Najwa Shihab menyampaikan kekecewaannya terkait wacana Menkumham - Image from wajibbaca.com
Napi koruptor dibebaskan?
TIDAK. Itulah satu kata yang mungkin keluar dari mulut kita. Sama halnya yang diungkapkan oleh Najwa Shihab. Ia menyoroti bagaimana 'mudahnya' napi koruptor dibebaskan dengan alasan corona.
Beberapa waktu belakangan ini, nama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly tengah menjadi sorotan.
Hal itu terjadi menyusul pernyataannya terkait pembebasan narapidana tindak pidana korupsi selama pandemi virus corona jenis baru atau Covid-19.
Yasonna berkata bahwa wacana itu ia ungkapkan agar penghuni lembaga pemasyarakatan bisa terhindar dari virus corona dengan adanya pengurangan jumlah napi
Sontak, wacana itu pun mengundang pro dan kontra.
Salah satu warga yang membuka suara adalah sosok presenter yang juga putri cendekiawan muslim Quraish Shihab, Najwa Shihab.
Najwa Shihab mengemukakan kekecewaan terhadap pernyataan Yasonna itu melalui media sosial Instagram miliknya, @najwashihab pada Jumat (3/4/2020)
View this post on InstagramA post shared by Najwa Shihab (@najwashihab) on Apr 3, 2020 at 7:47am PDT
Perempuan yang kerap dipanggil Nana ini dengan tegas menyebut "Nanti Dulu!"
Awalnya, Najwa menjelaskan bagaimana kondisi lapas yang kelebihan kapasitas dan membuat penyebaran virus corona tak terkendali.
Najwa memang mengakui ada lapas yang kondisinya tidak manusiawi. Bahkan, para napi harus bergantian tidur dengan napi lain karena kelebihan kapasitas.
"Secara prinsip alasan ini sangat bisa diterima. Kondisi lapas kita memang tidak manusiawi, orang bertumpuk seperti pindang, bahkan tidur bergantian." tulisnya.
Meski demikian, Najwa menilai hal serupa justru tak terjadi di lapas napi kasus koruptor.
"Tapi alasan ini menjadi mengada-ada ketika kita bicara soal napi koruptor.
Sel bagi koruptor berbeda dengan tahanan lain.
Di Lapas Sukamiskin misalnya, satu napi satu kamar. Lengkap dengan fasilitas pula.
Alih-alih berdesak-desakan dengan napi lain sehingga bisa tertular corona, para koruptor di Sukamiskin bahkan ada yg bisa mandi air panas di kamar mandi pribadi dan olahraga dgn alat khusus di dalam sel eksklusif mereka." tulisnya.
Menurut Najwa, alasan pembebasan napi koruptor untuk mencegah penyebaran Covid-19 tidak relevan.
"Dari hampir 250 ribu napi di seluruh negeri, napi korupsi jumlahnya 4500. Jadi sekitar 1,8 persen dari total napi.
Pembebasan napi koruptor dgn tujuan menghambat penyebaran covid 19 di Lapas menjadi tidak relevan, krn angkanya sangat kecil dibanding napi lain." tulis Najwa.
Baca Juga: Menkumham Tuding Najwa Shihab Provokatif dan Gegabah
Najwa juga menyebut usulan Yasonna Laoly ini menimbulkan kecurigaan dari para pegiat antikorupsi.
"Menjadi wajar jika sejumlah pegiat antikorupsi curiga kebijakan membebaskan napi koruptor ini hanyalah akal2an saja.
Sdh beberapa kali Kementerian Hukum dan HAM berupaya utk meringankan hukuman koruptor lewat revisi peraturan perundangan." tulis Nana.
Lebih lanjut, Najwa memberikan pesan kepada Menteri Yasonna Laoly untuk lebih terbuka ke publik bagaimana kondisi sel untuk napi koruptor di Indonesia.
