Kemenkes Akui Rapid Test Corona Validitasnya Kurang

Penulis Isfatu Fadhilatul | Ditayangkan 03 Apr 2020

Alat rapid test kurang valid - Image from wajibbaca.com

Hati-hati tetap menjaga kebersihan dan kesehatan

Walaupun rapid test menunjukkan Anda negatif corona, bukan berarti Anda kebal. Sebab Kementerian Kesehatan sebut hasil rapid test yang dibagikan ke warga validitasnya kurang.

Pemerintah telah menggunakan rapid test kit sebagai alat deteksi awal corona. Alat itu diprioritaskan bagi tenaga medis dan orang yang pernah kontak dekat dengan pasien positif corona.

Meskipun demikian, Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa rapid test berbasis imunoglobin atau antibodi yang digunakan saat ini memiliki validitas yang kurang. 

Hal itu disampaikan oleh Kepala Badan Litbangkes Kemenkes, Siswanto, dalam rapat kerja dengan Komisi IX secara teleconference.

Meski demikian, ujar Siswanto, rapid test antibodi tersebut cukup bagus sebagai langkah pemindaian awal.

"Rapid test antibodi yang sudah dibagikan itu kalau dilihat dari validitas memang kurang, tapi lumayan untuk screening," kata Siswanto, seperti yang dilansir dari laman Kumparan, Kamis (2/4).

Diketahui rapid test antibodi merupakan pemeriksaan yang mendasarkan pada terbentuknya antibodi dalam tubuh apabila terdapat virus pada tubuh.

Akan tetapi orang yang hasilnya negatif belum tentu bebas corona atau bahkan kebal dari virus.

Orang tersebut harus kembali menjalani rapid test 7-10 hari setelahnya, lantaran imunoglobin baru terbentuk 6-7 hari setelah virus menginfeksi tubuh.

Sementara bagi orang yang positif, harus menjalani tes real time PCR atau swab tenggorokan. Hal itu guna memastikan apakah orang tersebut positif COVID-19 atau tidak.

"Yang paling canggih adalah PCR. ini adalah pemeriksaan biomolekuler yang canggih karena untuk deteksi gen dari virus ini," ujar Siswanto.

Baca Juga: Innalillahi, 12 Dokter RI Meninggal Akibat Kelelahan dan Terjangkit Covid-19

Seberapa akurat rapid test?

Sebenarnya seberapa akurat sih, rapid test corona itu?

Ahmad Rusjdan Utomo, Principal Investigator Stem Cell and Cancer Research Institute (SCI) Jakarta, menjelaskan bahwa memang ada semacam 'salah arti' yang menyebut jika rapid test merupakan tes yang akurat, bahkan angkanya mencapai 95 persen. 

Sebab, kata Ahmad, rapid test menggunakan antibodi sebagai acuannya, sedangkan untuk bisa mendapatkan antibodi, pasien harus terinfeksi virus dalam waktu yang lama, antara seminggu hingga dua minggu. 

“Karena rapid test ini kan mencari antibodi yang terbentuk dan prosedurnya memang sederhana sekali, tinggal ditusuk sedikit, diambil darahnya, lalu langsung dilihat antibodinya terdeteksi atau tidak. Durasinya mungkin sekitar 10 menit, paling lambat mungkin 15 menit,” kata Ahmad seperti yang dilansir dari laman Asumsi, (24/3).

Ahmad juga mempertanyakan tujuan dari rapid test. Jika untuk mencari individu yang sedang terinfeksi aktif dan dia berpotensi menularkan ke yang lain, maka sebetulnya rapid test ini kurang membantu. 

“Karena dia menguji yang di ujung, jadi ketika orang ini bahkan sudah mulai sembuh gitu ya, nah itu pasti positif,” ujar Ahmad.

Oleh karena itu, lanjut Ahmad, angka 90 persen lebih itu sebetulnya pada konteks 'orang-orang' yang mungkin saja mulai menjalani penyembuhan. 

Baca Juga: Pasar Wuhan Buka Lagi, Netizen: `Mungkin benar Virusnya bukan dari hewan`

Kondisi itulah yang menurut Ahmad justru membuat negatif palsunya tinggi, dalam artian orang tersebut sedang mengalami infeksi, terlebih jija dia menjalani rapid test kurang dari dua minggu atau kurang dari seminggu.

“Itu kemungkinan besar akan negatif, tapi negatif palsu. Karena apa? Karena dia sudah terinfeksi oleh virus." ujarnya.

Menurut Ahmad, rapid test sangatlah berbeda dengan tes massal COVID-19 yang dilakukan di Korea Selatan. 

Di Korsel, justru tim medis yang mengeluarkan pernyataan bahwa rapid test yang berbasis antibodi itu tidak akurat, sehingga mereka tidak melakukan prosedur tersebut.

“Mereka (Korea Selatan) melakukan swab test, diambil melalui drive-through, jadi mobilnya datang, individunya tetap di mobilnya masing-masing. Diambil swab-nya, lalu dikirim ke pusat laboratorium, yang mengerjakan tes PCR. Makanya kita memang perlu menambahkan kapasitas PCR, seperti Korsel.” papar Ahmad.

viral minggu ini

BAGIKAN !

Jika kontent kami bermanfaat