Bagaimana Hukum Memandikan Jenazah COVID-19?
Penulis Dian Aprilia | Ditayangkan 24 Mar 2020Ilustrasi Memandikan Jenazah - Image from www.boombastis.com
Wabah COVID-19 sedang menggemparkan Indonesia, jumlah pasien yang terinfeksi terus meningkat signifikan.
Per 24 Maret 2020, tercatat ada 49 orang yang telah meninggal. Lalu timbul pertanyaan, bagaimana hukum memandikan jenazah COVID-19? Mengingat, jenazah masih berpotensi menularkan virus corona ke orang yang berkontak langsung dengan mayit tersebut.
Terpantau per hari ini 24 Maret 2020, 579 orang yang terinfeksi covid-19, 49 orang yang meninggal dan 30 berhasil sembuh.
Diketahui bahwa pasien yang terinfeksi COVID-19 harus diisolasi untuk menghindari potensi penularan. Lantas bagaimana mengurus jenazah COVID-19 yang telah meninggal?
Menilik dari kitab-kitab fiqih, syariat menjelaskan bahwa empat hal yang tidak boleh ditinggalkan dan bernilai hukum fardhu kifayah (kewajiban kolektif) bagi seorang Muslim terhadap jenazah Muslim lainnya, yaitu: memandikan, mengafani, menshalati dan menguburkan.
Mazhab Hanafi menyebut, memandikan saja yang wajib secara kifayah. Sementara lainnya merupakan wajib ‘ain (kewajiban individual).
Baca juga :
- Tidak untuk Semua, ini Kriteria Orang yang Dapat Ikuti Tes Massal COVID-19
- Viral, 7 Potret Miris APD Dokter yang Menangani COVID-19
- Kisah Pilu Wafatnya Para Dokter dalam Peperangan Melawan Corona
“Ketahuilah bahwa memandikan mayit, hukumnya adalah wajib dan ini merupakan hak Muslim atas Muslim lainnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Sesama Muslim terdapat 6 hak. Termasuk di dalam 6 hak itu adalah memandikannya setelah kematiannya.’ Akan tetapi, bila memandikan ini sudah dilakukan oleh sebagian Muslim, maka gugur kewajiban Muslim lainnya, karena sudah tercapainya maksud” (Al-Mabsuth, Juz 2, halaman 58).
Dengan hukum wajib seperti yang disebutkan, maka Umat Islam memiliki tanggung jawab untuk mengurus jenazah muslim, termasuk pasien COVID-19 yang telah meninggal.
Lalu bagaimana cara mengurus jenazah tersebut, mengingat mereka membawa virus COVID-19 yang mematikan dengan tingkat penularan yang luar biasa cepatnya.
Dalam kajian fiqih mazhab, ada beberapa sebab, sehingga jenazah tidak bisa ditangani secara sempurna sebagaimana yang biasanya dilakukan kepada jenazah umum.
Pertama, jenazah yang meninggal karena terbakar. Jika dimandikan dengan menggunakan air, justru bisa merusak kulit jasad jenazah.
Kedua, jenazah dalam kondisi meninggal akibat penyakit menular, seperti akibat penyakit judzam (lepra), tha’un, wabah lainnya, yang apabila dimandikan, justru penyakit itu akan menular kepada yang memandikannya.
Pada saat menangani jenazah dengan kondisi sedemikian ini, umumnya para fuqaha membolehkan tidak memandikan jenazah, melainkan hanya menuangkan air ke badan jenazah saja, tanpa digosok atau dibersihkan.
Ulama Hanafiyah menyatakan:
“Bagi jenazah yang badannya gosong sehingga uzur untuk disentuh, maka cukup dengan dituangkan air padanya.” (Muraqiy al-Falakh, halaman 224)
Jika kondisi semacam masih sulit, maka ulama dari kalangan Hanafiyah menyarankan agar men-tayamum-inya saja. Pendapat ini juga dipedomani oleh kalangan Malikiyah. Ulama kalangan Hanafiyah menyatakan :
“Bila suatu saat ada jenazah yang uzur untuk dimandikan, karena ketiadaan hal yang memungkinkan bisanya dibasuh, maka tayamumilah dengan debu.” (Al-Inayah, Juz 16, halaman 261).