"Jadi Pak Menteri yang terhormat, supaya kita tidak curiga macam-macam, coba dibuka dulu ke publik, narapidana kasus korupsi apa dan di mana yang menempati sel berdesak-desakan seperti napi umum pencuri ayam yang bahkan tidurnya harus bergantian?" tulis Najwa.
Dalam kalimat penutup, Najwa kembali menyindir bagaimana di lapas Sukamiskin, Setya Novanto masih bisa plesiran dan bahkan menonton Netflix.
"Oh ya, sekalian kalau memang mau cek lapas koruptor, titip cek lagi sel Papa Setya Novanto dan kawan-kawannya di Sukamiskin, masih di sel lagi nonton Netflix atau lagi plesiran makan di warung Padang #CatatanNajwa," tutup Najwa dalam captionnya.
Baca Juga: Menkumham: `Yang tak terima pembebasan napi sudah tumpul rasa kemanusiaan`
Sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mewacanakan pembebasan beberapa narapidana kasus korupsi guna mencegah penyebaran Covid-19 di dalam lapas.
Untuk mewujudkan wacana itu, Yasonna pun berencana merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Sebab, napi koruptor yang tata laksana pembebasannya diatur lewat PP, tidak dapat ikut dibebaskan bersama 30.000 napi lainnya.
"Karena ada beberapa jenis pidana yang tidak bisa kami terobos karena Peraturan Pemerintah Nomor 99/2012," ujar Yasonna dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR yang digelar virtual, Rabu (1/4/2020).
Sebelumnya, Yasonna telah menerbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 10 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19.
Dalam kepmen tersebut, dijelaskan bahwa salah satu pertimbangan dalam membebaskan para tahanan itu adalah tingginya tingkat hunian di lembaga pemasyarakatan, lembaga pembinaan khusus anak, dan rumah tahanan negara.
Hal itulah yang kemudian membuat lapas dan rutan rentan terhadap penyebaran virus Corona.
Akan tetapi, napi khusus kasus korupsi tidak bisa ikut dibebaskan karena terganjal PP Nomor 99 Tahun 2012. Itulah sebabnya Yasonna ingin PP tersebut direvisi.
"Perkiraan kami bagaimana merevisi PP 99/2012 tentu dengan kriteria ketat sementara ini," ujar Yasonna.
Kriteria ketat yang dimaksud yaitu, asimilasi hanya diberikan kepada napi korupsi dengan berusia di atas 60 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidana yang jumlahnya sebanyak 300 orang.
Yasonna mengatakan, usulan revisi PP Nomor 99 Tahun 2012 ini akan disampaikan kepada Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas (ratas).
"Kami akan laporkan ini di ratas dan akan kami minta persetujuan presiden soal revisi emergency ini bisa kita lakukan," ujar Yasonna.
Baca Juga: Inalillahi, Dr Ketty yang Sempat Rawat Menhub Budi Karya Kini Telah Gugur
Menanggapi wacana Yasonna, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron mengingatkan bahwa, aspek tujuan pemidanaan dan keadilan tidak boleh diabaikan, meskipun pembebasan narapidana dengan alasan kemanusiaan tetap bisa dilakukan.
"Itu yang saya garis bawahi, asal tetap memperhatikan aspek tujuan pemidanaan dan berkeadilan. Ini kan bukan remisi kondisi normal, ini respons kemanusiaan sehingga kacamata kemanusiaan itu yang dikedepankan," ujar Ghufron kepada wartawan, Rabu.
Ghufron juga mengatakan, KPK akan menyerahkan mekanisme revisi PP tersebut kepada Kemenkumham.
Meski demikian, KPK juga akan memberikan koridor agar revisi PP tidak mengabaikan aspek tujuan pemidanaan dan keadilan.
Menurut Ghufron, para narapidana kasus korupsi tetap perlu diperhatikan selayaknya manusia dalam hal pencegahan penularan virus corona.
