik. (Syarh Shahih Muslim, 16: 124-125)

Itulah hal-hal yang membuat diperbolehkannya ghibah, jadi di luar itu semua, maka tidak ada pembenaran sedikitpun atas perbuatan ghibah. Semoga kita bisa terhindar dari perbuatan ghibah. Aamiin ya robbal alamiin.

SHARE ARTIKEL