Mulianya Rasa Malu, Cabang Keimanan yang Sudah Banyak Luntur di Zaman ini

Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 17 Sep 2020

Ilustrasi akhlak malu - Image from islampos.com

Padahal rasa malu itu akhlak yang sangat luar biasa

Namun banyak hilang di zaman sekarang ini

Disebutkan jika kita kehilangan rasa malu, maka hilanglah seluruh kebaikan. Lantas malu seperti apa yang diperintahkan oleh Allah SWT? Dan bagaimana pula kita membentuk dan menumbuhkan rasa malu kita?

Dalam suatu riwayat, Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya diantara yang didapat manusia dari kalimat kenabian yang pertama ialah : Jika engkau tidak malu, berbuatlah sekehendakmu.” (HR. Bukhari)

Hadits tersebut sangat penting artinya dan harus menjadi perhatian yang serius bagi setiap umat Islam. 

Sebab dalam hadis ini terdapat satu hal pokok dan penting yang merupakan tumpuan akhlak dalam Islam. 

Meski kalimatnya singkat, tapi padat maknanya dan sarat akan pesan moral. 

Karena didalamnya Rasulullah SAW mengingatkan kita akan pentingnya rasa malu, sebagai suatu sifat akhlak-akhlak Islami. 

Seorang muslim adalah orang yang selalu menjaga harga dirinya karena bersifat pemalu. 

Sifat malu wajib hukumnya dimiliki oleh setiap muslim. Ia merupakan akhlak yang mulia, agung, dan ahlak ini memang diperintahkan oleh syariat Islam untuk dimiliki. 

Malu adalah Salah Satu Cabang Keimanan 

Begitu pentingnya kedudukan rasa malu hingga menjadi salah satu cabang keimanan. Hal ini sebagaimana hadist dari Abu Hurairah ra. ia berkata: 

Rasulullah SAW bersabda, “Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih, yang paling utama adalah ucapan ‘Laailaahaillallah’, sedangkan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan, dan malu itu salah satu cabang keimanan” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Selain itu, hadist yang diriwayat Ibnu Majah juga menyebutkan "Malu termasuk bagian dari iman dan iman balasannya di surga."

Imam Nawawi dalam riyadhus shalihin menuliskan, hakikat sifat malu merupakan sebuah budi pekerti.

Yang menyebabkan seseorang meninggalkan perbuatan yang buruk dan dia tidak mau lenggah menunaikan hak seseorang yang mempunyai hak.

Sebuah riwayat dari Abul Qasim juga menjelaskan: 

"Malu merupakan perpaduan antara melihat berbagai macam kenikmatan atau karunia dan melihat adanya kelengahan, kemudian tumbuhlah diantara kedua macam sifat itu suatu keadaan yang dinamakan malu."

Secara umum, para ulama seperti Ibnu Rajab Al-Hambali membagi sifat malu menjadi dua macam, yakni malu sebagai sebuah tabiat atau pembawaan yang dianugerahkan Allah SWT sejak manusia lahir. 

Kedua, malu yang dilahirkan dari hasil usaha. Sabda Rasulullah SAW dalam hadits ini lebih merujuk pada malu dalam bentuk kedua. 

Untuk itu, kita wajib merawat dan menumbuhkan rasa malu ini dengan berusaha mengenal siapa Allah dan siapa diri kita.

Tingkatan Rasa Malu 

Sedangkan tingkatannya, Ibnu Qoyyim membagi sifat malu menjadi tiga tingkatan yaitu

Pertama sifat malu yang muncul karena kita tahu bahwa Allah melihat dirinya, sehingga setiap muslim terdorong untuk bermujahadah, mencela keburukan dirinya, dan dia tidak pernah mengeluh. 

Saat seorang hamba mengetahui bahwa Allah melihat dirinya, maka hal ini akan membuatnya malu terhadap Allah, dan mendorongnya semakin taat. 

Kedua sifat Malu yang muncul karena merasa sedang bersama dengan Allah. Sehingga seorang hamba akan selalu menumbuhkan cinta, merasakan kebersamaan dan tidak suka bergantung kepada makhluk. 

Kebersamaan dengan Allah ada dua macam: Umum dan khusus. Yang umum ialah kebersamaan ilmu dan keikutsertaan, seperti firman-Nya, “Dan, Dia bersama kalian di mana saja kalian berada.” (Al-Hadid: 4). 

Sedangkan kebersamaan yang khusus ialah kedekatan bersama Allah, sebagaimana yang tertulis dalam firman-Nya. 

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan mereka yang berbuat kebajikan.” (An-Nahl: 138). 

“Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah: 153).

Ketiga Malu yang muncul karena melepaskan ruh dan hati dari makhluk, tidak ada kecemasan, tidak ada pemisahan dan tidak berhenti untuk capai tujuannya. 

Jika ruh dan hati bersama Pencipta, maka setiap hamba tidak lagi khawatir jika berpisah dengan Tuhannya. Di dalam hati itu juga tidak ada sesuatu selain Allah SWT. 

Akibat Hilangnya Sifat Malu

Umar bin Khatab pernah berkata; "Barang siapa yang rasa malunya sedikit maka sifat waro’nyapun berkurang dan barang siapa yang sifat wara’nya berkurang maka hatinya pasti akan mati."

Sebuah riwayat dari Salman Alfarisi menuliskan; 

"Sungguh jika Allah berkehendak untuk membinasakan seseorang maka akan Allah hilangkan rasa malu dari diri orang tersebut. 

"Jika rasa malu sudah tercabut dari dirinya maka tidaklah kau jumpai orang tersebut melainkan orang yang sangat Allah murkai. Setelah itu akan hilang sifat amanah dari diri orang tersebut. 

"Jika dia sudah tidak lagi memiliki amanah maka dia akan menjadi orang yang suka berkhianat dan dikhianati. 

"Setelah itu sifat kasih sayang akan dicabut darinya. Jika rasa kasih sayang telah dicabut maka dia akan menjadi orang yang terkutuk. Sesudah itu, ikatan Islam akan dicabut darinya.”

Ibnu Abbas pun menjelaskan ; “Rasa malu dan iman itu satu ikatan. Jika dicabut salah satunya maka akan diikuti oleh yang lain.” (Diriwayatkan dalam Mu’jam Ausath).

Perkataan dua orang sahabat Nabi di atas menunjukkan bahwa orang yang tidak lagi memiliki rasa malu itu tidak memiliki akhlak yang mampu mencegahnya melakukan keburukan. 

Dia tidak akan sungkan untuk melakukan yang haram dan tidak takut dosa. Lisannya juga tidak berat untuk mengucapkan perkataan yang buruk. 

Ibnu Qoyyim juga berkata, bahwa salah satu sebab merajalelanya kemaksiatan adalah hilangnya rasa malu sebagai unsur utama hidupnya hati. 

Malu adalah pondasi dari setiap kebaikan. Jika seseorang telah kehilangan rasa malu berarti sinarlah seluruh kebaikan. Yuk latih dan miliki rasa malu, inshaallah akan senantiasa mendekatkan kita pada kebaikan. 

viral minggu ini

BAGIKAN !

Jika kontent kami bermanfaat