"Bukan mendukung atau tidak, ini memahami dan respons terhadap penularan virus Covid-19, itu intinya, dengan pertimbangan kemanusiaan bahwa mereka juga manusia yang masih memiliki hak dan harapan hidup," ujar Ghufron.
Secara terpisah, plt Juru Bicara KPK Ali Fikri menambahkan, wacana revisi PP tersebut harus dikaji secara matang dan jangan sampai memberikan jalan pintas bagi para koruptor untuk menghirup udara bebas.
KPK, ujar Ali, tidak pernah dimintai pendapat tentang substansi dari materi yang akan dimasukan dalam perubahan PP tersebut.
"KPK berharap jika dilakukan revisi PP tersebut tidak memberikan kemudahan bagi para napi koruptor, mengingat dampak dan bahaya dari korupsi yang sangat merugikan negara dan masyarakat," ujar Ali.
Baca Juga: BNPB Blak-blakan Data Kasus Positif Corona di Indonesia Tidak Sesuai
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM Zaenur Rohman menilai ,pembebasan napi kasus korupsi tidak akan berpengaruh banyak dalam menekan jumlah penghuni penjara dan mencegah penyebaran virus corona.
"Untuk tindak pidana korupsi menurut saya jangan dibuat persyaratan yang mudah. Kenapa? karena dilihat dari data, warga binaan tindak pidana korupsi itu sangat kecil sehingga tidak signifikan sebagai pengurang jika mereka dikeluarkan," ucap Zaenur.
Zaenur berpendapat, kebijakan Kemenkumham mengeluarkan sejumlah an guna mencegah penyebaran Covid-19 itu memang layak didukung.
Akan tetapi, ia menggaris bawahi, narapidana kejahatan sangat serius seperti kasus korupsi, terorisme, dan narkotika seharusnya tidak disamakan dengan narapidana tindak pidana umum.
"Menurut saya yang harus diutamakan untuk tindak pidana yang tidak serius, tidak serius itu contohnya tindak pidana yang tidak ada korbannya seperti perjudian atau juga tindak pidana sejenis, itu harus dijadikan sebagai prioritas untuk dikeluarkan," ungkap Zaenur.
Sementara itu, menurut Zaenur, pembebasan narapidana kasus korupsi, terorisme, dan bandar narkoba, harus melalui syarat yang lebih ketat. Misalnya, hanya diberikan bagi mereka yang memiliki risiko kesehatan.
"Kalau ada warga binaan tindak pidana korupsi yang mempunyai risiko kesehatan tinggi, atas nama kemanusiaan bisa kemudian untuk digunakan mekanisme pembebasan bersyarat dengan alasan darurat kesehatan seperti ini," ungkapnya.
KPK sebelumnya telah membuat kajian terkait layanan di lembaga pemasyarakatan yang menyoroti masalah over kapasitas di lapas.
Salah satu rekomendasi yang disampaikan oleh KPK adalah memberi remisi bagi para pengguna narkoba, mengingat nyaris separuh penghuni lapas dan rutan berhubungan dengan kasus narkoba.
Sementara itu, dalam wacana revisi PP Nomor 99 Tahun 2012, Yasonna tidak hanya mengusulkan asimilasi bagi para koruptor saja, melainkan juga napi kasus narkotika, napi asing, dan napi tindak pidana khusus yang dinyatakan sakit kronis.
Yasonna berkata, asimilasi bagi napi narkotika akan diberikan jika memenuhi kriteria masa pidana 5-10 tahun dan telah menjalani 2/3 masa pidananya.
Ia memperkirakan setidaknya ada 15.422 napi narkotika yang memenuhi syarat tersebut untuk diberikan asimilasi.
Selanjutnya, pemberian asimilasi terhadap napi tindak pidana khusus (tipidsus) yang dinyatakan sakit kronis oleh dokter pemerintah dan telah menjalani 2/3 masa pidana berjumlah 1.457 orang.