Ilustrasi RS Rujukan - Image from wajibbaca.com
Bagaimana tak ditolak? Kenyataannya begini
Banyak pasien corona ditolak di RS Rujukan, padahal pasien corona harus segera ditangani agar meminimalisir penularan serta meningkatkan peluang keselamatan bagi mereka. Tapi kenyataannya tak seperti itu, karena hal-hal berikut inilah yang membuat banyak RS rujukan menolak pasien corona.
Sejak dikabarkannya virus corona masuk Indonesia, ada beberapa kejadian terkait penolakan pasien corona oleh rumah sakit. Ada yang ditolak rumah sakit biasa, ada pula yang ditolak oleh rumah sakit rujukan.
Seorang pasien bahkan ada yang ditolak 4 rumah sakit. Dia adalah salah seorang pasien dalam pengawasan (PDP) di Purbalingga, Jawa Tengah, ditolak empat rumah sakit dengan alasan yang bermacam-macam.
Alhasil, ia dirawat di puskesmas dengan petugas medis yang menggunakan jas hujan dan kacamata dari mika untuk perlindungan diri. Sebab di puskesmas, fasilitas APD nya sangat terbatas.
Selain itu ada juga pasien meninggal di ambulans usai ditolak 3 RS dan pasien wartawan dengan gejala covid-19 yang juga ditolak 2 rumah sakit rujukan.
Lantas timbul pertanyaan, mengapa sampai pasien terkesan ditolak dan ditelantarkan?
Baca juga : Salut, Hengky Kurniawan Pinjamkan Rumah Mewahnya untuk Tenaga Medis
Faisal Yunus, salah satu dokter spesialis paru-paru yang bertugas di RS Persahabatan, mengungkapkan alasan penolakan pasien. Hal itu dikarenakan adanya keterbatasan ruang isolasi, alat bantu pernapasan, alat pelindung diri (APD) serta jumlah tenaga medis yang tersedia.
"Itu semua karena pemerintah tidak menyangka, tidak siap dan menganggap tidak akan masuk corona. Setelah kejadian seperti ini baru semua pontang-panting. RS rujukan itu jumlah dan kapasitas daya tampungnya terbatas," kata Faisal.
"Di RS Persahabatan tempat saya bertugas, antrean masuk itu sekitar 800 orang yang terdaftar. Sementara daya tampungnya sekitar 40 orang di ruangan dan sekitar 20 di IGD. Tidak mungkin kita tampung semua. Tempat kita terbatas, tenaga medis juga terbatas, jadi tidak mungkin," katanya.
Faisal menekankan pula bahwa wabah Covid-19 tidak seperti penyakit lainnya. Penyakit lain bisa menjalani perawatan di ruang terbuka, seperti lorong rumah sakit, atau digabung dengan tempat perawatan pasien lainnya.
Sedangkan perawatan pasien Covid-19 tidak bisa sembarangan. Hal ini menjadi salah satu kesulitan besar yang dihadapi RS rujukan.
"Dulu demam berdarah bisa kita taruh di lorong, gang, dan lain. Kita tidak menolak pasien karena demam berdarah kan tidak menular. Kalau ini Covid kan menular, tidak bisa sembarangan kita taruh tempat. Jadi itu masalahnya," kata Faisal.
Sejalan dengan Faisal, Ketua Purna PB Ikatan Dokter Indonesia, Oetama Marsis, juga menyebutkan berbagai hambatan yang dialami oleh RS rujukan. Salah satunya adalah kekurangan APD serta jumlah pasien yang membeludak.
"Indonesia (Kemkes) awalnya lambat dan tidak sigap dalam menghadapi pandemi Covid-19, walaupun saat ini Pemerintah sudah mulai berjalan di jalur penanganan yang benar, tetapi tampaknya belum siap untuk menghadapi "ledakan" covid 19," kata Oetama.
Faisal menjelaskan bahwa pemerintah harus mengeluarkan keputusan tegas yakni dengan memerintahkan seluruh rumah sakit Indonesia untuk menangani pasien corona.
"Itu berlaku juga di seluruh dunia, tidak cukup jika hanya RS rujukan (yang menangani). Semua RS yang punya ICU, ventilator dan ruang isolasi turut berpartisipasi karena tidak mungkin semua ditanggulangi hanya oleh RS rujukan, dan hanya oleh dokter paru. Semua harus bergerak!" kata Faisal.
Faisal juga turut menghubungkan dengan kondisi RS Wisma Atlet yang baru dibuka langsung 400 jumlah pasiennya.
"Bayangkan, hanya dalam beberapa hari saja RS Wisma Atlet sudah ada 400 orang. Kita masih butuh banyak ruangan dan alat. Jika tidak, maka akan terjadi lagi seperti yang di Tangerang dan tempat lain, pasien meninggal sebelum mendapatkan perawatan," ujar Faisal.
Dokter Oetama juga menambahkan, solusi yang perlu dilakukan segera adalah menyiapkan RS rujukan darurat. Selain itu, RS darurat tersebut haruslah sudah siap untuk merawat pasien Covid-19 yang sakit sedang dan berat, rekrutmen SDM kesehatan secara masif serta percepatan pengadaan maupun produksi ventilator, dan APD.
"Bilamana gagal dengan Karantina Wilayah (Lockdown Partial) secepatnya beralih ke Karantina Nasional (Lockdown Total)" pungkasnya.
Achmad Yurianto, selaku juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, menyebutkan RS rujukan nasional yang disiapkan pemerintah telah memasok 1.967 ruang isolasi. RS tersebut bisa digunakan untuk merawat pasien Covid-19 dengan kondisi sedang hingga berat.
Selain itu, RS Wisma Atlet yang sudah dioperasionalkan sudah merawat inap 411 pasien.
"Ini upaya yang masih akan kita terus lakukan bersamaan dengan semakin bertambahnya kasus," kata Yurianto dalam konferensi pers yang disiarkan langsung melalui Youtube.
Kemudian, lebih lanjut Yuri mengungkapkan pemerintah juga telah menyiapkan 132 rumah sakit rujukan di seluruh Indonesia dalam penanganan virus corona.
Terkait kondisi RS rujukan yang kapasitasnya tidak mencukupi, Yurianto mengatakan perlunya upaya untuk melakukan penataan pasien di RS. Bisa dari skala prioritas kondisi, sehingga di RS rujukan hanya untuk pasien dengan kondisi sakit yang parah.
"Kita dorong kasus positif yg klinisnya ringan - sedang tidak dirawat di RS Rujukan, tetapi di RS Darurat Covid-19 di Wisma Atlet (kapasitas 3.000 orang) bahkan kalau klinis ringan bisa self isolation. Kondisi ini diharapkan bisa mengurangi penggunaan tempat tidur di RS rujukan dan hanya diperuntukan bagi pasien dengan kondisi sakit sedang berat," katanya.
Yurianto juga menyebutkan sudah ada banyak RS swasta yang menjadi RS rujukan.
"Sekarang banyak sekali RS Swasta yang sudah ikut serta dalam penanganan Covid-19, tetapi tetap seleksi kondisi pasien penting agar tepat guna." pungkasnya.