Presiden Prancis, Macron (di tengah) - Image from kumparan.com
Buntut dari pernyataan Presiden Prancis yang hina Islam
Presiden Macron menyebut serangan tersebut sebagai serangan teroris Islam. Tak hanya itu, ia juga menegaskan ia tidak akan menyerah menyuarakan kebebasan. Begini kronologi peristiwa serangan tersebut.
Menurut sejumlah pejabat Prancis, pelaku penikaman tiga orang hingga tewas di sebuah gereja di Nice baru datang dari Tunisia.
Pria pelaku penikaman tersebut berusia 21 tahun dan memiliki dokumen Palang Merah Italia yang diterbitkan setelah dia tiba menggunakan sebuah kapal migran di Pulau Lampedusa, Italia, bulan lalu.
Akibat kejadian tersebut, pelaku ditembak polisi Prancis dan kini sedang dalam kondisi kritis.
Salah satu korban, perempuan usia lanjut usia, yang datang ke basilika untuk beribadah bahkan diketahui "hampir terpenggal."
Presiden Macron: 'Serangan Teroris Islam'
Menanggapi kejadian tersebut, Presiden Emannuel Macron menegaskan hal itu adalah "serangan teroris Islam".
Wali kota Nice, Christian Estrosi juga berpendapat bahwa semua bukti menunjukkan insiden itu adalah "serangan teroris di jantung basilika Notre-Dame."
Estrosi menyebut pelakunya sebagai "Fasisme Islamis" dan tersangka berulang kali mengucapkan "Allahu Akbar (Tuhan Maha Besar)".
"Pada tersangka kami menemukan sebuah Quran dan dua telepon, belati yang digunakan dalam kejahatan—30cm dengan pinggiran untuk memotong 17cm. Kami juga menemukan sebuah tas yang ditinggalkan penyerang. Di sisi tas ini terdapat dua pisau yang tidak digunakan dalam serangan," kata kepala jaksa antiteroris Prancis, Jean-François Ricard.
Menurut sumber-sumber kepolisian, pelaku penikaman bernama Brahim Aioussaoi. Para jaksa anti-teror telah menggelar investigasi dan Prancis meningkatkan taraf keamanan nasional pada level tertinggi.
Berbicara setelah berkunjung ke Nice, Macron mengungkapkan: "Jika kami kembali diserang, itu karena nilai-nilai yang kami miliki: kebebasan, kesempatan di tanah air kami untuk punya keyakinan secara bebas dan tidak menyerah pada teror."
"Saya kembali mengatakan dengan sangat jelas hari ini: kami tidak akan menyerah."
Keamanan Diperketat
Menurut Macron, jumlah serdadu yang dikerahkan untuk melindungi tempat-tempat umum, seperti gereja dan sekolah, akan ditambah dari 3.000 jadi 7.000 personel.
Polisi belum menyebukan motif pembunuhan tersebut. Namun serangan ini terjadi menyusul protes di sejumlah negara terkait langkah Presiden Macron yang membela penayangan karikatur yang menggambarkan Nabi Muhammad.
Dua serangan terpisah terjadi pada Kamis (29/10), satu di kota lain Prancis dan satu terjadi di Arab Saudi.
Seorang pria ditembak mati di Montfavet paca mengancam polisi dengan pistol tangan. Dan seorang penjaga diserang di luar konsulat Prancis di Jeddah. Tersangka kemudian ditahan dan penjaga gedung dibawa ke rumah sakit.
Pagi, sebelum Misa pertama digelar, tiba-tiba ketiga korban diserang di dalam basilica pada Kamis (29/10).
Dua di antara mereka tewas di di dalam gereja: seorang perempuan berusia 60 tahun bahkan nyaris terpenggal, dan seorang pria berusia 55 tahun yang tenggorokannya dibelah.
Korban pria merupakan salah satu anggota pengurus gereja. Seorang korban lainnya, perempuan berusia 44 tahun, berhasil kabur ke kafe dekat gereja setelah ditikam berkali-kali. Namun nahas, dia meninggal dunia.
Belakangan terungkap, salah seorang saksi mata membunyikan alarm dengan sistem perlindungan khusus yang dibuat oleh pemerintah kota.
Dikutip dari BBC, Chloe, seorang saksi mata yang tinggal dekat gereja, menjelaskan kepada BBC: "Kami mendengar banyak orang berteriak di jalan. Kami melihat dari jendela bahwa ada banyak, banyak polisi berdatangan dan ada banyak, banyak tembakan."
Tak hanya itu, Tom Vannier, seorang mahasiswa jurusan jurnalistik yang datang di lokasi kejadian setelah serangan berlangsung, juga mengatakan banyak orang menangis di jalan.
Tak seberapa lama, Empat polisi tiba di tempat kejadian perkara pada pukul 08.57 waktu setempat (14.57 WIB). Kemudian pelaku ditembak dan ditahan, kata jaksa antiteroris Prancis.
Nice pernah menjadi lokasi serangan teroris empat tahun lalu, saat salah seorang warga Tunisia mengemudikan truk hingga menabrak kerumunan orang yang merayakan Hari Bastille pada 14 Juli.
Akibatnya, sebanyak 86 orang meninggal dunia saat itu.
Meski mendapatkan berbagai kecaman dari Negara Islam dunia, serta boikot produk Prancis di beberapa negara. Presiden Macrom terus menegaskan tidak akan menyerah dalam membela nilai kebebasan yang diyakininya.
Padahal, sejatinya kebebasan tetap saja memiliki batasan. Kebebasan diperbolehkan jika tidak melanggar batasan norma yang ada. Dan kebebasan tidak berarti bebas untuk mencela dan menghina keyakinan kaum lain.
Semoga segera ada titik terang dari kejadian ini.