Saat Allah Mengangkat Derajat Ahli Maksiat dan Menghapus Amalan Ahli Ibadah

Penulis Dian Editor | Ditayangkan 03 Dec 2020

Saat Allah Mengangkat Derajat Ahli Maksiat dan Menghapus Amalan Ahli Ibadah

Ilustrasi ahli ibadah - Image from muslim.okezone.com

Jangan berbangga diri karena amalanmu 

Apalagi jika sampai merendahkan orang lain yang dinilai jauh lebih buruk dibandingkan dengan dirimu. Berikut adalah kisah yang menohok, saat Allah SWT mengangkat derajat ahli maksiat dan menghapus amalan ahli ibadah.

Dikisahkan, ada seorang lelaki dari kaum Bani Israil yang dijuluki Khali'. Khali adalah seorang yang gemar berbuat maksiat besar. 

Suatu ketika ia bertemu dengan 'Abid dari kaum Bani Israil. 'Abid adalah seorang yang ahli berbuat ketaatan dan di atas kepalanya terdapat payung mika.

Kemudian Khali' bergumam, "Aku adalah pendosa yang gemar berbuat maksiat, sedangkan dia adalah 'abid-nya kaum Bani Israil, lebih baik aku bersanding duduk dengannya, semoga Allah memberi rahmat kepadaku."

Kemudian berjalanlah Khali' tadi lalu duduk di dekat si 'abid. 

Lantas si 'abid pun bergumam, "aku adalah seorang 'abid yang alim, sedangkan dia adalah khali' yang gemar bermaksiat, layakkah aku duduk berdampingan dengannya?" 

Tiba-tiba saja si 'abid menghujat dan menendang si Khali hingga terjatuh dari tempat duduknya.

Kemudian Allah SWT memberikan wahyu kepada Nabi Bani Israil dengan firmannya, "Perintahkan dua orang ini yakni 'abid dan khali' untuk sama-sama memperbanyak amal, Aku benar-benar telah mengampuni dosa-dosa khali', dan menghapus semua amal ibadah 'abid." 

Maka, berpindahlah payung mika yang dikenakan 'abid sang ahli ibadah kepada khali' sang ahli maksiat. 

Hikmah Kisah Khali' dan 'Abid 

Kisah sederhana ini nyatanya memberikan pelajaran yang mendalam serta cambuk bagi kita. Seringkali kita merasa bangga dengan ibadah dan amal saleh yang telah dikerjakan sehingga seolah mudah menghakimi orang lain buruk dan rendah. 

Sesungguhnya, saat kita berani menganggap orang lain lebih buruk dari kita, keimanan dan ketaqwaan kita masih dipertanyakan dan bahkan diragukan. 

Syekh Ibnu Athaillah dalam Kitab al-Hikam menegaskan bahwa, "Maksiat yang melahirkan rasa hina pada dirimu hingga engkau menjadi butuh kepada Allah, itu lebih baik dibandingkan dengan ketaatan yang menimbulkan perasaan mulia dan sombong atau membanggakan dirimu."

Oleh sebab itu, hina dan butuh kepada Allah keduanya adalah sifat orang yang menghamba kepada-Nya. 

Sementara itu sifat mulia dan agung adalah sifat Tuhan, sehingga tidak ada kebaikan bagi seorang hamba yang taat tapi berbangga diri dan merasa agung selayaknya Tuhan.

Tawadhu-nya orang yang berbuat maksiat dan perasaan hina dan takut kepada Allah, itu lebih utama dibandingkan dengan takabbur-nya orang alim atau orang yang 'abid. 

Ibnu Athaillah membesarkan hati orang yang telah berbuat dosa supaya tidak putus asa terhadap ampunan Allah SWT.

Bahkan orang yang berdosa namun bertobat dengan penuh rasa hina dina dihadapan Allah itu dinilai lebih baik, dibandingkan dengan orang yang ahli ibadah yang merasa paling hebat, suci, dan mulia kemudian menjatuhkan orang-orang yang rendah menurut pandangannya. 

Rasulullah bersabda, "Jikalau kalian tak pernah berbuat dosa, niscaya yang paling saya takutkan pada kalian adalah yang lebih dahsyat lagi, yaitu 'ujub (kagum pada diri sendiri)." (HR Imam Ahmad)

Sifat hina dina adalah wujud sifat menghamba yang seharusnya dimiliki oleh setiap umat Islam. Manusia akan sulit mengakui kehambaannya apabila ia merasa lebih mulia, sombong, ujub, hebat dibandingkan dengan lainnya. 

Naudzubillahi min dzalik. Semoga kita senantiasa dijauhkan dari sikap ujub atau membangga-banggakan diri dan merendahkan orang lain dengan mudahnya. 

Berikut adalah salah satu perkatan Imam An Nawawi mengenai cara untuk menghilangkan kebanggan diri yang bisa menjerumuskan kita. 

“Cara menghilangkan kebanggaan ialah dengan mengingatkan dirinya bahwa dia tidak mencapai hal itu dengan daya dan kekuatannya. Namun itu merupakan anugerah dari Allah ﷻ, dan tidak patut baginya untuk berbangga karena sesuatu yang tidak diciptakannya, semata-mata itu merupakan anugerah dari Allah ﷻ.” (Imam an-Nawawi, at-Tibyân fî Adâb Hamalati al-Qur`ân, Dar el-Minhaj, halaman 70)

Memahami dan menyadari bahwa semua pencapaian dan semua amalan yang kita lakukan tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan Allah SWT membuat diri kita merendah dihadapan-Nya. 

Serta menjauhkan diri kita dari rasa ujub atau berbangga diri dan menilai orang lain lebih buruk.

SHARE ARTIKEL