Pendapat-pendapat Dalam Mengurus Jenazah yang Meninggal Karena Wabah
Lantas bagaimana bila jenazah tidak mungkin dimandikan sebab penyakit tha’un yang dideritanya? Dalam hal ini ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama
“Persoalan memandikan jenazah karena terkena penyakit. Mushannif berkata: Imam Malik ditanya mengenai seseorang yang meninggal akibat terkena wabah penyakit bernanah, sementara di seluruh tubuh jenazah masih menunjukkan bisul bernanah itu. Mereka takut tertular karena memandikannya. Imam Malik menjawab: ‘Cukup siram dengan air menurut kadar kemampuan kalian.’ Komentarku: ‘Bukankah Imam Malik pernah berpendapat bahwa seorang jenazah tidak ditayamumi melainkan oleh seorang laki-laki yang bersama seorang perempuan, atau seorang perempuan bersama seorang laki-laki? Padahal, orang yang meninggal karena wabah atau sebab penyakit jarab (penyakit baru yang asing), majdur (cacar), atau penyakit lainnya yang menular, maka orang tersebut tidak perlu ditayamumi, dimandikan, atau dikafani hingga kadar tidak menyebabkan tertularnya penyakit, dan tidak menyebabkan bahaya?’ Imam Malik menjawab: ‘Iya’.” (Al-Mudawwanah, juz I, halaman 472).
Pendapat kedua
“Cukup dituangkan air pada jenazah dengan wabah menular sekedar kemampuan menuangkannya, tanpa unsur khawatir terlepasnya anggota badan jenazah, atau dirusakkan oleh air, dan semacamnya. Seperti orang yang tertimpa cacar misalnya, maka cukup dituangkan air ke badan jenazah, jika tidak takut rusaknya badan jenazah atau terpotongnya. Namun, jika khawatir lepas, atau rusaknya jenazah, sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka ditayamumi.” (Al-Syarhu al-Kabir li al-Rafii, Juz 4, halaman 410).
Berangkat dari pendapat berbagai mazhab di atas, maka dapat disimpulkan bahwa untuk menghadapi jenazah yang menurut informasi dari dokter justru dapat menularkan penyakit kepada pihak yang masih hidup, maka pendapat yang paling mendekati keamanan adalah cukup dengan jalan mentayammumkannya.
Hal ini sesuai dengan semangat ayat :
“Allah menghendaki kamu kemudahan, dan tidak menghendaki timbulnya kesulitan” (QS Al-Baqarah [2]: 185).
Allah SWT juga berfirman:
“Bertaqwalah kamu kepada Allah semampu kalian!” (QS Al-Taghabun [64]: 16)
Jadi, bisa disimpulkan bahwa mengurus jenazah korban wabah menular yang paling dekat adalah mentayamumkannya.
Selain itu, masyarakat/petugas yang merawat jenazah dengan wabah berbahaya harus tetap memperhatikan standar prosedur keamanan sehingga proses memandikan tersebut tidak membahayakan diri sendiri ataupun lingkungan sekitar.
Misalnya, memakai masker, sarung tangan, dan hand sanitizer untuk menghindari penularan. Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi, penanganan tidak hati-hati, justru menimbulkan mudarat bagi orang lain yang masih sehat.
Baca juga: Bolehkah Melayat Pasien Corona yang Meninggal?
Kita bisa bercermin dari kasus memandikan korban Ebola di Sierra Leone, yang justru berakibat kematian bagi yang memandikan jenazah.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
Menteri Agama, Fachrul Razi, angkat bicara mengenai tata cara mengurus jenazah covid-19. Ada sedikit perbedaan dalam tata cara memakamkan orang yang meninggal akibat patogen berbahaya.
Berikut tata cara memakamkan jenazah korban penyakit menular menurut Kemenag dan WHO.
Persiapan sebelum memandikan jenazah :
- Petugas wajib menggunakan pakaian pelindung, terdiri dari sarung tangan, dan masker.
- Semua komponen pakaian pelindung tersebut harus disimpan di tempat yang terpisah dari pakaian biasa
- Tidak makan, minum, merokok, maupun menyentuh area wajah saat berada di ruang penyimpanan jenazah, autopsi, dan area dekat dengan jenazah.
- Menghindari kontak langsung dengan darah atau cairan tubuh jenazah
- Selalu mencuci tangan dengan cairan antiseptik
- Jika petugas memiliki luka, tutup dengan plester atau perban tahan air
- Sebisa mungkin, hindari risiko terluka dengan benda tajam
Penanganan jika petugas terkena cairan tubuh jenazah :
- Jika petugas mengalami luka tusuk yang cukup dalam, segera bersihkan luka dengan air yang mengalir
- Jika luka tusuk tergolong kecil, cukup biarkan darah keluar dengan sendirinya
- Semua insiden yang terjadi saat menangani jenazah harus dilaporkan kepada pengawas
View this post on InstagramA post shared by Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (@nahdlatululama) on