Pilih Menjadi Muallaf, Mantan Pendeta Tinggalkan Keluarga dan Hartanya

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 18 May 2020

Ibnu Masud, mantan pendeta dari Mojokerto 

Banyak hal yang ia tinggalkan demi masuk Islam. Tak sedikipun ia menoleh ke belakang, justru ia semakin mantap dengan pilihannya tersebut. Dulu ia sempat berpandangan negatif pada Islam.

Makam keluarga pondok pesantren Al Hasani, Desa Jatimulyo, Alian Kebumen Jawa Tengah jadi tempat Ibnu Mas'ud (55) mengisi waktunya selepas menjadi muallaf. Ia rajin membersihkan sampah yang berserak di makam. 

Ini adalah bagian dari pengabdiannya kepada agama barunya, Islam.

Untuk mencukupi kebutuhan harian, Ibnu Mas'ud tak segan untuk bekerja menjadi tukang kebun sekolah. Ia juga memungut sampah dan barang rongsokan untuk dijual kembali.

Baca juga : Tak Melulu Negatif, Pandemi Corona Hidupkan Kembali Sunnah Nabi Muhammad

Tinggalkan Harta Berlimpah dan Keluarganya

Kehidupan Ibnu Mas'ud yang merupakan seorang mualaf ini sangat bertolak belakang dengan kehidupannya dulu, semasa menjadi pendeta. Dulu ia tergolong priyayi.

Dulu ia menjadi pendeta di sebuah gereja di Mojokerto, Jawa Timur. Ia dan keluarganya sempat tinggal di kota dan bergelimang harta. 

"Aktivitas saya sekarang azan di masjid, membersihkan makam, jadi tukang kebun dan memungut rongsok di tempat sampah," kata Ibnu Mas'ud dilansir dari suarajawatengah.id, (14/5/2020)

Kehidupan Ibnu Mas'ud berubah total setelah berpindah agama dan menjadi muslim. Ia meninggalkan segala urusan dunia yang pernah memanjakannya dahulu.

Selain itu, Ibnu Mas'ud pun meninggalkan anak istri karena menolak ajakannya masuk Islam.

Agus Setiyono, nama awal Ibnu Mas'ud sebelum mualaf, memperoleh hidayah usai melihat bintang berbentuk lafadz Allah dengan aksara Arab di malam hari.

Ibnu Mas'ud merasa itu merupakan petunjuk kebenaran. Hingga hatinya mantap untuk masuk Islam. Setiyono lalu disarankan budenya ke Ponpes Lirboyo Kediri untuk memantapkan keyakinannya dan memperdalam agama Islam. 

Asyhari Muhammad Al Hasani yang juga Ketua Pagar Nusa Kebumen. Ia bertemu Kyai Asyhari sewaktu di Lirboyo hingga memutuskan ikut ulama itu pulang ke Kebumen atas restu KH Idris Marzuki.

Tiga tahun menimba ilmu di pesantren membuat pengetahuan agama Mas'ud terus berkembang. 

Ia yang telah matang belajar teologi Kristen hingga menjadi pendeta, kini harus mulai nol lagi untuk memperdalam agama barunya, Islam. 

"Alhamdulillah pengetahuan bertambah. Kegiatan istigasah, mujahadah saya ikuti. Kitab kuning saya pelajari," kata Ibnu Mas'ud.

Semakin dalam pengetahuannya tentang Islam, hatinya semakin mantap bahwa pilihannya benar. Agama Islam ternyata tak seperti bayangannya dulu sebelum menjadi mualaf, yakni keras dan mengerikan. 

Agama Islam mengajarkan kedamaian serta akhlakul karimah. Bukan radikalisme sebagaimana yang dicitrakan dan digembar-gemborkan selama ini.

Ia kini tahu aksi teror hanyalah ulah oknum yang membawa nama agama untuk melancarkan aksinya. 

Gerejanya Pernah Dibom

Citra Islam yang dulu diketahuinya lekat dengan terorisme bukan tanpa alasan. Pasalnya ia pernah punya pengalaman tentang kejahatan terorisme yang sempat mengancam nyawanya. 

Gerejanya pernah dibom saat ia dan umat Kristiani lain menjalankan upacara Natal.

Seketika ledakan itu membuat jemaat lari kocar kacir. Mas'ud yang kala itu masih bernama Agus Setiyono ikut lari tunggang langgang untuk menyelamatkan diri. 

Insiden itu bahkan menewaskan seorang anggota Banser NU yang sedang berjaga untuk mengamankan gereja. 

Ibnu Mas'ud berhasil selamat dari insiden itu, meski ada jemaat yang luka karena terkena puing ledakan. 

Meski selamat, insiden itu melahirkan trauma mendalam bagi Mas'ud. Ia benar-benar ketakutan jika peristiwa serupa terulang kembali dan menimpanya. 

"Saya tidak membenci (Islam), saya hanya takut saat itu," kata Ibnu Mas'ud.

viral minggu ini

BAGIKAN !

Jika kontent kami bermanfaat